Sirah Nabawiyah

Pembangunan Masjid Nabawi sebagai Pilar Pertama Hijrah Nabi

Kam, 16 September 2021 | 04:00 WIB

Pembangunan Masjid Nabawi sebagai Pilar Pertama Hijrah Nabi

Pembangunan Masjid Nabawi sebagai pilar pertama hijrah Nabi saw menjadi strategi efektif dalam pengembangan Islam di Madinah.

Hijrah ke Madinah dilakukan oleh Rasulullah saw tepat setelah Bai’at Aqabah kedua. Saat itu, umat Islam mendapatkan wilayah yang siap menampung mereka. Sejak saat itulah Rasulullah saw mengizinkan para sahabatnya untuk hijrah ke Madinah. Setibanya di Madinah Rasulullah saw segera membangun berbagai pilar penting suatu negara. Pilar-pilar itu direalisasikan dalam tiga hal, yaitu (1) membangun masjid, (2) mengikat tali persaudaraan di antara kaum Muhajirin dan Anshar, dan (3) menetapkan undang-undang dasar (dustûr) yang mengatur sistem kehidupan kaum muslimin dalam hubungannya kalangan non muslim, khususnya kaum Yahudi. Pembangunan Masjid Nabawi sebagai pilar pertama hijrah Nabi saw menjadi strategi jitu dalam pengembangan Islam di Madinah.
 


Syekh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi menyebutkan, ketika Nabi saw mengelilingi rumah para sahabat Anshar, tiba-tiba unta yang ditungganginya berhenti di sebidang tanah milik dua anak yatim. Di tanah yang sama, jauh sebelum kedatangan Nabi saw di Madinah, As‘ad bin Zararah pernah membangun mushala. Di tanah itu pula, Nabi saw memerintahkan mereka membangun masjid. Dua anak yatim Anshar bimbingan As‘ad bin Zararah lalu dipanggil oleh Nabi saw untuk menyampaikan niatnya membangun masjid di tanah tersebut. Mereka menjawab, “Kami akan menghibahkan tanah ini kepadamu, wahai Rasulullah.” Namun, Nabi saw bersikeras menolak dan memutuskan untuk membelinya dengan harga 10 dinar, sebelum kemudian pembangunan Masjid Nabawi sebagai pilar pertama hijrah Nabi Saw dilakukan.

 

Al-Buthi juga menyebutkan, sebenarnya tanah yang hendak dijadikan masjid belum siap guna, sebab di atasnya tumbuh beberapa pohon kurma, dan juga ada beberapa kuburan orang musyrik. Melihat hal itu, Nabi saw memerintahkan para sahabat untuk membongkar kuburan-kuburan tersebut, menebang pohon-pohonnya, dan menggunakan kayunya untuk membangun bagian kiblat masjid. Baru setelah itu pembangunan Masjid Nabawi sebagai pilar pertama hijrah Nabi Saw mulai dibangun setelah tanah dibersihkan dan diratakan. Panjang masjid dari bagian depan (kiblat) hingga bagian belakang sekitar seratus hasta, begitu juga lebar kedua sisinya. (Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Fiqhus Sîrah Nabawiyah, [Beirut, Dâr al-Fikr: 2020], halaman 159).

 


Nabi saw terlibat langsung bersama para sahabat dalam pembangunan Masjid Nabawi sebagai pilar pertama hijrah Nabi Saw. Nabi saw ikut mengangkut batu dan beberapa kebutuhan material. Waktu itu, kiblat masjid masih menghadap ke arah Baitul Maqdis. Pilar-pilar masjid terbuat dari batang pohon kurma, sementara atap terbuat dari pelepahnya. Seketika itu Nabi saw melantunkan sebait doa: 


اَللهم لَا عَيْشَ إِلَّا عَيْشَ الْآخِرَةِ  ***  فَاغْفِرْ لِلْأَنْصَارِ وَالْمُهَاجِرَةِ


Artinya, “‘Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan akhirat, tolonglah kaum Muhajirin dan Anshar.” (Shafiyurrahman, Rahîqul Makhtûm, [2007], halaman 182).

