Sirah Nabawiyah SEJARAH IBADAH HAJI (2)

Misi Haji Rasulullah pada Tahun 9 Hijriah

Rab, 28 Juli 2021 | 07:30 WIB

Misi Haji Rasulullah pada Tahun 9 Hijriah

Ilustrasi ibadah haji

Guru besar hukum Islam di Mesir, Syekh Muhammad Afifi Al-Baijuri, atau dikenal dengan nama pena Syekh Muhammad Khudari Bek (1872-1927 M) dalam karyanya Tarikh Tasyri Al-Islami (Beirut, Darul Fikr: 1995 M/1415 H) menceritakan sejarah rangkaian penyelenggaraan ibadah haji.


Ibadah haji diwajibkan pada tahun 6 H/627 M (tahun perjanjian Hudaibiyah dengan kaum musyrik Makkah). Pada tahun yang sama Rasulullah saw berangkat dari Madinah menuju Makkah untuk melaksanakan umrah. Tetapi ia dihalangi untuk melakukan aktivitas umrah di Ka’bah. Rasulullah saw kemudian mengqadha (meski ini diperdebatkan ulama) umrahnya pada tahun 7 H. (Khudari Bek, 1995 M/1415 H: 31).


Pada tahun 9 H, Rasulullah mengirimkan misi haji dari Madinah. Rasulullah saw menunjuk sahabat Abu Bakar sebagai amirul hajj. Sedangkan pada tahun 10 H, Rasulullah saw melaksanakan ibadah haji dengan segenap umat Islam sebagai haji wada. Pada kesempatan ini Rasulullah saw menjelaskan tata cara (kaifiat) ibadah haji.


***


Al-Qaththan mengatakan, ibadah umrah disyariatkan sebagaimana ibadah haji. Ibadah haji dan umrah disyariatkan sejak zaman Nabi Ibrahim as. Umrah pertama yang dilakukan oleh Rasulullah saw pascahijrah terjadi pada tahun 6 H, tahun Hudaibiyah, yaitu tahun perjanjian umat Islam Madinah dan kaum musyrikin Makkah.


Aktivitas umrah ini gagal karena dihalangi oleh kaum musyrikin Makkah. Rasulullah kemudian menyembelih unta. Beliau dan para sahabat mencukur rambut. Mereka bertahalul dan kembali ke Madinah pada tahun itu juga. (Manna’ Al-Qaththan, Tarikhut Tasyri Al-Islami At-Tasyri wal Fiqh, [Riyadh, Maktabah Al-Ma’arif: 2012 M/1433 H], halaman 149).


Pada tahun 7 H, Rasulullah melakukan umrah yang diperselisihkan ulama sebagai umrah qadha atau umrah baru. Sedangkan umrah ketiga Rasulullah dilakukan dari Ji’ranah pada tahun 8 H, yaitu pada saat Perang Hunain. Rasulullah saw kemudian kembali ke Makkah dan masuk melalui Ji’ranah.


Adapun umrah keempat Rasulullah dilakukan berbarengan dengan ibadah haji pada tahun 10 H. Menurut pendapat yang paling sahih, Rasulullah melakukan haji qiran, yaitu melaksanakan ibadah haji yang berbarengan dengan pelaksanaan ibadah umrah. (Al-Qaththan, 2012 M/1433 H: 150).


***


Pakar sejarah, kata Al-Qaththan, berbeda pendapat perihal awal kewajiban haji di masa Rasulullah saw. Sebagian ahli menyebut, haji diwajibkan pada tahun 6 H/627 M, yaitu tahun perjanjian Hudaibiyah. Mereka mengaitkan pandangannya dengan waktu turun Surat Al-Baqarah ayat 196, "Sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah." Surat Al-Baqarah ayat 196 turun di kota kecil Hudaibiyah. (Al-Qaththan, 2012 M/1433 H: 150).


Pandangan ini dibantah oleh pakar lainnya. Pakar ini mengatakan, Surat Al-Baqarah ayat 196 tidak berbicara terkait awal kewajiban ibadah haji dan umrah. Surat Al-Baqarah ayat 196 hanya berisi perintah untuk menyempurnakan ibadah haji yang telah diwajibkan sebelumnya sehingga ayat ini tidak menuntut awal kewajiban ibadah haji dan umrah.  


Pakar lainnya mengatakan, awal kewajiban ibadah haji diturunkan pada tahun 4 H. Pandangan ini didukung oleh waktu turunnya Surat Ali Imran ayat 97, "(Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana."


Surat Ali Imran ayat 97 turun pada tahun 4 H. Sebagaimana kita tahu bahwa awal Surat Ali Imran ayat 97 turun perihal kunjungan delegasi Najran. (Al-Qaththan, 2012 M/1433 H: 150).


Pakar sejarah yang berbeda berpendapat, awal kewajiban ibadah haji disyariatkan pada paruh terakhir tahun 9 H. Rasulullah saw menunjuk sahabat Abu Bakar ra sebagai amirul hajj. Rasulullah saw meminta sahabat Abu Bakar ra untuk memaklumatkan bahwa setelah tahun itu tidak boleh lagi ada orang musyrik yang berhaji di Masjidil Haram.


