Pekerja Migran Indonesia Perlu Hati-Hati, Pahami Prosedur dan Kultur Negara Setempat
NU Online · Selasa, 3 Juni 2025 | 21:00 WIB

Akademisi Hukum Tata Negara dan Stasfsus Menteri P2MI Ahsanul Minan dalam seminar yang diadakan PB PMII bertajuk Ancaman Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Modus Scammer bagi Gen Z Indonesia, di Kampus Unusia, Jakarta, pada Selasa (3/5/2025). (Foto: tangkapan layar Youtube PB PMII)
Haekal Attar
Penulis
Jakarta, NU Online
Akademisi Hukum Tata Negara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Ahsanul Minan memaparkan cara negara agar dapat melindungi pekerja migran Indonesia (PMI). Ia melihat, banyak PMI yang tidak melakukan telaah lebih lanjut terkait prosedur untuk bekerja di luar negeri.
Ia lantas meminta para PMI agar selalu berhati-hati serta memahami semua prosedur yang telah ditetapkan dan kultur di negara setempat.
Minan menganalogikan pemikiran PMI yang ke laur negeri seperti hanya bekerja berpindah dari provinsi satu ke provinsi lain di Indonesia, sehingga hanya sekadar membeli tiket lalu pergi dan merasa bahwa prosedur dan kulturnya sama, tapi gaji besar yang menjadi pembeda.
Hal itu diungkap Minan dalam seminar yang diadakan oleh Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) yang bertajuk Ancaman Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Modus Scammer bagi Gen Z Indonesia, di Lantai 4 Gedung Kampus Unusia, Jalan Taman Amir Hamzah, Menteng, Jakarta Pusat, pada Selasa (3/5/2025).
"Padahal ketika kita sudah berada di negara lain itu mayoritas itu semuanya sudah berbeda, sistem hukumnya juga beda. Jadi kita juga susah berharap kalau nanti saya sudah sampai ke Myanmar saya nanti akan mendapat perlakuan sosial sama seperti di Indonesia," katanya.
Ia mengingatkan bahwa Indonesia telah memiliki Undang-undang (UU) Nomor 18 tahun 2017 tentang Pelindungan PMI. Minan memaparkan, jika PMI bermasalah, maka tindakan untuk memulangkannya perlu mekanisme yang cukup rumit.
"Kalau di sana (luar negeri) kita harus hari ini lapor terus besok kita kirim dari Kemlu misalnya langsung ambil, wah nanti bisa didor (tembak), dituduh menculik karena sistem hukumnya beda," kata Staf Khusus Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) itu.
Terkait substansi utama yang diatur negara untuk memastikan perlindungan itu, lanjut Minan, pertama-tama harus ada kesepahaman dan kesepakatan antarnegara untuk saling menempatkan atau menerima pekerja migran.
"(Kenapa penting?) karena dengan adanya kesepakatan antarnegara itu, negara yang menerima pekerja migran juga punya tanggung jawab melindungi. Kita yang mengirim punya tanggung jawab sebelum mengirim," katanya.
Kedua, lanjutnya, negara penempatan harus punya regulasi yang melindungi pekerja termasuk PMI, sehingga Kementerian P2MI bersama Kemlu saat hendak membuat MoU selalu cek terlebih dahulu, apakah punya UU Ketenagakerjaan atau tidak?
"Kalau tidak punya, maka mereka tidak terikat memberikan perlindungan kepada tenaga kerja kita," katanya.
Ketiga, kata Minan, di dalam UU itu didorong bahwa proses bekerja di luar negeri perlu melalui mekanisme penempatan oleh perusahaan penempatan pekerja migran, meski bisa juga bekerja secara mandiri, tapi didorong untuk menggunakan perusahaan penempatan.
"Jadi di UU sebenarnya didorong amannya sebenarnya pakai kalau bekerja di luar negeri pakai perusahaan, makasudnya dengan menggunakan jasa P2MI itu politik hukumnya atau maksud pemerintah agar semua pekerja migran yang berangkat itu terdata," katanya.
Sementara itu, Dosen Hukum Pidana Unusia Setya Indra Arifin melihat tidak hanya soal produk hukum yang digencarkan. Ia beralasan bahwa banyak masalah PMI bukan problem hukum, tapi problem-problem di luar hukum bahkan melampaui hukum
"Kayak misalkan di Myanmar ada kondisi di 2022-2023 itu bahkan aparat di sana itu nyerah terhadap wilayah-wilayah yang masih yurisdiksi aturan wilayah negaranya. Itu yang saya maksud problem yang melampaui hukum," jelasnya.
"Butuh upaya-upaya yang memang luar biasa di tengah-tengah situasi di mana tidak ada MoU atau perjanjian multilateral maka polisi harus bekerja secara intelijen, maka dibutuhkan itu tantangan buat penegakan hukum kita khususnya penegakan hukum kita," sambungnya.
Tidak hanya itu, ia menjelaskan ada tantangan kemampuan komunikasi, metode investigasi yang kaitannya dengan strategi mengatasi problem-problem di luar hukum.
"Maka tawaran saya sebetulnya saya tidak cukup sepakat dan tidak cukup suka terlalu banyak Undang-Undang," terangnya.
Terpopuler
1
Niat Puasa Arafah untuk Kamis, 5 Juni 2025, Raih Keutamaan Dihapus Dosa
2
Laksanakan Puasa Tarwiyah Lusa, Berikut Dalil, Niat, dan Faedahnya
3
Menggabungkan Qadha Ramadhan dengan Puasa Tarwiyah dan Arafah, Bolehkah?
4
Khutbah Idul Adha: Mencari Keteladanan Nabi Ibrahim dan Ismail dalam Diri Manusia
5
Terkait Polemik Nasab, PBNU Minta Nahdliyin Bersikap Bijak dan Kedepankan Adab
6
Takbiran Idul Adha 1446 H Disunnahkan pada 5-9 Juni 2025, Berikut Lafal Lengkapnya
Terkini
Lihat Semua