Risalah Redaksi

Menjaga Asa Perdamaian di Palestina

Ahad, 5 Juli 2020 | 07:00 WIB

Menjaga Asa Perdamaian di Palestina

Prinsip-prinsip keadilan atau deklarasi HAM yang selama ini diagung-agungkan di Amerika Serikat dan sejumlah negara Barat ternyata tak berkutik di bawah kepentingan Israel.

Menjaga Asa Perdamaian di Palestina

Upaya Israel untuk mencaplok sebagian wilayah Tepi Barat pada 1 Juli 2020 lalu akhirnya batal setelah mendapatkan tekanan internasional. Indonesia bersama dengan negara-negara Muslim menentang tindakan sepihak tersebut. Inggris, Jerman, maupun Prancis menyuarakan penolakan yang sama. Kepala Dewan HAM PBB menegaskan bahwa pencaplokan tersebut ilegal.


Sekalipun aneksasi kali ini digagalkan, tidak ada jaminan bahwa hal tersebut tidak dilakukan lagi di masa mendatang. Alasannya, tenggat 1 Juli bukan sesuatu yang sifatnya sakral. Dengan begitu, Israel bisa kapan saja melakukan langkah tersebut jika dirasa siap. Sejauh ini, secara diam-diam Israel terus membangun pemukiman di wilayah ilegal yang tidak diakui menurut hukum internasional itu. Sejak 1948, secara bertahap wilayah Palestina semakin berkurang karena aneksasi yang dilakukan oleh Israel. 


Konflik di Palestina dimulai pada 1948, artinya telah berlangsung selama 72 tahun dan hingga kini belum ada titik terang penyelesaian secara komprehensif. Peperangan tahun itu menyebabkan 700 ribu orang Palestina mengungsi ke negara sekitarnya, dan kini jumlah keturunannya telah mencapai sekitar 4.5 juta orang. Mereka menuntut untuk bisa kembali ke tanah kelahiran leluhurnya. Yang tinggal di Jalur Gaza pun hidup dalam kemiskinan yang parah akibat blokade Israel. Barang-barang kebutuhan pokok sulit masuk. Anak-anak muda seolah hidup tanpa masa depan karena tiadanya pekerjaan. Tak ada kepastian sampai kapan situasi ini akan berubah.


Di sisi lain, Israel terus memperluas wilayah tanpa ada yang mampu menahannya. Negara-negara besar hanya sekadar mengecam atau mengutuk tanpa tindakan konkret mencegah hal tersebut terus berlangsung. Standar ganda dunia inilah yang dirasakan oleh rakyat Palestina karena ketiadaan keadilan. Banyak pelanggaran lain dilakukan Israel tanpa ada konsekuensi. Salah satunya terkait kepemilikan senjata nuklir yang menurut sejumlah laporan telah dimiliki oleh negara tersebut. Sejauh ini tak ada pemeriksaan atau sanksi apapun dari komunitas internasional. Tampaknya negara ini boleh melakukan apapun tanpa dihukum.  


Tanpa dukungan Amerika Serikat, Israel sesungguhnya bukan apa-apa. Sejak  tahun 1970, AS telah menggunakan veto sebanyak 39 kali untuk melindungi Israel dari resolusi Dewan Keamanan PBB. Di Amerika Serikat, Israel merupakan isu penting terkait dengan pemilihan  presiden atau politik nasional negara tersebut. Terdapat sekitar 5,2-6,4 juta keturunan Yahudi yang tinggal di negara tersebut. Jumlah ini merupakan populasi terbesar kedua setelah komunitas Yahudi yang tinggal di Israel. Mereka memiliki organisasi lobi kuat yang mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah terkait dengan hubungan Palestina-Israel. Kalau Amerika Serikat bersikap adil, kemungkinan besar sudah dari dulu masalah ini selesai.


Prinsip-prinsip keadilan atau deklarasi HAM yang selama ini diagung-agungkan di Amerika Serikat dan sejumlah negara Barat ternyata tak berkutik di bawah kepentingan Israel. Mereka bersikap ambigu dengan menetapkan di mana prinsip-prinsip dasar kemanusiaan tersebut akan diterapkan dan kapan hal tersebut diabaikan. Nilai-nilai kemanusiaan sekedar jadi alat kepentingan. Yang dilakukan, sekedar pemanis berupa kata-kata berupa kecaman yang sama sekali tidak mengubah jutaan nasib rakyat Palestina.  


Presiden Trump yang kali ini berkuasa secara jelas menyatakan dukungannya atas kepentingan Israel sejak kampanye. Dia telah memberi pengakuan atas Yerussalem sebagai ibu kota Isarel. Selanjutnya, ia menggagas Perjanjian Abad Ini yang isinya sangat pro Israel sehingga ditentang Palestina. Tapi berdasarkan usulan perjanjian yang belum disepakati ini, Israel menjadikannya sebagai dasar pencaplokan wilayah Tepi Barat.


Israel terus merampas tanah-tanah Palestina untuk mewujudkan Israel Raya. Mereka membutuhkan perumahan-perumahan baru untuk menampung para imigran yang terus berdatangan ke negeri itu. Israel tumbuh menjadi negara yang makmur dan kuat, yang sayangnya hidup di atas penderitaan jutaan rakyat Palestina. Pengalaman pahit menjadi diaspora dan korban Holocoust seharusnya menjadi pelajaran orang Yahudi untuk menghargai penderitaan orang lain. Namun, hal tersebut ternyata tidak menjadikan mereka memiliki empati terhadap penderitaan kelompok lain. 


Penyelesaian persoalan di Palestina hanya akan berlangsung secara permanen jika terdapat keadilan bagi semua pihak yang bersengketa. Palestina tak bisa berharap pada Amerika Serikat yang jelas-jelas membela kepentingan Israel. Kekuatan baru dunia  seperti Uni Eropa atau China serta solidaritas negara-negara berkembang akan menjadi penyeimbang demi terciptanya keadilan. 


Menggalang diplomasi internasional menjadi salah satu cara yang efektif. Majelis Umum PBB telah mengesahkan mosi yang mengubah status entitas menjadi negara pengamat bukan anggota. Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) telah mengakui keanggotaan Palestina. Dua pengakuan oleh lembaga internasional ini secara konsisten ditentang oleh Amerika Serikat. Mahkamah Kriminal Internasional (International Criminal Court) telah mengakui Palestina. Pengakuan ini dimanfaatkan Palestina untuk mendorong ICC mengadili warga Israel yang diduga melakukan pelanggaran atas hukum dan norma internasional di Tepi Barat dan Gaza. Pengakuan-pengakuan secara bertahap dari banyak organisasi akan menegaskan posisi Palestina di dunia internasional. 


Indonesia sebagai sesama negara yang pernah mengalami kolonialisasi tak pernah lepas dalam membantu Palestina. Selain memberi dukungan di forum-forum internasional, bantuan langsung juga diberikan. Salah satunya berupa pendirian Rumah Sakit Indonesia di Gaza. Dukungan Indonesia menegaskan bahwa rakyat Palestina tidak sendirian dalam memperjuangkan keadilan. (Achmad Mukafi Niam)