Sirah Nabawiyah

Perang Hunain dan Perlakuan Nabi terhadap para Tawanan

Jum, 21 Mei 2021 | 12:30 WIB

Perang Hunain dan Perlakuan Nabi terhadap para Tawanan

Dalam kasus perang Hunain, Rasulullah membebaskan para tawanan, memberinya sesuatu, juga membimbingnya dalam Islam.

Setelah pengepungan di Thaif dianggap selesai, Rasulullah ﷺ memutuskan untuk mengakhiri pengepungan benteng Thaif, dan memerintahkan umat Islam untuk kembali ke Ji’ranah, tempat penampungan para budak dan ghanimah (harta rampasan) perang Hunain sebelum mengepung Thaif. Di kota itu, Rasulullah tidak serta merta langsung membagi budak-budak ghanimah itu.


Rasulullah memang sengaja menunda pembagian budak dan harta rampasan yang menjadi tradisi zaman itu tiap kali peperangan usai. Ini bukan tanpa alasan. Rasulullah mengharapkan mereka (bekas musuh) memeluk Islam. Dan ternyata, apa yang diharapkan Rasulullah sesuai dengan kenyataan. Mereka mendatangi Rasulullah dengan pengakuan Islam dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.


Setibanya di Ji’ranah, setelah mengungkapkan keislamannya di hadapan Rasulullah dan disaksikan oleh para sahabat Nabi saat itu, mereka meminta kepada Rasulullah ﷺ agar harta dan budak-budak milik mereka dikembalikan kepada mereka. Kemudian Rasulullah bersabda:


مَعِى مَنْ تَرَوْنَ، وَأَحَبُّ الْحَدِيثِ إِلَىَّ أَصْدَقُهُ، وَاخْتَارُوا إِحْدَى الطَّائِفَتَيْنِ، إِمَّا السَّبْيَ وَإِمَّا الْمَالَ 


Artinya, “Seperti yang kalian lihat, aku sedang bersama orang-orang ini, dan ucapan yang amat kusukai adalah yang paling benar. Pilihlah satu di antara dua pilihan: budak atau harta.”


Setelah Rasulullah mempersilakannya untuk memilih antara budak dan harta, mereka berkata pada Rasulullah: “Wahai Rasulullah! Engkau telah mempersilakan kami untuk memilih antara keluarga dan harta benda kami. Sungguh, jika engkau mengembalikan keluarga kami, itulah yang lebih kami sukai.”


Setelah mendengar jawaban itu, Rasulullah ﷺ berdiri di tengah kaum Muslimin, memuji Allah dengan segala yang memang patut bagi-Nya, dan kemudian bersabda:


أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ إِخْوَانَكُمْ هَؤُلاَءِ قَدْ جَاءُونَا تَائِبِينَ، وَإِنِّي قَدْ رَأَيْتُ أَنْ أَرُدَّ إِلَيْهِمْ سَبْيَهُمْ، فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يُطَيِّبَ بِذَلِكَ فَلْيَفْعَلْ، وَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَكُونَ عَلَى حَظِّهِ حَتَّى نُعْطِيَهُ إِيَّاهُ مِنْ أَوَّلِ مَا يُفِيءُ اللّٰهُ عَلَيْنَا فَلْيَفْعَلْ


Artinya, “Amma ba’du, sesungguhnya saudara-saudara kalian ini datang dalam keadaan bertaubat. Menurutku, aku mengembalikan orang-orang tawanan mereka kepada mereka. Siapa saja di antara kalian yang ingin mengembalikan tawanan itu, lakukanlah. Siapa saja di antara kalian yang suka memiliki bagian dari tawanan itu dengan syarat, aku akan memberikan kepadanya bagian lain sebagai gantinya sejak ditetapkan aturan fai’ ini, maka lakukanlah!” (Syekh Said Ramadhan al-Buthi, Fiqhus Sirah Nabawiyah, [Beirut: Dar al-Fikr 2012], h. 287)


Seketika itu juga semua orang serempak berseru, “Hal itu baik bagi kami, wahai Rasulullah!”


