Muhamad Hanif Rahman
Kolomnis
Dalam relasi suami istri, seringkali pihak perempuan menjadi korban ketidakadilan suami dan kekerasan dalam rumah tangga. Kasus-kasus kekerasan terhadap istri terjadi dalam berbagai bentuk. Dari kekerasan verbal, bahkan hingga menyebabkan penghilangan nyawa.
Ironisnya, dalam beberapa kasus, perilaku nusyuz atau pembangkangan istri terhadap suami seringkali dijadikan pembenaran atas tindak kekerasan kepadanya. Padahal, tidak ada alasan yang dapat membenarkan tindakan kekerasan terhadap pasangan, terlebih jika mengancam keselamatan dan martabat istri.
Dalam fiqih munakahah memang yang umum dipahami, pelaku nusyuz hanya dari pihak istri saja. Lantas, bagaimana jika yang membangkang atau durhaka justru dari pihak suami? Sebab selama ini nusyuz selalu dibahas dari sisi perempuan, sementara suami seakan bebas berbuat apa saja. Bukankah ini terasa tidak adil?
Sementara faktanya banyak kekerasan yang dilakukan oleh pihak suami dan sangat jarang dilakukan oleh pihak istri. Langkah apa yang dapat dilakukan istri jika mendapati suaminya nusyuz?
Secara umum nusyuz adalah kedurhakaan atau keengganan istri untuk melaksanakan kewajiban dan membangkang terhadap perintah atau ajakan suami. Sederhananya nusyuz adalah ketidaktaatan istri terhadap suami. Dari pengertian ini memang pelaku 'ketidaktaatan' hanya dari istri.
Namun menurut Imam As-Syarqawi sebenarnya istilah nusyuz atau ketidaktaatan mencakup istri dan suami. Hanya saja istilah nusyuz suami tidak populer.
والخروج عن الطاعة يشمل خروج الزوجة عن طاعة الزوج وعكسه، وإن لم يشتهر إطلاق النشوز في حق الرجل
Artinya, "Ungkapan 'ketidaktaatan' mencakup istri yang tidak taat kepada suami dan sebaliknya, meskipun istilah nusyuz tidak umum digunakan untuk pihak suami." (Abdullah bin Hijazi bin Ibrahim, Hasyiyatus Syarqawi, [Beirut: Darul Kutub Ilmiyah: tt.], juz IV, halaman 16).
Sebenarnya nusyuz suami telah dijelaskan dalam Al-Qur'an surat An-Nisa' ayat 128. Sekaligus ayat ini menjadi dalil pembahasan nusyuz yang disampaikan oleh para fuqaha dalam kitab-kitab mereka. Allah swt berfirman:
وَاِنِ امْرَاَةٌ خَافَتْ مِنْۢ بَعْلِهَا نُشُوْزًا اَوْ اِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ اَنْ يُّصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا
Artinya, "Jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh, keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya. Perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)." (QS An-Nisa':128).
Syekh Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan tafsir ayat, apabila seorang istri khawatir suaminya akan menjauhi atau berpaling darinya, ia diperbolehkan merelakan sebagian atau seluruh haknya, seperti nafkah, pakaian, atau giliran menginap, atau hak hak lainnya agar ia tetap menjadi istri dari si suami. Istri juga diperbolehkan menyerahkan sebagian hartanya untuk menebus dirinya (talak, khulu').
Makna ayat ini adalah apabila seorang wanita menduga suaminya nusyuz dan bersikap congkak kepadanya dengan adanya tanda-tanda, seperti tidak memberi nafkah, tidak lagi memperlakukan istri dengan kasih sayang, atau bahkan menyakitinya dengan kata-kata kasar atau kekerasan fisik, tidak mengajak berbicara, dan tidak ada lagi keramahan dan kemesraan dalam berbicara bisa karena sifat dan akhlaknya yang buruk, atau sebab ketertarikannya pada perempuan lain, dan sebagainya, maka dalam kondisi seperti ini, tidak ada salahnya istri mencari perdamaian atau titik temu dengan suami. Istri dapat merelakan sebagian haknya atau seluruhnya, agar tetap berada dalam ikatan pernikahannya dengan suaminya, atau memilih berpisah dari suami dengan memberi sebagian harta kepada suami atau khulu‘.
Tidak ada dosa bagi keduanya mengenai apa yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Namun, hendaklah kedua belah pihak senantiasa mengingat kasih sayang yang telah Allah ciptakan di antara mereka, sebagaimana firman-Nya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untuk kalian pasangan-pasangan dari jenis kalian sendiri, agar kalian merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS Ar-Rum: 21).
