Riset BLAJ

Gus Miftah: Teknologi Dakwah Berkembang dari Masa ke Masa

Jum, 20 November 2020 | 16:30 WIB

Gus Miftah: Teknologi Dakwah Berkembang dari Masa ke Masa

Gus Miftah saat berbicara dalam seminar hasil penelitian BLA Jakarta. (Foto: Dok. BLAJ)

Jakarta, NU Online
Dai kondang yang sedang naik daun, Miftah Maulana Habiburrahman, atau lebih akrab disapa Gus Miftah mengatakan, teknologi dakwah dari masa ke masa mengalami perkembangan pesat. Jika dakwah di zaman Rasulullah SAW lebih banyak menggunakan lisan, maka para era sahabat dakwah sudah mulai bergeser melalui tulisan.


Hal tersebut dikatakan Gus Miftah saat didaulat berbicara dalam seminar hasil penelitian yang diselenggarakan Balai Litbang Agama (BLA) Jakarta Balitbang Diklat Kementerian Agama RI. Seminar ini mengusung tema 'Pendidikan Keagamaan pada Komunitas Generasi Milenial' ini digelar dua hari, Ahad-Senin (8-9/10).


“Dalam berdakwah, kita mendengar satu hadis yang sangat masyhur dan populer yang berbunyi khatibunnas biqadri uquihim, berbicaralah dengan manusia sesuai dengan kemampuan mereka,” tuturnya.


“Dalam sirah nabawiyah (sejarah nabi), dijelaskan bahwa Rasulullah SAW memiliki bahasa retorika luar biasa yang setiap orang mendengar dapat takluk dengan pembicaraan beliau,” sambung Pendiri Pesantren Ora Aji Sleman Yogyakarta ini.


Menurut Gus Miftah, dakwah kemudian berkembang di masa sahabat. Dakwah yang awalnya hanya bi al-lisan (dengan lisan), kemudian dilanjutkan para sahabat Nabi dengan metode bil-qalam (dengan tulisan).


“Saat itu mulai ada kegiatan tulis-menulis, Al-Qur’an mulai dibukukan, hadis juga demikian, dan masih banyak lainnya. Termasuk ada ilmu baru yang tidak ada di zaman Nabi yang lahir pada zaman sahabat,” terang Gus Miftah.


Pria yang gemar memakai blangkon ini lalu menceritakan pola dakwah pada masa Walisongo. Dakwah yang dilakukan para wali, lanjut dia, menggunakan pendekatan budaya (tsaqafah).  Para wali mengenalkan dakwah dengan cara sederhana namun sangat mengena.


“Begitu indahnya Walisongo mengenalkan dakwah dengan budaya, yang dapat kita lihat salah satunya dari masjid-masjid yang banyak didirikan para wali di pinggir Alun-alun atau lapangan seperti Masjid Demak JawaTengah,” terangnya.


Menurut Gus Miftah, itu terjadi karena zaman dahulu bahkan sampai sekarang, Alun-alun dan lapangan menjadi pusat berkumpulnya orang-orang. Melihat posisi Alun-alun dan tanah lapang itu berada di tengah-tengah, tentu sangat efektif digunakan untuk berdakwah.


Para wali kemudian meletakkan dan memainkan gamelan di dalam masjid agar dapat menarik perhatian masyarakat untuk berbondong-bondong memasukinya. Karena gamelan menjadi hiburan warga pada masa itu.


“Warga yang hadir di dalam masjid kemudian diperdengarkan tembang dan lagu oleh para wali. Akhirnya, muncullah tembang-tembang yang kita kenal hari ini. Seperti  mengenalkan rukun Islam dengan lagu Lir-ilir,” terangnya.


Walisongo, kata Gus Miftah, juga mengenalkan tentang kebersihan (thaharah) dengan lagu Sluku-sluku Bathok. Juga ketika berbicara tentang kematian, para wali menggunakan lagu turi putih.  


Gus Miftah juga menyebutkan, sebelum masyarakat memasuki masjid, ada kolam kecil di depan masjid yang disiapkan oleh para wali. “Agar kaki yang masuk ke masjid sudah dalam keadaan suci. Para wali zaman dahulu tidak mungkin memaksa untuk mencuci kaki, sehingga disiapkan kolam kecil,” terangnya.


Pada era sekarang, Gus Miftah mengungkapkan, perkembangan zaman mengharuskan berdakwah melalui media sosial. “Ini yang menjadi tantangan tersendiri bagi kita,” tandasnya.


Ceramah Gus Miftah tentang dunia dakwah di era digital ini dimoderatori Kepala Subbagian Tata Usaha (Kasubag TU) BLA Jakarta Heri Susanto. Sebelum berakhir, Heri sempat membacakan pertanyaan Fikriya dari Depok tentang bagaimana cara mengarahkan generasi milenial untuk lebih tertarik pada informasi pengetahuan agama yang moderat, inklusif, dan rahmatan lil alamin.


“Silakan Ibu Fikriya tonton pengajian saya di PBNU bareng Deddy Corbuzier. Sudah ada jawabannya di situ. Terima kasih,” pungkas Gus Miftah.


Penulis: Afina Izzati
Editor: Musthofa Asrori