Rasulullah saw menyusulkan Sayyidina Ali ra di belakang sahabat Abu Bakar ra untuk memaklumatkan awal-awal Surat At-Taubah yang berisi pembatalan perjanjian sosial-politik Allah, rasul, dan kaum musyrikin. 


"(Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang musyrik yang kalian telah mengadakan perjanjian (dengan mereka). Satu maklumat (pemberitahuan) dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar, sungguh Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik. Kemudian jika kalian (kaum musyrikin) bertaubat, maka itu lebih baik bagi kalian; dan jika kalian berpaling, maka ketahuilah bahwa kalian tidak dapat melemahkan Allah. Berilah kabar gembira kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih, kecuali orang-orang musyrik yang telah mengadakan perjanjian dengan kalian dan mereka sedikit pun tidak mengurangi (isi perjanjian) dan tidak (pula) mereka membantu seorang pun yang memusuhi kalian, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang bertakwa." (Surat At-Taubah ayat 1, 3, dan 4).


Pengiriman misi haji dengan sahabat Abu Bakar ra sebagai amirul hajj pada tahun 9 H ini menjadi langkah awal ibadah haji Nabi Muhammad saw pada tahun 10 H. Dengan persiapan demikian pada tahun sebelumnya, pelaksanaan ibadah haji Rasulullah saw tidak ternodai oleh tradisi kemusyrikan masyarakat Makkah. (Al-Qaththan, 2012 M/1433 H: 150).


Pakar lain menyebutkan ibadah haji diwajibkan pada tahun 10 H. Oleh karena itu, Rasulullah saw segera melaksanakan ibadah haji. Sedangkan kita semua memaklumi bahwa Rasulullah saw tidak sepatutnya menunda pelaksanaan haji setelah datang perintah kewajiban. (Al-Qaththan, 2012 M/1433 H: 150).


Al-Qaththan juga mengutip ragam pendapat ulama perihal awal mula kewajiban ibadah haji dari Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani melalui Kitab Fathul Bari bi Syarhi Shahihil Bukhari. Menurutnya, ulama memang berbeda pendapat perihal awal kewajiban ibadah haji.


Satu pendapat, kata Al-Asqalani, mengatakan, ibadah haji diwajibkan sebelum peristiwa hijrah. Tetapi pendapat ini tergolong minor. Sebagian ulama berpendapat, ibadah haji diwajibkan setelah peristiwa hijrah.


Mayoritas ulama mengatakan, ibadah haji diwajibkan pada tahun 6 H sebagaimana tahun turunnya Surat Al-Baqarah ayat 196. Yang dimaksud dengan “atimmu/itmam” atau “sempurnakanlah” adalah awal mula kewajiban haji. Pandangan ini didukung oleh qiraah Alqamah, Masruq, dan Ibrahim An-Nakha’i “Aqīmul hajja wal umrata lillāhi,” atau “laksanakanlah haji dan umrah karena Allah” riwayat At-Thabari dengan sanad yang sahih. (Al-Qaththan, 2012 M/1433 H: 150-151).


Adapun sebagian ulama mengatakan, yang dimaksud dengan “itmam” pada Surat Al-Baqarah ayat 196 adalah penyempurnaan pelaksanaan ibadah haji dan umrah setelah disyariatkan sebelumnya. Artinya, haji dan umrah sebelum turun Surat Al-Baqarah ayat 196 pada tahun 6 H memang telah diwajibkan. Kisah Dhamam menyebut perintah haji sebagaimana kedatangannya pada tahun 5 H yang disebutkan Al-Waqidi. Ini menunjukkan bahwa ibadah haji diwajibkan pada tahun 5 H atau haji dilaksanakan pada tahun tersebut.


Ibnul Qayyim dalam Kitab Zadul Ma‘ad mengatakan, ibadah haji diwajibkan pada tahun 9 atau 10 H. Adapun pengepungan/blokade memang terjadi pada tahun 6 H, tahun perjanjian Hudaibiyah di mana kaum musyrikin Makkah menghalangi rombongan umrah Rasulullah saw untuk sampai ke Ka’bah.dari sana kemudian turun Surat Al-Baqarah ayat 196.


“Jika kalian terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat.” (Surat Al-Baqarah ayat 196).


Muhammad Salam Madkur mengutip pandangan Ibnu Abidin. Menurutnya, kewajiban ibadah haji disyariatkan pada akhir tahun 9 H. Nabi Muhammad saw baru dapat melaksanakan perintah tersebut pada awal kesempatan sebelum wafatnya, yaitu musim haji tahun 10 H. (M Salam Madkur, Tarikhut Tasyri Al-Islami wa Mashadiruhu, wa Nazharatuhu lil Amwal wa lil Uqud, [Kairo, Al-Maktabah Al-Azhariyyah lit Turats: 2018 M/1440 H], halaman 87). (bersambung…). (Alhafiz Kurniawan)