Disebutkan dalam kitab-kitab asbabun nuzul, berkaitan ayat terdapat beberapa kasus pada masa awal Islam, yang mana seorang istri merelakan haknya untuk memberi giliran kepada istri lain atau hanya menerima giliran bermalam setiap dua bulan, agar suami tidak menceraikannya. (At-Tafsirul Munir, [Damaskus, Dar-Fikr: 1418 H], juz V, halaman 295).
Dalam kitab-kitab fiqih, sebenarnya juga dijelaskan langkah-langkah yang dapat dilakukan pihak istri apabila mendapati suami nusyuz. Dalam Al-Fiqhul Manhaji dijelaskan:
وإذا كان الإجحاف والإعراض من قبل الزوج: وذلك كأن منعها حقها في القسم، أو النفقة، أو أغلظ عليها بالقول، أو الفعل، وعظته وذكّرته بحقها عليه، بمثل قول الله عز وجل: وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْراً كَثِيراً [النساء: 19]
Artinya, "Dan apabila ketidakadilan atau sikap berpaling muncul dari pihak suami, seperti ia tidak memberikan hak istri dalam hal giliran (waktu) atau nafkah, atau kasar kepadanya baik dengan perkataan maupun perbuatannya, maka istri hendaknya menasehatinya dan mengingatkannya atas hak-hak istri yang harus dipenuhi oleh suami.
Semisal dengan firman Allah swt: "Pergaulilah mereka dengan cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak di dalamnya." (QS. An-Nisa: 19)." (Mustafa Al-Khin, dkk., Al-Fiqhul Manhaji, [Damaskus, Darul Qalam: 1992], juz IV, halaman 109-110).
Istri hendaknya memperingatkan suaminya akibat dari kezalimannya. Jika suami mau memperbaiki diri, maka itu lebih baik. Namun, jika ia tetap tidak berubah, istri boleh mengadukan masalahnya kepada hakim (qadhi) agar mengambilkan haknya. Karena hakim diangkat untuk mengembalikan hak kepada pemiliknya dan karena istri tidak dapat mengambil haknya sendiri.
Dalam hal ini, hakim mewajibkan suami untuk memberikan hak giliran kepada istri menunaikan hak-haknya, dan menghentikan segala bentuk kezaliman terhadapnya.
Jika suami berperangai buruk atau menyakiti istri dengan memukul atau mencaci-makinya tanpa alasan, maka hakim harus melarangnya. Jika suami mengulangi tindakan tersebut dan istri meminta hakim untuk memberikan ta’zir, maka hakim menjatuhkan hukuman ta’zir sesuai dengan kadar yang dianggap akan memperbaiki perilaku suami.
Jika perselisihan semakin tajam, maka hakim mengutus dua orang penengah, untuk mendamaikan keduanya atau memutuskan perceraian dengan satu talak jika perbaikan sulit dilakukan. (Mustafa Al-Khin, dkk., IV/109-110).
Memang istilah nusyuz suami tidak sefamiliar nusyuz istri. Namun demikian, jelas bahwa Islam adalah agama yang adil, seimbang, komprehensif, dan tidak membeda-bedakan. Dalam relasi suami istri, keduanya mempunyai hak dan kewajiban masing-masing yang harus dijaga dan dilaksanakan sebaik mungkin agar tercipta hubungan yang harmonis dan penuh kasih sayang.
Sebagai catatan, konsep nusyuz suami belum diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai produk hukum keluarga. Padahal secara yuridis KHI merupakan representasi syariat Islam di bidang hukum perkawinan yang diakui oleh Negara sebagai rujukan. Wallahu a'lam.
Ustadz Muhamad Hanif Rahman, Dosen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo
Terpopuler
1
Pramoedya Ananta Toer, Ayahnya, dan NU Blora
2
Amalan Gus Baha saat Haji dan Khataman di Bulan Syaban
3
Gus Baha: Jangan Berkecil Hati Jadi Umat Islam Indonesia
4
Munas NU 2025: Hukum Kekerasan di Lembaga Pendidikan adalah Haram
5
Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang Kembali Gelar Festival Ilmiah Santri
6
Konbes NU 2025 Rumuskan Masa Jabatan Ketua Umum PBNU: Diusulkan Maksimal 2 Periode
Terkini
Lihat Semua