Syariah

Ingin Shalat Khusyuk, Begini Caranya

Jum, 3 Desember 2021 | 05:00 WIB

Ingin Shalat Khusyuk, Begini Caranya

Cara paling mudah untuk shalat khusyuk. 

Khusyuk adalah ruh suatu ibadah, terutama shalat. Karenanya shalat yang dilakukan tanpa kekhusyukan laksana raga tanpa nyawa. Tiada berguna, bahkan sia-sia. Ragam definisi khusyuk disampaikan para ulama.


Ragam Definisi Khusyuk

Adalah Syekh Muhammad bin Bir Ali al-Barkuli (wafat 981 H) menjelaskan:


هُوَ قِيَامُ الْقَلْبِ بَيْنَ يَدَيْ الْحَقِّ بِهَمٍّ مَجْمُوعٍ


Artinya, “Khusyuk adalah hati berdiri (menghadap) di hadapan Tuhan Yang Maha Benar dengan kesedihan yang besar.” (Muhammad bin Bir Ali al-Barkuli, at-Thariqah al-Muhammadiyah dicetak bersama al-Bariqah al-Mahmudiyah, juz III, halaman 98). 

 


Selain itu, al-Barkuli juga mengutip kalam ulama yang mengatakan “tadzallul al-qulûb li ‘allamil ghuyûb”, atau khusyuk adalah kerendahan hati di hadapan Tuhan Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengawasi”. 


Ulama kontemporer Syekh Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili dalam at-Tafsir al-Munir saat menafsirkan surah al-Mukminun ayat 2, "alldzina hum fi shalatihim khasyi’un", menyatakan:


وهو الخضوع والتذلل لله والخوف من الله تعالى ومحله القلب فإذا خشع خشعت الجوارح كلها لخشوعه إذ هو ملكها


Artinya, “Khusyuk adalah kepasrahan, kerendahan, rasa takut kepada Allah. Tempatnya di hati. Karenanya, orang yang hatinya khusyuk, tentu semua anggota badannya turut khusyuk. Sebab hatilah yang menguasai seluruh anggota badan.”  Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili, at-Tafsir al-Munir, juz XVIII, halaman 14).

 


Cara Khusuk Menurut Syekh Izzuddin

Syekh Izzuddin bin Abdissalam (wafat 660 H) dalam kitab al-Qawa’id al-Kubra atau yang populer disebut Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam menjelaskan, cara khusyuk dengan menggunakan kaidah likulli maqamin maqalun, “Di setiap gerakan, ada bacaan dan penghayatan masing-masing yang harus diseriusi”. Syekh Izzuddin menerangkan:


فإنّ المصلي مأمور إذا قرأ القرآن أن يلاحظ معانيه فإن كان في آية وعيد خافه وإن كان في آية وعد رجاه ولهذا قال سبحانه وتعالى: أَمَنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِداً وَقَائِماً يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ


Artinya, “Orang yang shalat diperintahkan menghayati makna setiap ayat al-Qur’an yang dibacanya. Bila saat itu ia membaca ayat tentang ancaman (bagi yang durhaka), maka akan berbuah rasa takut kepada-Nya; jika ayat yang dibaca mengandung janji pahala kebaikan, maka ia optimis mendapatkannya. Allah berfirman, ‘Apakah orang yang beribadah tengah malam, sujud dan berdiri karena takut (azab) akhirat dan mengharap rahmat Tuhannya—sama seperti orang yang bermaksiat kepada Allah dengan kekufuran atau maksiat lainnya—?’.” (Izzuddin bin Abdissalam, al-Qawa’id al-Kubra, juz I, halaman 353).

 


Yang dimaksud Syekh Izzuddin dari surat az-Zumar ayat 9 di atas adalah, orang yang tengah shalat adakalanya menghayati siksa, dan kadang juga menghayati keluasan rahmat Tuhannya. Artinya, ketika yang dibaca bertepatan dengan ayat rahmat, maka harus optimis. Begitu pun saat membaca ayat azab, orang yang shalat semestinya merasa takut kepada Allah secara mendalam. Inilah yang ia maksud dengan li kulli maqamin maqalun, harus proporsional dalam beramal.