Setelah itu, Rasulullah berdiri di hadapan umat Islam saat itu, kemudian bersabda:


إِنَّا لاَ نَدْرِى مَنْ أَذِنَ مِنْكُمْ فِي ذَلِكَ مِمَّنْ لَمْ يَأْذَنْ، فَارْجِعُوا حَتَّى يَرْفَعُ إِلَيْنَا عُرَفَاؤُكُمْ أَمْرَكُمْ


Artinya, “Kami tidak mengetahui siapa di antara kalian yang tulus ikhlas mengembalikan orang-orang tawanan itu dan siapa orang yang tidak. Hendaklah kalian kembali kepada para pembesar kalian, agar mereka dapat menyampaikan kepada kami tentang urusan kalian” (al-Buthi, Fiqhus Sirah Nabawiyah, 2012: 287).


Orang-orang pun pulang untuk berbicara dengan para pembesar mereka. Kemudian, mereka kembali menemui Rasulullah ﷺ dan memberitahukan kepadanya bahwa mereka tulus ikhlas. Saat itu juga, semua tawanan perang yang ada di tangan pasukan Islam dikembalikan kepada pihak kabilah Hawazin.


Rasulullah ﷺ lalu bertanya kepada utusan kabilah Hawazin, sebagaimana diriwayatkan Ibnu Ishaq, mengenai Malik bin Auf, “Apa yang dia lakukan?”


Para utusan Hawazin menjawab, “Dia berada di Thaif bersama kabilah Tsaqif.”


Rasulullah lalu mengatakan, “Beri tahu dia bahwa jika dia datang dengan niat masuk Islam, aku akan mengembalikan keluarganya, hartanya, dan aku juga akan memberikan seratus ekor unta kepadanya.”


Sebagaimana perintah Rasulullah, mereka pergi untuk memberitahukan pesan itu kepada Malik bin ‘Auf.


Tidak berapa lama kemudian, Malik menemui Rasulullah di satu tempat, antara Ji’ranah dan Makkah. Rasulullah mengembalikan keluarga Malik, hartanya, dan juga memberinya seratus ekor unta. Setelah menerima semua itu, ternyata Malik memeluk Islam dan terus menjadi Muslim yang sangat baik.


Tidak hanya itu, Rasulullah ﷺ juga mengistimewakan para mualaf, yaitu orang-orang Makkah yang baru masuk Islam, dengan memberi mereka bagian dari harta rampasan perang lebih banyak dan ditambah pula berbagai macam pemberian lainnya. Rasulullah memang sengaja membagikan pemberian seperti ini kepada mereka agar keyakinan mereka terhadap Islam semakin kukuh dan lebih yakin.

 


Setelah pembagian budak dan harta rampasan selesai, rupanya sebagian sahabat Anshar merasa Rasulullah ﷺ pilih kasih. Mereka berkata:


يغفر الله لسرول الله يعطي قريشا ويتركنا وسيوفنا تقطر من دمائهم


Artinya, “Semoga Allah mengampuni Rasulullah, yang telah memberikan bagian kepada Quraisy dan membiarkan kami dengan pedang-pedang kami yang bercucuran darah mereka” (al-Buthi, Fiqhus Sirah Nabawiyah, 2012: 287).


Ketika berita itu sampai di telinga Rasulullah, beliau segera mengirim utusan meminta agar kaum Anshar berkumpul di satu tempat yang telah disediakan untuk mereka. Saat itu, hanya kalangan Anshar yang diundang. Setelah orang-orang Anshar berkumpul, Rasulullah berdiri di tengah-tengah mereka, memuji Allah, dan memuja-Nya, dan kemudian bersabda:


يا معشر الأنصار! ما قالة بلغتني عنكم، ألم أجدكم ضلالا فهداكم الله بي؟ وكنتم متفرقين فألفكم الله بي؟ وعالة فأغناكم الله بي


Artinya, “Wahai kaum Anshar! Apa arti ucapan kalian yang kudengar? Bukankah aku datang kepada kalian ketika kalian dalam keadaan tersesat, kemudian Allah memberi kalian hidayah lewat diriku? Dulu kalian berpecah-belah, kemudian Allah menyatukan kalian lewat diriku? Dulu kalian miskin dan Allah membuat kalian menjadi kaya melalui diriku?” (al-Buthi, Fiqhus Sirah Nabawiyah, 2012: 288).


