Sirah Nabawiyah

Hari-hari Penuh Duka Menjelang Isra' Mi'raj

Rab, 3 Maret 2021 | 07:45 WIB

Hari-hari Penuh Duka Menjelang Isra' Mi'raj

Ilustrasi Isra' Mi'raj Nabi Muhammad. (Foto: NU Online)

Ada dua peristiwa penting yang melatarbelakangi terjadinya isra’ mi’raj Nabi Muhammad saw. Dua peristiwa itu amat berkesan dalam hati beliau, peristiwa yang diliputi dengan duka yang senantiasa menekan dadanya. Demikian berat peristiwa itu dirasakan oleh Nabi, sehingga para ahli sejarah menyebutnya dengan istilah “Aam al-Huzni” atau tahun kesedihan.


Peristiwa pertama adalah wafatnya Abu Thalib, seorang paman yang sangat dicintai, paman yang selama bertahun-tahun memeliharanya. Sejak beliau berusia delapan tahun sampai diantar ke gerbang kebahagiaan ketika ia menikah dengan Khadijah dalam usia 25 tahun.


Abu Thalib sangat mencintai Nabi, ia senantiasa melindungi dari berbagai tantangan dan rongrongan yang datang dari kaum musyrik Quraisy. Ia yang menjadi pelindung dan perisai bagi Nabi dari segala tindakan musuh. Ia juga pemimpin Quraisy yang amat berwibawa dan disegani berbagai kalangan.


Peristiwa kedua adalah wafatnya Sayyidah Khadijah, istri yang sangat beliau cintai dan ia pun sangat mencintainya. Istri yang senantiasa mendampinginya selama bertahun-tahun dalam segala suka dan duka. Khadijah adalah wanita bangsawan Quraisy yang memiliki sifat keibuan yang luhur. Ia selalu berusaha membahagiakan Nabi dalam segala kehidupannya dan senantiasa mendukung kegiatan-kegiatan yang dilakukannya.


Perananan Khadijah begitu besar dalam perjuangan Nabi Muhammad. Ia senantiasa menghibur Nabi dari segala kesedihannya. Ia juga selalu berusaha membela Nabi dari segala rintangan dan tantangan. Sampai khadijah wafat, Nabi tidak pernah nikah dengan siapapun, dialah istri satu-satunya yang beliau cintai.


Demikian besarnya cinta dan kasih sayang Nabi pada Khadijah, sehingga setelah ia wafat Nabi selalu mengingatnya. Setelah Nabi menikah dengan ‘Aisyah sepeninggal beliau, meskipun ‘Aisyah seorang wanita yang sangat cantik dan cerdas, ia tidak bisa menggeser kedudukan Khadijah dalam diri Nabi.


Mengenai Khadijah yang kedudukannya tidak bisa digeser siapapun di samping Nabi, beliau mengatakan: “Allah tidak menggantikan untukku seorang yang lebih baik dari Khadijah, ia seorang yang pertama kali beriman kepadaku, pada saat orang lain mendustakan aku. Ia yang senantiasa mencintaiku tatkala banyak orang membenciku. Ia korbankan harta kekayaannya dalam rangka membela agama”.


Setelah kehilangan dua orang yang dicintainya itu, Nabi Muhammad semakin menjumpai berbagai kesulitan. Tekanan orang-orang Quraisy dirasakan semakin keras saja. Dua peristiwa di atas akan meninggalkan luka yang parah dalam  jiwa manusia, bagaimanapun ia kuat dan tabahnya. Ia akan menimbulkan benih-benih keputusasaan dalam jiwa seseorang, andaikata tidak dibekali dengan iman yang kuat.


Sepeninggal keduanya, terus menerus beliau menghadapi permusuhan dan penghinaan dari kaumnya, sehingga beliau pernah dilempari dengan tanah yang kotor, sehingga mengenai seluruh kepalanya. Dengan bekas tanah masih menempel di kepalanya. Fatimah putrinya yang sangat beliau cintai, membersihkan tanah itu. Ia membersihkannya sambil menangis, mencucurkan air mata, tanda kesedihan yang sangat mendalam.


