Risalah Redaksi

Salah Kaprah Menghina Simbol Suci Agama atas Nama Kebebasan Berekspresi

Ahad, 1 November 2020 | 12:00 WIB

Salah Kaprah Menghina Simbol Suci Agama atas Nama Kebebasan Berekspresi

Sebagian kelompok ekstremis sekuler menggunakan kebebasan sebagai dalih untuk mengolok-olok kepercayaan orang lain yang memiliki nilai sakral. 

Nahdlatul Ulama mengecam keras pembunuhan yang dilakukan atas seorang guru sekolah dan serangan yang menewaskan tiga orang di gereja di kota Nice, Prancis. Hal tersebut tidak mencerminkan nilai-nilai Islam yang penuh dengan cinta dan kedamaian serta penyelesaian masalah dengan cara-cara terhormat. Terorisme tidak spesifik menyangkut agama tertentu. 


NU juga mengecam keras penyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sedang mengalami krisis. Hal ini merupakan pernyataan yang provokatif, tendensius, dan menggelorakan Islamofobia yang berdampak pada perdamaian dunia. Akibat pernyataannya, sejumlah demonstrasi dan kampanye boikot produk Prancis terjadi di sejumlah negara dengan penduduk mayoritas Muslim.


Penghormatan agama dan kebebasan berekspresi menjadi isu yang sensitif di Barat. Bagi umat Islam, figur Nabi Muhammad merupakan simbol suci yang harus dihormati karena menurut Islam, tidak boleh menggambar wajah Rasulullah. Pembuatan karikatur Nabi merupakan penghinaan yang melukai perasaan umat Islam, sementara beberapa orang di Barat memparodikan hal tersebut dengan dalih kebebasan berekspresi, padahal tujuan sebenarnya bisa untuk kepentingan komersial, ketidaksukaan terhadap imigran Muslim, atau bahkan kebencian terhadap Islam. 


Saat ini, masyarakat Barat memandang bahwa agama bukan lagi sesuatu yang dominan yang menjadi rujukan utama dalam kehidupan. Hal itu tak lepas dari pengalaman pahit era kegelapan ketika agama sangat hegemonik sampai akhirnya muncul abad pencerahan dengan ilmu pengetahuan sebagai pemandu pada jalannya kehidupan. Salah satu prinsip yang dipegang dalam mencapai kemajuan dan pencerahan tersebut adalah kebebasan berekspresi dan berpendapat.


Namun demikian, kebebasan memiliki batasannya, yaitu dengan tetap menghormati kepercayaan dan keyakinan pihak lain. Ketika simbol-simbol suci dilecehkan atas nama kebebasan maka hal tersebut menimbulkan masalah. Sayangnya, bagi kelompok ekstremis sekuler, kebebasan digunakan sebagai dalih untuk mengolok-olok atau bahkan menghina kepercayaan orang lain yang memiliki nilai sakral. 


Tindakan kelompok fundamentalis sekuler yang mengagung-agungkan kebebasan tanpa batas dengan tidak menghargai keyakinan kelompok lain kemudian direspons oleh segolongan fundamentalis agama yang menggunakan cara-cara kekerasan sebagai balasan. Pada akhirnya, publik luas yang dirugikan. 


Dalam dunia yang semakin menyatu ini, di mana satu peristiwa dengan cepat menyebar ke tempat lain, maka ekspresi-ekspresi yang tanpa mempertimbangkan penghormatan kepada simbol-simbol suci yang dimiliki oleh agama atau kelompok lain dapat menimbulkan masalah. Dunia telah menjadi sebuah desa global di mana kejadian atau peristiwa di satu tempat dapat disaksikan dalam waktu nyata atau dengan segera direspon. Dengan demikian, penghormatan kepada kepercayaan, keyakinan, atau nilai-nilai pihak lain menjadi penting, melampaui batasan teritorial negara. 


Kesadaran atas penghormatan terhadap keyakinan pihak lain ini telah ditunjukkan oleh pengadilan HAM Eropa (ECHR) pada 27 Oktober 2018 yang menetapkan bahwa penistaan agama dan tokoh agama bukan bentuk kebebasan berekspresi. Seorang wanita berusia 40 tahun berinisial E.S dalam dua kali seminar pada 2009 berpendapat bahwa pernikahan Nabi Muhammad dengan Aisyah mirip dengan kasus pedofilia saat ini. Atas ungkapannya tersebut, pengadilan Wina menjatuhkan sebuah hukuman, yang dikukuhkan kembali oleh pengadilan banding E.S mengajukan kasus tersebut ke Pengadilan HAM Eropa yang justru menguatkan keputusan pengadilan Austria. 


Dalam keputusannya, Pengadilan HAM Eropa menyebutkan "Keputusan Pengadilan Austria telah secara hati-hati menyeimbangkan antara haknya berkaitan dengan kebebasan berekspresi dengan hak orang lain untuk melindungi perasaannya dalam beragama". Dalam keputusan tersebut juga dinyatakan "Keputusan Pengadilan Austria juga sudah selaras dengan tujuan yang sah dalam menjaga perdamaian agama.”


Kepala badan anti-ekstremisme PBB, Miguel Angel Moratinos telah menyatakan "keprihatinan yang mendalam" atas kontroversi terkait dengan karikatur Nabi Muhammad. Ia menegaskan bahwa "Karikatur yang menghasut juga memprovokasi tindakan kekerasan terhadap warga sipil tak berdosa yang diserang karena agama, keyakinan, atau etnis mereka." Selain itu, ia juga menyatakan bahwa penghinaan terhadap simbol-simbol suci agama memicu kebencian dan ekstremisme kekerasan, yang mengarah pada polarisasi dan fragmentasi masyarakat. Moratinos menegaskan bahwa kebebasan beragama dan berekspresi adalah hak yang saling bergantung, terkait, dan saling menegakkan kembali yang berakar dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. "Menjunjung tinggi dan melindungi hak-hak fundamental adalah tanggung jawab utama negara anggota (PBB)." 


Pendekatan kekerasan oleh para ekstremis menjadi pembenar bagi kelompok-kelompok yang ekstrem sayap kanan yang mengampanyekan islamofobia. Muslim yang tinggal di daerah minoritas menerima perlakuan yang tidak layak atau bahkan menerima ancaman akibat persepsi buruk yang dengan sengaja dikampanyekan oleh orang atau kelompok tertentu yang tidak suka dengan Islam.


PBNU meminta kepada segenap umat Islam dan warga NU untuk bersikap tenang dan tidak terprovokasi dalam menyikapi kasus tersebut. Umat Islam perlu terus mengampanyekan Islam toleran dan damai sebagai dasar bagi hubungan antarmanusia yang berasal dari berbagai latar belakang dan keyakinan sebagai landasan hubungan yang harmonis dan saling menghormati. (Achmad Mukafi Niam)