Menurut al-Buthi, beberapa poin penting yang layak dicatat dan direnungkan dari pembangunan Masjid Nabawi sebagai pilar pertama hijrah Nabi Saw.

 

Poin pertama, urgensi masjid di tengah masyarakat muslim. Menurut Syekh al-Buthi, mendirikan masjid adalah langkah utama dan paling penting dalam pembentukan komunitas muslim. Sebab masyarakat Muslim dapat menjadi komunitas yang kuat dan tangguh dengan berpedoman pada ajaran Islam, akidah dan etikanya, yang semuanya bersumber dari spiritualitas masjid yang dipatuhi dan dipegang erat-erat. Hal itu akan terwujud apabila sudah ada masjid sebagai pusat aktifitas dan peradaban.


Ikatan persaudaraan masyarakat muslim tidak akan pernah bisa terwujud kecuali melalui masjid. Jika kaum muslimin tidak pernah berjumpa satu sama lain di masjid setiap hari, mustahil persaudaraan dapat terjalin. Mereka akan dihalangi sekat-sekat perbedaan kedudukan, kekayaan, dan status sosial.


Selain itu penyebaran nilai-nilai kesederajatan dan keadilan di tengah masyarakat muslim juga tidak akan terwujud kecuali jika mereka terbiasa berbaris dalam satu barisan yang kokoh setiap hari, dan berdiri bersama-sama menghadap Allah swt. Hati mereka harus terpaut satu sama lain dalam ruang penghambaan kepada-Nya. Artinya, jika setiap orang Islam mengerjakan rukuk dan sujud di rumah mereka masing-masing tanpa ada ikatan dan kebersamaan. Mustahil nilai-nilai kesederajatan dan keadilan dapat menundukkan ego dan sifat “keakuan” yang mengakar di tengah masyarakat saat itu. Karena itu, pembangunan Masjid Nabawi sebagai pilar pertama hijrah Nabi Saw sangat penting dan strategis untuk membentuk masyarakat muslim yang kokoh dan harmonis.


Demikian pula meleburnya seluruh kaum muslimin dalam satu kesatuan komunitas yang diikat oleh satu sistem hukum dan syariat menjadi sangat penting. Namun, jika mereka tidak punya masjid yang menjadi tempat berkumpul dan mempelajari hukum Allah dan syariat-Nya, maka kesatuan komunitas tidak akan terwujud. Mereka akan mudah terpecah menjadi kepingan-kepingan kecil, dikalahkan ambisi dan nafsu dunia. Demi mewujudkan kesatuan komunitas muslim dalam satu sistem hukum dan syariat, pembangunan Masjid Nabawi sebagai pilar pertama hijrah Nabi Saw mendesak untuk dilakukan.

 

 

Poin kedua, hukum bertransaksi dengan anak. Pembangunan Masjid Nabawi sebagai pilar pertama hijrah Nabi Saw memberi gambaran hukum bertransaksi dengan anak kecil yang belum mencapai usia rusyd (baligh dan dapat membedakan baik buruk). Fuqaha Hanfiyah menjadikan peristiwa tentang pembelian sebidang tanah milik dua anak yatim yang dilakukan Rasulullah saw di atas sebagai dalil kebolehan transaksi jual beli dengan anak yang belum mencapai usia baligh. Jika transaksi jual beli dengan anak belum baligh dianggap tidak sah, Rasulullah saw tentu tidak akan membeli tanah itu dari kedua anak yatim tersebut. (Muhammad bin Abdullah az-Zarkasyi, I’lâmus Sâjid bi Ahkâmil Masâjid, [Kairo, Lajnah Ihyâ’it Turâtsil Islâmi: 1416 H/1996 M], halaman, 223)


Berkaitan dengan peristiwa tersebut, sebagian ulama menanggapinya dengan dua catatan. Pertama, dalam riwayat Ibn Uyainah disebutkan, Nabi saw tidak membeli langsung tanah masjid dari kedua anak tersebut, tetapi dari paman yang menjadi wali mereka. Jadi, pendapat sebagian ulama yang menyatakan boleh bertransaksi dengan anak-anak tidak bisa dibenarkan dan tidak berdasar. Kedua, nabi saw memiliki hak perwalian dalam urusan seperti itu. Artinya, ia bisa membeli tanah dari kedua anak tersebut dalam kapasitasnya sebagai wali bagi seluruh kaum muslimin, bukan sebagai individu.