Tak ada yang lebih sakit rasanya dalam kalbu seseorang ayah daripada mendengar isak tangis anaknya, lebih-lebih yang mencucurkan air mata itu adalah anak perempuan. Setetes air mata kesedihan yang menitik dari kelopak mata seorang putri adalah sepercik api yang membakar jantung. Ia juga secercah duka yang menyelinap jauh ke lubuk hati dalam rintihan jiwa yang menyedihkan.


Rasul Muhammad saw adalah seorang ayah yang sangat bijaksana dan penuh kasih kepada anak-anaknya. Yang kita lihat dari reaksi beliau terhadap tangisan anak perempuannya, yang merasa sedih dan duka karena malapetaka yang menimpa ayahnya.

 

Peristiwa yang mengharukan itu beliau hadapi dengan kesabaran dan berlapang dada. Semuanya dikembalikan kepada Allah dengan penuh iman dan taqwa. Ia berkata kepada putrinya: “Jangan menangis anakku sesungguhnya Allah akan melindungi ayahmu”. (Muhammad Husen Haikal, Hayatu Muhammad: 186).


Karena tekanan dan penghinaan orang-orang Quraisy terhadap Rasul semakin gencar, terlintas olehnya untuk melakukan perjalanan ke Thaif, berdakwah kepada penduduk negeri itu. Rasul menaruh harapan semoga kaum Tsaqif yang menduduki wilayah Thaif yang amat subur dengan udara sejuk itu mau menerima agama Allah swt. Thaif sebuah kota kecil yang kini sering dipakai tempat peristirahatan di musim panas karena hawanya sejuk, berjarak 60 km sebelah timur laut Kota Makkah.


Sesampainya di Thaif, setelah mengadakan perjalanan yang melelahkan dengan terik panas matahari yang menyengat, Nabi memasuki kota itu dengan penuh harapan. Ia berharap semoga penduduk Thaif mau menerima kedatangan dan dakwahnya yang senantiasa ia perjuangkan. Harapan dan keinginan Nabi menjadi sirna, ketika beliau memasuki kota itu dengan sambutan yang sangat mengecewakan. Penduduk Thaif ternyata amat bengis, mereka menolak kedatangan Nabi Muhammad, dakwahnya mereka tolak dengan kasar. 


Demikian kasarnya sikap mereka kepada Nabi, sehingga mereka mengkhianati kebiasaan bangsa Arab, yang selalu menghormati tamunya. Orang-orang Thaif mengusir Nabi dengan kasar, bahkan dilempari dengan batu. Nabi segera menghindari mereka, berlindung di bawah pohon anggur milik Uthbah dan Syaibah.


Kaki beliau mengucurkan darah sehingga melengket di sandalnya karena darah yang mengering. Menghadapi penghinaan yang teramat keras, Nabi tidak mengutuk mereka, bahkan beliau menyampaikan do’a:”Wahai Tuhanku, tunjukilah kaumku, karena sesungguhnya mereka belum mengetahui”. Di tempat itu, beliau menengadah ke langit, hanyut dalam suatu do’a pengaduan yang sangat mengharukan.