Setiap Rasulullah mengucapkan kata-katanya, kaum Anshar selalu menimpali dengan, “Benar, wahai Rasulullah, Allah dan rasul-Nya memang lebih terpercaya dan lebih utama!”


Kemudian Rasulullah bertanya, “Apakah kalian bersedia memenuhi seruanku, wahai kaum Anshar?”


Mereka menjawab, “Seruan apakah yang harus kami penuhi, wahai Rasulullah? Sungguh hanya bagi Allah dan rasul-Nyalah segala kemurahan dan keutamaan.”


Mendengar itu, Rasulullah ﷺ bersabda, “Demi Allah, jika sekiranya kalian ingin, tentu kalian akan mengatakan sesuatu yang pasti kalian menjadi benar, dan kalian juga akan dibenarkan. Yaitu, kata-kata, ‘Engkau datang kepada kami dengan didustakan, lalu kami membenarkanmu. Engkau dihinakan, lalu kami menolongmu. Engkau diusir dan kami melindungimu. Saat engkau miskin, kamilah yang mencukupimu.’”


Namun, orang-orang Anshar itu langsung menukas, “Tapi, anugerah bagi kami adalah Allah dan rasul-Nya!”


Kemudian Rasulullah menyampaikan sebuah pengingat kepada orang Anshar dengan bentuk pertanyaan. Rasulullah bersabda:


أَوَجَدْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ يَا مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ فِي لُعَاعَةٍ مِنْ الدُّنْيَا تَأَلَّفْتُ بِهَا قَوْمًا لِيُسْلِمُوا وَوَكَلْتُكُمْ إِلَى إِسْلَامِكُمْ، أَفَلَا تَرْضَوْنَ يَا مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ أَنْ يَذْهَبَ النَّاسُ بِالشَّاةِ وَالْبَعِيرِ وَتَرْجِعُونَ بِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ فِي رِحَالِكُمْ، فَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْلَا الْهِجْرَةُ لَكُنْتُ امْرَأً مِنْ الْأَنْصَارِ، وَلَوْ سَلَكَ النَّاسُ شِعْبًا وَسَلَكَتْ الْأَنْصَارُ شِعْبًا لَسَلَكْتُ شِعْبَ الْأَنْصَارِ، اللَّهُمَّ ارْحَمْ الْأَنْصَارَ، وَأَبْنَاءَ الْأَنْصَارِ، وَأَبْنَاءَ أَبْنَاءِ الْأَنْصار


Artinya, “Wahai kaum Anshar! Apakah kalian telah menemukan dalam diri kalian kecenderungan pada dunia yang kugunakan untuk ‘menjinakkan’ satu golongan agar mereka mau memeluk Islam, sementara aku memasrahkan kalian pada keteguhan Islam kalian. Wahai kaum Anshar! Tidakkah kalian rela jika ada sekelompok orang pergi dengan membawa domba dan unta, sedangkan kalian pulang bersama Rasul kalian? Demi Allah, sungguh apa yang kalian miliki itu jauh lebih berharga daripada apa yang mereka miliki. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada dalam kekuasaan-Nya, sungguh jika bukan karena hijrah, tentu aku salah seorang dari golongan Anshar. Sungguh, jika sekiranya orang-orang menempuh jalan suatu lembah atau tepi gunung, dan orang-orang Anshar menempuh jalan di suatu lembah atau di tepi gunung yang lain, niscaya aku akan menempuh jalan di lembah yang dipilih orang-orang Anshar. Sesungguhnya, kalian akan menjadi terasing sepeninggalku kelak, maka bersabarlah hingga kalian bertemu denganku di Telaga Haudh. Ya Allah, berilah rahmat kepada orang-orang Anshar, anak-anak Anshar, dan cucu-cucu orang-orang Anshar” (al-Buthi, Fiqhus Sirah Nabawiyah, 2012: 289).


Syekh al-Buthi mengatakan, setelah orang-orang Anshar mendengar sabda Rasulullah ﷺ, menangislah mereka semua, hingga air mata mereka membasahi jenggot-jenggot mereka. Orang-orang Anshar itu lalu berkata, “Kami ridha atas pembagian dan pemberian dari Allah dan Rasul-Nya.”


Sunnatullah, santri sekaligus pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop Bangkalan Jawa Timur