Syariah

Awas Bahaya Istikharah Abal-abal!

Ahad, 31 Oktober 2021 | 16:30 WIB

Awas Bahaya Istikharah Abal-abal!

Awas Bahaya Istikharah Abal-abal! (Ilustrasi)

Istikharah, secara etimologi merupakan derivasi dari kata istakhara-yastakhiru yang berarti mencari yang baik atau terbaik. Namun, harus selalu diingat, dalam pencarian ada kalanya mendapatkan apa yang dicari (yang baik) dan kadang kala tidak. Bahkan, tak jarang orang yang tak mendapat apa-apa dalam pencariannya. Dalam istikharah, itu semua tergantung apakah kita mampu membaca tanda dan isyarat atau tidak.

 

Beberapa tahun lalu, salah seorang dosen saya di Ma’had Aly Situbondo pernah bercerita tentang seorang gadis kota yang dilamar oleh seorang pria desa kelahiran Madura. Hubungan mereka yang telah dirajut rapi dalam waktu yang tak singkat itu, berakhir nestapa lantaran membebek pesan istikharah yang disalahpahami.

 

Ceritanya, perempuan kota yang intelektual dan spiritualnya lahir dari rahim pesantren tersebut tidak langsung menerima lamaran kekasihnya. Ia memang mengangguk saat dilamar, namun masih disusuli kata ‘tapi’. Sebesar apa pun cinta yang ia pendam, tetaplah terasa ganjil bila belum sujud di sajadah istikharahnya terlebih dahulu. Karena baginya, pernikahan adalah ukiran cerita keabadian; ia laksana pakaian yang akan selalu dikenakan bahkan sampai dasar liang kuburnya. Tak akan pernah tergantikan, walau badan telah berselimut kafan.

 

Prinsip besar itulah yang mendorong dirinya harus berkonsultasi dengan Tuhan terlebih dahulu. Singkat kisah, beberapa hari kemudian, pria Madura itu mendapat kabar yang menurutnya tak semestinya ia dengar. Melalui suara yang tak asing dari balik telepon genggam, kekasihnya mengabari bahwa petuah shalat istikharahnya tidak bagus, bahkan sangat buruk dibanding hasil shalat istikharahnya dengan lelaki tetangga sebelah. Ia bercerita, pada malam hari selepas shalat istikharah, ia bermimpi berjalan ke suatu tempat yang sungguh amat jauh. Akses menuju tempat tersebut pun berliku-liku, turun-naik dan cukup terjal dengan kondisi jalan yang penuh lubang.

 

Melihat perjalanan alam bawah sadarnya, ia memutuskan bahwa pria Madura yang berada di kejauhan sana, tak baik baginya. Hidupnya akan melarat-sengsara jika meneruskan lamaran tersebut ke jenjang pernikahan. Sudi atau tidak, seketika juga ia harus mengakhiri jalinan indah itu dan membiarkannya menjadi kenangan menyakitkan yang mengiris relung hati mereka perlahan.

 

Padahal, setelah berpikir panjang, pria tadi menyadari satu tafsir lain atas mimpi kekasihnya. Pengertian jalan terjal, berliku-liku lagi berlubang dalam mimpi itu, ternyata bukan tentang penghidupan yang serba sulit. Tapi tentang gambaran akses menuju rumahnya yang berada di tengah pedalaman, pelosok juga jauh dari sinyal dan listrik.

  

Tetapi, sayang seribu sayang, beras sudah jadi tumpeng, nasi pun sudah jadi bubur, dan senja sore itu telah tenggelam. Ia sangat menyesalkan dirinya yang tidak memberi tahu kondisi akses menuju gubuknya, dan sangat membenci cara tafsir kekasihnya yang gagap-buta itu.

 

Syahdan, dari cerita ini, penting kiranya kita merumuskan kembali bagaimana peran istikharah di hadapan persoalan demi persoalan dan kebimbangan yang kita hadapi. Dan, haruskah memiliki kapabilitas mumpuni untuk beristikharah?

 

Dalam Islam, kita diajarkan dua pendekatan untuk menghadapi setiap persoalan; (1) musyawarah dan (2) istikharah. Keduanya sama-sama penting, wajar saja dua pendekatan ini mendapat kursi khusus dari perhatian legislator syariat. Ada satu hadits menarik—kendati masih dipersoalkan kualitas kesahihannya—yang dikutip al-Quthb ar-Rabbani Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad dalam kitab Risalatul Mu’awanah wal Muzhaharah wal Muadzarah (hal. 114). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

مَا خَابَ مَنِ اسْتَخَارَ ومَا نَدِمَ مَنِ اسْتَشَارَ

Artinya, “Pelaku istikharah tidak mungkin pulang membawa kegagalan, sebagaimana pegiat musyawarah tak akan pernah datang memikul penyesalan.”