Poin ketiga, kebolehan membongkar kuburan dan menggunakan tanahnya yang telah diratakan dan dibersihkan untuk masjid. Diriwayatkan:


فَقَالَ أَنَسٌ: فَكانَ فِيهِ مَا أَقُولُ لَكُمْ قُبُورُ الْمُشْرِكِينَ، وَفِيهِ خَرِبٌ، وَفِيهِ نَخْلٌ، فَأَمَرَ النَّبِيُّ بِقُبُورِ الْمُشْرِكِينَ، فَنُبِشَتْ، ثُمَّ بِالْخَرِبِ فَسُوِّيَتْ، وَبِالنَّخْلِ فَقُطِعَ، فَصَفُّوا النَّخْلَ قِبْلَةَ المَسْجِدِ وجَعَلُوا عِضَادَتَيْهِ الْحِجَارَةَ، وجَعَلُوا يَنْقُلُونَ الصَّخْرَ وهُمْ يَرْتَجِزُونَ وَالنَّبيُّ معهُمْ، وَهُوَ يَقُولُ: اَللَّهُمَّ لَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرُ الْآخِرَةِ فَاغْفِرْ لِلْأَنْصَارِ والمُهَاجِرَةِ. (رواه البخاري)

 

Artinya, “Anas berkata, ‘Aku beritahu kepada kalian bahwa pada kebun itu banyak terdapat kuburan orang-orang musyrik, reruntuhan bangunan, dan pohon-pohon kurma. Lalu Nabi saw memerintahkan untuk membongkar kuburan-kuburan tersebut, reruntuhan rumah diratakan dan pohon-pohon kurma ditumbangkan lalu dipindahkan di depan arah kiblat masjid. Kemudian para sahabat meratakan tempat pohon kurma di arah kiblat masjid, menjadikan batu sebagai dua bahu pintu masjid, dan memindah batu dengan mendendangkan nasyid, sementara Nabi saw bersama mereka sambil mengucapkan doa: "Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan akhirat, maka ampunilah kaum Anshar dan Muhajirin." (HR Al-Bukhari).

  

 

Ketika mengomentari hadits pembongkaran makam, Imam an-Nawawi mengatakan, “Hadits ini menunjukkan kebolehan membongkar makam lama dan menjadikan tanahnya untuk tempat shalat atau masjid. Syaratnya, bagian tanah yang telah bercampur nanah dan darah mayat yang dikubur di sana telah dibersihkan dan disingkirkan. Hadits ini juga menjadi dasar kebolehan menjual tanah kuburan, dan tanah itu tetap menjadi hak milik si pemilik atau pembeli yang bisa diwariskan selama belum diwakafkan.” 

 

Kuburan di tanah dua anak yatim tersebut adalah kuburan yang sudah lama, sehingga mustahil masih ada campuran darah dan nanah dari mayat yang dikubur di sana. Meskipun demikian, atas perintah Rasulullah saw, kuburan itu tetap digali, dibongkar, dan tulang belulang yang masih tersisa dipindahkan ke tempat lain.

 

 

Sedangkan menurut Syekh al-Buthi, kuburan kuno boleh dibongkar dan tanahnya bisa dijadikan masjid jika sebelumnya tidak berstatus tanah wakaf. Namun jika berupa tanah wakaf, maka tidak boleh dialihfungsikan untuk keperluan apa pun selain peruntukan yang dikehendaki orang yang mewakafkan. (Al-Buthi, Fiqhus Sîrah, halaman 159).


Demikian salah satu langkah strategis Rasulullah saw setelah sampai di Madinah, pembangunan Masjid Nabawi sebagai pilar pertama hijrah Nabi Saw dilakukan demi membentuk masyarakat muslim yang kokoh dan harmonis, serta mampu menghadapi berbagai tantangan zaman. Wallâhu a’lam.

 


Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan, Kokop, Bangkalan.