Nasional

Bagaimana jika Perilaku Umat Belum Bisa Mencontoh Nabi? Ini Penjelasan Gus Mus

Jum, 20 November 2020 | 05:45 WIB

Bagaimana jika Perilaku Umat Belum Bisa Mencontoh Nabi? Ini Penjelasan Gus Mus

KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus. (Foto: dok. istimewa)

Jakarta, NU Online

Sebelum mendapati risalah wahyu untuk mendakwahkan agama Islam, Muhammad muda sudah dikenal sebagai pribadi yang dapat dipercaya sehingga diberi gelar al-'amin oleh masyarakat Arab di Makkah. Dalam beberapa kesempatan, Muhammad dipercaya mendamaikan dua pihak yang sedang berselisih. Di sini kepercayaan muncul dengan basis akhlak mulia.


Akhlak mulia Muhammad terus mewarnai dirinya ketika diangkat menjadi Nabi. Beliau mendakwahkan Islam dengan teladan dan tuntunan yang baik. Tidak memaksa, tidak menghardik, apalagi berkata-kata kotor.


Teladan baik Nabi Muhammad mutlak dibutuhkan oleh umat dalam mengarungi kehidupan sehari-hari. Lalu bagaimana jika perilaku umat belum bisa mencontoh Nabi?


Menurut Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), jika umat belum bisa mencontoh Nabi, setidaknya jangan melakukan tindakan yang berlawanan dengan teladan dan tuntunannya.


“Apabila perilaku kita sebagai Umat Nabi Muhammad SAW belum mampu sepenuhnya mencontoh akhlak mulianya, setidaknya kita harus menjaga jangan sampai perilaku kita berlawanan dengan teladan dan tuntunannya,” ujar Gus Mus, Jumat (20/11) lewat instagramnya.

 

 

 

 


Sementara itu, Habib Luthfi bin Yahya menjelaskan bahwa perilaku Nabi Muhammad selalu menjaga perkataan. Hal ini yang menjadi salah satu syarat bagi mereka yang mengeluarkan fatwa maupun melontarkan pendapat dan kata-kata.


Pimpinan Majelis Kanzus Sholawat Pekalongan ini menerangkan, orang yang sering lahn (melakukan kesalahan di dalam menerapkan hukum) termasuk tidak boleh mengeluarkan fatwa.


“Lahn di sini tidak hanya mempunyai arti salah mengucapkan kata-kata, tetapi juga menjawab sesuatu padahal dia sendiri tidak tahu tahu jawabannya atau tidak mantap,” tutur Habib Luthfi dalam bukunya, Secercah Tinta (2012: 55).


“Semisal ada yang bertanya tentang hukum dan jawabannya ‘menurut pendapat saya begini’, itu termasuk lahn. Menjawab hukum kok ‘menurut saya’,” imbuh Habib Luhtfi.


Sebelumnya, Dosen UIN Syarif Hidyatullah Jakarta, Abdul Moqsith Ghazali juga menjelaskan perkara keturunan nabi atau habaib dengan sumber hukum dalam Islam. Pertanyaan mendasar yang dilontarkan Moqsith ialah apakah para habaib sumber hukum dalam Islam.


“Rupanya ada yang salah paham terhadap status yang saya buat sebelum Jumatan: Apakah Habaib Sumber Hukum dalam Islam?” tulisnya lewat Facebook, Jumat pekan lalu.


Kiai yang mengasuh pengajian kitab ushul fiqih, fiqih, dan tafsir secara virtual ini menjelaskan bahwa terang benderang ketika dinyatakan bahwa habaib bukan sumber hukum dalam Islam, maka di dalamnya tak ada unsur merendahkan anak keturunan Nabi.


“Justru poinnya adalah untuk menunjukkan ketinggian posisi Nabi,” terang Kiai Moqsith.


Sebab, menurutnya, dalam Islam hanya ada satu manusia yang perkataan, perbuatan dan taqrirnya menjadi rujukan hukum. “Manusia itu bernama Muhammad Rasulullah SAW,” jelasnya.


“Zaman Nabi SAW tak ada ijma'. Karena Nabi adalah sumber hukum satu-satunya (مرجع التشريع وحده). Dan sekiranya ada aktivitas ijtihad-qiyas oleh para Sahabat, maka hasilnya pun tetap dalam verifikasi Nabi, taqrir Nabi SAW,” tandasnya.


Pewarta: Fathoni Ahmad

Editor: Kendi Setiawan