Syekh Izzuddin yang bergelar sulthanul ulama atau raja ulama melanjutkan, bahkan saat membaca ayat yang menceritakan sifat-sifat Allah, orang yang shalat harus merenungkan sifat-sifat itu. Ketika ayatnya berbicara ihwal tawakal, maka harus bertekad melakukannya. Begitu pun saat ayat yang dibacanya membincang takzim, cinta, ketaatan dan seterusnya, maka ia dituntut untuk takzim, mencinta, dan bertekad menjalani ketaatan itu. Syekh Izzuddin mewanti-wanti agar tak berpaling dari menghayati ayat yang kita baca. Dalam al-Qawa’id al-Kubra disebutkan:


ولا يشتغل عن معنى ذكر من الأذكار بمعنى غيره من الأذكار وإن كان أفضل  منه لأنه سوء أدب ولكل مقام مقال يليق به ولا يتعدّاه


Artinya, “Orang shalat tidak boleh berpaling merenungkan makna dzikir yang dibaca dengan makna zikir lainnya, walaupun dzikir tersebut lebih utama, sebab itu adalah adab yang buruk. Ingat, setiap gerakan ada bacaan dan penghayatannya masing-masing, hendaknya ia tidak melewatinya.” (Izzuddin bin Abdissalam, al-Qawa’id al-Kubra, juz I, halaman 354).

 


Menurut penulis, alasannya sangat rasional. Sebut saja dalam interaksi sosial, saat seseorang diminta berbicara sebagai narasumber tentang sejarah budaya misalnya, tapi ia malah berbicara tentang ekonomi pasar; harga sembako yang fluktuatif, kebijakan PPKM darurat yang meregang ekonomi rakyat, dan tema-tema lainnya yang tidak berkaitan. Sungguh sangat kacau. Betapa menyesalnya panitia mengundang pembicara seperti itu. Karenanya dalam shalat makruh hukumnya kita membaca al-Qur’an saat rukuk dan sujud, membaca subhanarobbiyal a’la ketika duduk di antara dua sujud yang seharusnya membaca doa, dan seterusnya.


Cara Khusyuk Paling Mudah 

Cara khusyuk berbeda diajarkan oleh guru penulis, KH Hariri bin Abdul Adhim Situbondo. Beliau mengajarkan cara shalat khusyuk paling mudah, yaitu dengan mengembalikan kepada Allah segala yang dirasakan, dilihat, dan didengarnya saat shalat. Sebut saja ketika orang shalat melihat segerombolan semut, atau mendengar suara ayam, kicauan burung, dan semisalnya, maka ia segera berupaya untuk mengembalikan semua yang didengar dan dilihatnya kepada Allah. Segerombolan semut itu termasuk hamba Allah yang tengah bergotong royong, mencari nafkah, dan menjalani tugasnya sebagai hamba. Demikian pula suara ayam dan kicauan burung. Allah dengan kuasa-Nya telah menciptakan suara khas dan bahasa komunikasi bagi masing-masing makhluk. Bahkan, mungkin saja mereka tengah fokus berzikir kepada Tuhannya.

 

Dengan cara seperti itu, secara tidak langsung orang yang sedang shalat dan menemukan berbagai hal tadi diantar untuk mengakui keagungan Allah sebagai penguasa alam semesta, sehingga setiap rukuk dan sujud akan melahirkan rasa rendah (at-tadzallul) yang amat dalam. Juga, takbir demi takbir dalam setiap gerakan dapat menambah kesadaran bahwa kita hanya sebutir debu atau bahkan lebih kecil. Inilah cara khusyuk paling mudah yang diajarkan Kiai Hariri.

 


Terlepas dari dua pendekatan cara khusyuk yang berbeda di atas, khusyuk dalam shalat tidak bisa diremehkan. Ia harus tetap diupayakan bagaimana pun caranya. Terkait dua cara khusyuk yang berbeda, tentu tak jadi soal. Karena semua itu tentang media. Intinya, apakah kita bisa khusyuk atau tidak. Tulisan ini tidak bermaksud membanding-bandingkan dua cara khusyuk tersebut. Hemat penulis, sejatinya Kiai Hariri sedang mengajarkan cara khusyuk yang paling mudah tanpa harus mengerti apa maksud bacaan dan gerakan shalat; sedangkan khusyuk ala Syekh Izzuddin mengharuskan kita mengerti keduanya. Semoga tulisan ini manfaat dan berkah. Wallahu a’lam bisshawab.

 


Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, Alumnus Ma’had Aly Situbondo, dan pendiri Komunitas Lingkar Ngaji Lesehan Lombok.