اَللَّهُمَّ إِنِّي أَشْكُوْ إِلَيْكَ ضَعْفَ قُوَّتِيْ وَقِلَّةَ حِيْلَتِيْ وَهَوَانِيْ عَلَى النَّاسِ أَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِيْنَ وَأَنْتَ رَبُّ الْمُسْتَضْعَفِيْنَ وَأَنْتَ رَبِّيْ إِلَى مَنْ تَكِلُنِيْ إِلَى بَعِيْدٍ يَتَجَهَّمُنِيْ أَمْ إِلَى عَدُوٍّ مَلَكْتَهُ أَمْرِيْ؟ إِنْ لَمْ يَكُنْ بِكَ عَلَيَّ غَضَبٌ فَلَا أُبَالِيْ غَيْرَ أَنَّ عَافِيَتَكَ هِيَ أَوْسَعُ لِيْ. أَعُوْذُ بِنُوْرِ وَجْهِكَ الَّذِيْ أَشْرَقَتْ لَهُ الظُّلُمَاتُ وَصَلُحَ عَلَيْهِ أَمْرُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ أَنْ يَحِلَّ عَلَيَّ غَضَبُكَ أَوْ أَنْ يَنْزِلَ بِيَ سُخْطُكَ لَكَ الْعُتْبَى حَتَّى تَرْضَى وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلَّا بِكَ.


“Wahai Allah Tuhanku, kepada-Mu aku mengadukan kelemahan diriku, kekurangan daya upayaku dan kehinaanku dihadapan sesama manusia. Wahai Allah Yang Maha Kasih dari segala kasih, Engkau adalah pelindung orang-orang yang lemah dan teraniaya. Engkau adalah pelindungku. Tuhanku, kepada siapa Engkau serahkan diriku? Apakah kepada orang jauh yang membenciku atau kepada musuh yang menguasai diriku. Tetapi asal Kau tidak murka padaku, aku tidak perduli semua itu. Rahmat dan karunia-Mu lebih luas bagiku, aku berlindung dengan cahaya-Mu yang menerangi segala kegelapan, yang karenanya membawa kebahagiaan bagi dunia dan akhirat, daripada murka-Mu yang akan Kau timpakan kepadaku. Engkaulah yang berhak menegurku sehingga Engkau meridhaiku. tiada daya dan upaya kecuali dari-Mu”. (Muhammad Husen Haikal, Hayatu Muhammad, hal 187).


Munajat dan doa pengaduan tersebut kemudian dikenal dengan nama doa Thaif. Demikianlah peristiwa-peristiwa penting yang terus menguji ketabahan Nabi, menjelang beliau mendapatkan kehormatan yang agung, yaitu peristiwa isra’ dan mi’raj. Kita hendaknya dapat mengambil pelajaran tersebut sebagai teladan bagi kita dalam mengarungi kehidupan. Dalam doa itu Nabi mendekatkan diri pada Tuhannya dengan merasakan kelemahan dirinya dan ketidakmampuannya. 


Sikap merendahkan diri dan mengakui kelemahan serta kekurangan di hadapan Allah adalah merupakan ciri dari seseorang manusia yang imannya sempurna. Penghambaan diri di hadapan Allah adalah merupakan realisasi dari ikrar kita dalam surat al-Fatihah "Iyyaka Na’budu wa iyyaka Nasta’in”, hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.


Dalam doa itu juga ditegaskan dengan penuh keyakinan bahwa hanya kepada Allah sajalah tempat berlindung dan tempat memohon segala pertolongan. Selanjutnya Nabi menegaskan bahwa sekiranya semua orang membencinya atau memusuhinya, hal itu tidak ada masalah, asal Allah meridhainya.


Keridhaan Allah adalah dambaan setiap orang yang beriman, sedangkan rahmat-Nya dapat mengalahkan segala kesulitan yang diderita umat manusia, betapa pun beratnya. Banyak orang yang kelihatannya menderita dalam kehidupan dunia, tetapi sebenarnya merasakan kebahagiaan batin yang tidak dirasakan orang lain.


Seorang yang bertakwa kepada Allah swt. dengan takwa yang setinggi-tingginya akan merasakan bahagia meskipun dalam kesederhanaan materi, ia akan merasa ramai meskipun sendirian, ia akan merasa berani meskipun tanpa pendukung. Ia akan memiliki dada yang lapang, bagaikan samudera yang tidak bertepi, bila memperoleh nikmat ia bersyukur dan bila terkena musibah ia tabah dan sabar. 

 


KH Zakky Mubarak, Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)