Risalah Redaksi

Meminimalkan Dampak Sosial Ekonomi Covid-19

Ahad, 19 April 2020 | 12:30 WIB

Meminimalkan Dampak Sosial Ekonomi Covid-19

Masalah ekonomi merupakan dampak paling dirasakan di luar penyakit yang diderita oleh mereka yang terjangkit Covid-19.

Sebanyak 1,2 juta karyawan telah di-PHK. Jumlah tersebut akan terus bertambah jika Covid-19 berlangsung lebih lama. Para pekerja informal juga telah lama menganggur akibat aktivitas ekonomi yang menurun. Ketika tak ada kepastian sampai kapan kondisi akan pulih, nasib mereka semakin hari semakin terpuruk. Waktu sebulan dua bulan bukanlah waktu yang pendek karena setiap hari harus makan, minum, dan memenuhi kebutuhan dasar lainnya.

Kelompok miskin yang jumlahnya mencapai 24,79 juta jiwa paling mengalami tekanan. Dalam situasi biasa saja, mereka kesusahan memenuhi kebutuhan dasar hidup, apalagi ketika kesulitan semakin mendera. Menurut lembaga riset SMERU, dengan asumsi risiko terburuk, jumlah yang menjadi miskin bisa bertambah sebesar 8,5 juta sehingga totalnya menjadi 33,24 juta.
 
Persoalan ekonomi merupakan dampak paling dirasakan di luar penyakit yang diderita oleh mereka yang terjangkit Covid-19. Bahkan, jika berlangsung semakin lama, dampak buruk sosial ekonomi bisa lebih tinggi dibandingkan dengan persoalan kesehatannya. Banyak orang bisa mati karena kesulitan makan atau meninggal karena penyakit lain yang seharusnya bisa ditangani tetapi menjadi tak tertangani karena adanya Covid-19 Ini. 

Persoalan ekonomi, dapat menimbulkan persoalan lanjutan lainnya seperti peningkatan kejahatan. Akibat ketiadaan uang, sebagian orang terpaksa melakukan kejahatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Apalagi dengan dilepaskannya sekitar 30 ribu orang dari penjara, maka para residivis akan kembali berulang. Berbagai laporan media menunjukkan sejumlah residivis kembali berulah dan akhirnya ditangkap lagi. Rasa aman menjadi sesuatu yang mahal.

Dalam jangka panjang, persoalan kekurangan gizi yang dialami oleh bayi yang kini berada di usia kurang dari tiga tahun akan memunculkan risiko rendahnya kapasitas fisik, intelektual, dan emosional generasi tersebut. Kondisi ini akan mempengaruhi daya saing mereka di masa depan karena 1000 hari pertama adalah usia emas dalam perkembangan otak. Stunting telah menjadi persoalan yang hingga kini belum terpecahkan di Indonesia.
 
Persoalan juga muncul dalam dunia pendidikan akibat diliburkannya lembaga pendidikan. Program belajar dari rumah yang diselenggarakan dari tingkat SD sampai dengan perguruan tinggi tentu tidak akan sama dengan ketika pelajar berinteraksi dengan guru secara langsung di sekolah atau kampus. Apalagi bagi para pelajar yang berasal dari keluarga miskin yang memiliki keterbatasan mengakses internet yang kini menjadi sarana pembelajaran daring. 

Penanganan masalah yang telah terjadi atau potensi masalah yang muncul di kemudian hari sangat tergantung pada kapasitas pemerintah dalam mengelola krisis saat ini. Kesigapan dalam menangani Covid-19, yang merupakan hulu dari persoalan-persoalan lainnya, menjadi kunci penyelesaian persoalan lainnya. Kebijakan stimulus yang tepat dari sisi program maupun sasarannya menentukan dampak yang diterima oleh masyarakat. 

Salah satu yang banyak dikritik masyarakat adalah program prakerja yang di dalamnya terdapat komponen biaya pelatihan online sebesar 1 juta rupiah. Dari 5.6 juta orang yang mendapatkan program ini, terdapat 5,6 triliun dana pelatihan yang mungkin akan dinikmati oleh perusahaan-perusahaan rintisan seperti Ruangguru. Publik bertanya, ketika banyak pelatihan gratis tersedia di internet, mengapa pemerintah harus mengeluarkan dana sebesar itu untuk pelatihan. Materi pelatihan komunikasi bisnis, pengembangan diri, keuangan dasar atau softskill lainnya dengan mudah dapat diunduh di Youtube. Internet telah mendiseminasi pengetahuan dari yang dulunya hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu menjadi barang yang dapat diakses oleh siapa saja. Tinggal kemauan dari masing-masing orang untuk memanfaatkannya, bukan ketersediaan materi pelatihan.

Pembagian bantuan di tingkat akar rumput tak kalah kompleks. Karena keterbatasan jumlah penerima bantuan, sementara mereka yang membutuhkan lebih banyak, konflik rawan terjadi. Ketua RT dan RW menjadi pihak yang paling banyak menjadi sasaran keluhan masyarakat soal pemberian bantuan ini. Ada yang merasa berhak, tetapi tidak mendapatkan.

Dalam situasi sulit seperti ini, kebersamaan dan kegotongroyongan dapat menjadi senjata ampuh. Dari zaman ke zaman, manusia selamat dari bencana besar karena kekompakan dalam menyelesaikan masalah. Dari sisi kesehatan, kerja sama masyarakat mampu mencegah persebaran masif virus ini seperti menjaga jarak sosial. Dari sisi ekonomi, maka orang-orang yang berkecukupan memiliki kewajiban untuk membantu mereka yang miskin. Hal ini akan memunculkan solidaritas sosial yang secara psikologis akan menguatkan masyarakat dalam menghadapi krisis. Mereka akan merasa tidak sendirian dalam menghadapi persoalan pelik ini. 

Dalam masyarakat yang religius seperti Indonesia, organisasi agama atau tokoh agama memiliki peran penting untuk memberi panduan masyarakat. Pesan-pesan yang mereka sampaikan jauh lebih diterima dibandingkan oleh pihak lainnya. Tanpa diminta, Nahdlatul Ulama di seluruh tingkatan telah turun tangan untuk membantu masyarakat, baik pemberian bantuan natura seperti sembako, penyemprotan disinfektan, atau imbauan-imbauan untuk menjaga kesehatan seperti tidak mudik, mengganti shalat Jumat dengan shalat Dhuhur di rumah, dan lainnya.

Jika semua pihak terlibat dalam penanganan penyakit ini dan meminimalisasi dampak sosial ekonominya, maka kita akan mampu bertahan dalam situasi sulit ini. Bahkan akan menjadi bangsa yang lebih kuat ketika mampu mengatasi penyakit ini dengan baik. (Achmad Mukafi Niam)