Risalah Redaksi

Tantangan Pesantren dalam Menghadapi Normal Baru

Ahad, 7 Juni 2020 | 12:45 WIB

Tantangan Pesantren dalam Menghadapi Normal Baru

Butuh kesiapan yang sungguh-sungguh jika pesantren memutuskan untuk kembali beraktivitas dalam era kehidupan normal baru ini. (Ilustrasi: NU Online/Dok. Pesantren Sirojuth Tholibin Brabo)

Pesantren menghadapi tantangan yang tak mudah dalam menjalankan aktivitas normal baru yang digagas oleh pemerintah. Sebagai sebuah lembaga pendidikan independen yang dikelola secara mandiri, situasi yang dihadapi oleh masing-masing pesantren sangat beragam. Pesantren tertentu sangat siap menerapkan pola baru tersebut, tetapi yang lainnya memiliki keterbatasan yang mungkin akan lebih banyak mudaratnya jika memaksakan diri untuk kembali beraktivitas dalam suasana normal baru ini. 


Ada sejumlah prosedur yang harus dijalankan dalam tatanan normal baru ini. Bagi santri yang baru datang dari rumahnya, standar yang harus diterapkan adalah rapid test. Hal ini untuk mencegah penularan Covid-19 di pesantren yang  mana ratusan bahkan ribuan santri berkumpul dalam satu lokasi. Jika ada satu saja santri yang baru datang membawa virus berbahaya ini, ada potensi penularan terhadap santri-santri lainnya. Selain itu perlu ada thermal gun, hand sanitizer, masker, dan peralatan standar pencegah penularan Covid-19 lainnya. 


Untuk memenuhi berbagai perlengkapan tersebut, dibutuhkan sejumlah biaya yang bagi sebagian pesantren terlalu membebani. Masyarakat yang selama ini memberi dukungan pendanaan ke pesantren juga sama-sama menghadapi masalah. Dalam hal ini dukungan dari pemerintah akan sangat membantu berjalannya proses pendidikan normal baru di pesantren.


Selanjutnya, upaya pencegahan Covid-19 ini harus terus-menerus dilakukan selama normal baru ini. Misalnya terkait dengan santri kalong, yaitu mereka yang ikut mengaji di pesantren tetapi tidak bermukim. Jika ada salah satu yang terkena virus ini, mereka berpotensi menyebarkannya ke santri-santri lainnya yang bermukim.  


Apalagi saat ini pesantren-pesantren umumnya memiliki lembaga pendidikan formal dari tingkat SD/MI sampai dengan SMA/Madrasah Aliyah. Pesantren-pesantren besar bahkan sudah memiliki perguruan tinggi. Semuanya terkumpul dalam satu lokasi dengan tingkat jarak sosial yang sangat padat. Karena keluar masuknya santri atau dari luar inilah, maka kemungkinan risiko penularan yang tinggi ini yang perlu diantisipasi. 


Sejauh ini, belum terdapat tren penurunan jumlah kasus baru Covid-19. Bahkan yang ada adalah terjadinya perluasan sebaran. Lokasi-lokasi yang sebelumnya bebas dari virus ini mulai terkena. Jawa Timur di mana banyak pesantren barada, menjadi provinsi dengan jumlah kasus paling banyak nomor dua setelah DKI Jakarta. Jangan sampai pesantren yang saat ini masih aman, menjadi klaster baru karena kurang hati-hati. 


Jika pun harus menyelenggarakan pendidikan secara daring, ada berbagai persoalan yang perlu mendapat perhatian seperti tingkat pemahaman santri atas materi pelajaran, kualitas sinyal, biaya data yang harus secara rutin dikeluarkan, dan lainnya. Tingkat kemampuan ekonomi orang tua santri sangat beragam dan daerah sebaran tempat tinggal mereka tidak semuanya mamiliki sinyal internet yang kuat. Tidak cukup hanya dengan sekedar menggelar pengajian di Youtube, Zoom atau aplikasi lainnya, lalu semuanya beres. 


Selain itu pendidikan di pesantren tidak sekedar menekankan aspek kognitif dengan penguasaan materi-materi pelajaran formal. Ada banyak aktivitas harian lain yang bersifat integral sebagai sebuah sistem pendidikan seperti shalat tahajud, shalat rawatib berjamaah, dzikir bersama, dan lainnnya.  Semua hal tersebut tidak dapat dilakukan secara daring. Perlu pembiasaan dalam waktu yang panjang sampai akhirnya perilaku-perilaku tersebut menjadi bagian yang intergral dari kehidupan sehari-hari. 


Berbagai keterbatasan yang dihadapi pesantren saat ini sesungguhnya bagian dari pengabaian oleh negara. Sementara sistem pendidikan lain mendapat subsidi yang besar, pesantren dibiarkan mengurus dirinya sendiri dengan sumber daya yang seadanya. Kebijakan pemerintah yang ramah pesantren baru belakangan diterapkan setelah era Reformasi sampai akhirnya mewujud dalam bentuk UU Pesantren yang baru disahkan pada September 2019. Hingga kini pun aturan turun masih dalam proses pembuatan sehingga UU ini belum bisa diimplementasikan sepenuhnya. 


Rabithah Ma'ahid Islamiyah NU meminta pemerintah memberikan dukungan konkret untuk membantu agar pesantren dapat beraktivitas dalam situasi normal baru. Kebutuhan berbagai perlengkapan untuk pencegahan penularan Covid-19 seperti thermal gun, rapid test, hand sanitizer, masker, tenaga ahli kesehatan dan lainnya akan mencegah terjadinya penularan Covid-19 di pesantren. Selanjutnya, bagi pesantren yang tidak mampu menjalankan aktivitas normal baru, pemerintah memperhatikan kebutuhan pembelajaran daring sehingga para santri tetap dapat belajar dengan baik. 


Pesantren dengan jutaan santri telah memberikan kontribusi nyata terhadap perkembangan Islam moderat di Indonesia. Jangan sampai anggaran negara dialokasikan untuk hal-hal yang hasilnya kurang maksimal seperti pelatihan daring dengan biaya 6 triliun sementara banyak pelatihan tersedia dengan gratis. Apalagi, penyelenggara pelatihan tersebut perusahaan rintisan yang hukum berbadan hukum asing. Saatnya negara menunjukkan aksi secara nyata kepada pesantren. 


Jika pada akhirnya pesantren tertentu memutuskan untuk kembali beraktivitas dalam era normal baru ini, maka kesiapannya mesti dilakukan dengan baik. Pertimbangannya pun harus dilakukan secara komprehensif dengan melibatkan aspek kesehatan, pendidikan, dan aspek-aspek lain yang terkait. Dan perkembangannya pun harus terus dipantau secara berkala. Risikonya sangat besar jika mengabaikan protokol yang semestinya dijalankan dalam menangani wabah saat ini. Jika sampai terjadi penularan, yang terdampak bukan hanya satu pesantren saja, tetapi banyak pihak yang dirugikan, termasuk citra pesantren secara umum. (Achmad Mukafi Niam)