 

Kalau memang sedemikian gemilang yang ditawarkan Nabi, mengapa tidak sedikit yang bermuram durja lantaran istikharahnya? Problemnya, tentu bukan pada istikharah itu sendiri, tetapi pada kapabilitas pelaku istikharahnya, apakah ia mampu membaca isyarah langit dengan benar atau tidak. Karena itu, kapabilitas sangat menentukan.

 

Peran Istikharah Menyingkap Misteri Kehidupan

Melalui hadist yang dikutip imam al-Haddad tadi, kita bisa berkesimpulan bahwa orang boleh memilih mana saja antara beristikharah atau bermusyawarah. Bila dikaji lebih dalam, kedua cara ini sebenarnya memiliki titik poros yang sama, yakni mencari jalan keluar yang paling solutif untuk sebuah persoalan. Artinya, seseorang yang tengah beristikharah berarti sedang bermusyawarah dengan Tuhan. Demikian sebaliknya, orang yang bermusyawarah, sejatinya sedang mencari jalan terbaik (istikharah) bersama orang-orang yang dipercayainya. Hanya saja, objek interaksinya berbeda. Term istikharah untuk interaksi verikal kita dengan sang pencipta, sedangkan musyawarah untuk interaksi horizontal dengan sesama manusia.

 

Sebagaimana istikharah yang butuh kapabilitas sang pelaku, maka musyawarah juga demikian, harus bersama yang kapabel. Mengingat, kita dilarang membincang sesuatu bukan bersama ahlinya. Contoh kecil, misalnya di awal Desember mendatang, Bang Karni Ilyas, tuan rumah Indonesia Lawyers Club (ILC) akan membuka forum tentang diskriminasi perempuan dan komunitas LGBT. Dalam forum tersebut, ia akan menghadirkan narasumber dan tamu undangan dari kalangan petani dan para nelayan. Sampai di sini, bagaimana menurutmu? Kacau sekali bukan? Lalu, orang gila mana yang tidak ‘mengocok perut’ kala menyaksikan pertunjukan semacam ini? Rupanya, kapabilitas juga penting dalam musyawarah.

 

Kembali ke awal, antara istikharah dan musyawarah, langkah manakah yang sebaiknya kita ambil? Jawabannya jelas kondisional. Mereka yang dianugerahi kapabilitas mapan dalam berdialog dengan Tuhan, tak ayal lagi bahwa beristikharah lebih baik. Walaupun, sebagai bentuk etika dan harmonisasi sosial, penting untuk meminta pendapat satu sama lain. Sang abul basyar Nabi Ibrahim ‘alaihissalam pernah meneladankan kepada kita akan hal ini. Kendati sudah mendapat isyarah langit untuk menjalankan perintah Allah agar menyembelih buah hatinya, Ismail, ia tetap memohon pandangan putranya terlebih dahulu. Dalam Al- Qur’an surah as-shaffat 102 diabadikan:

 

قَالَياَا بُنَيَّ إنِّي أَرَى فِي المَنَامِ أنِّي أَذْبَحُكَ فانْظُرْ مَاذَا تَرَى قال يَا أَبَتِ افْعَلْ ما تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إن شاء الله من الصَّابِرِيِّن

Artinya, “Ibrahim berkata, ‘Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana menurutmu!,’ Ismail menjawab: ‘Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar’.”

  

Syekh Muhammad ar-Raisuni dalam Asy-Syuro fi Ma’rakatil Bina’ (hal. 16) mengatakan, Falmas’alatu mahsusat(un) ma’zumat(un), wa ma’a dzalika yaqulu Ibrahim li waladihi, ‘Fanzhur madza tara’, “Walau Nabi Ibrahim telah bertekad bulat karena mendapat isyarah langit, namun ia tetap mengatakan, ‘Maka, pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’”. Ini adalah pelajaran etika sosial yang luar biasa.

 

Selanjutnya, bagi yang tidak memiliki kecakapan dalam beristikharah, tak cermat membaca tanda, atau memang krisis bekal spiritual dan intelektual, maka langkah terbaik yang harus ia ambil adalah bermusyawarah dengan orang-orang yang kapabel pada persoalan yang ia hadapi. Bukan malah membebek pesan istikharahnya yang ditafsiri secara serampangan (bi ghairi ‘ilm(in)). Dampaknya bisa fatal. Inilah yang kami sebut istikharah abal-abal. Wallahu a’lam bisshawab.

 

Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur.