Ramadhan

Tentukan Awal Bulan, Nabi Tak Bisa Hisab atau Tak Mau Hisab?

Sel, 22 Mei 2018 | 08:30 WIB

Tentukan Awal Bulan, Nabi Tak Bisa Hisab atau Tak Mau Hisab?

Ilustrasi (Pinterest)

Nahdlatul Ulama sebagai organisasi, dalam penetapan awal bulan hijriyah berpegang pada standar rukyatul Hilal. Hal ini didasarkan pada hadits:


قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ


Nabi Muhammad ﷺ bersabda: “Berpuasalah kalian karena melihat hilal Dan berhari-rayalah kalian karena melihat hilal Apabila terhalang dari kamu sekalian, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh (HR. Bukhari)

Baca: Memahami Dalil Rukyat Hilal Melalui Bahasa
Walaupun demikian sebagai sebuah mazhab klasik, pendukung rukyat mendapat tantangan dari pendukung hisab sebagai mazhab yang datang kemudian. Hujjah mazhab hisab ini didasarkan pada hadits (selain juga ayat-ayat kawniyyah tentang peredaran matahari dan bulan) yang menjelaskan tentang status ke-ummi-an Nabi Muhammad ﷺ dan para umat beliau. Hadits tersebut adalah 

إنا أمة أمية ، لا نكتب ولا نحسب ، الشهر هكذا وهكذا . يعني مرة تسعة وعشرين ، ومرة ثلاثين

Kita adalah umat yang ummi, tidak menulis dan tidak menghitung. Bulan itu demikian dan demikian, yakni suatu kali 29 hari dan suatu 30 hari. (HR. Bukhari)

Aliran Hisab beralasan bahwa pada zaman dahulu umat islam tidak bisa menghitung sebagai pemaknaan dari kata ummi, jadi wajar jika Nabi ﷺ memerintahkan untuk menggunakan rukyatul hilal untuk menentukan awal bulan hijriyah. Sedangkan pada masa kini, umat Islam sudah bisa menghitung dengan berbagai teknologi yang semakin canggih. Jadi seharusnya umat Islam harus beralih pada hisab.

Kedua adalah hadits

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

Sesungguhnya Rasulullah ﷺ menyebut-nyebut ramadhan kemudian bersabda, “janganlah kalian berpuasa sehingga kalian melihat hilal (tanggal satu Ramadan). Dan janganlah kalian berhari raya sehingga kalian melihatnya. Apabila  terhalang dari kalian, maka perkirakanlah. (HR. Bukhari) 

Baca: Tahap-tahap Penentuan Awal Bulan Qamariah Perspektif NU
Hadits di atas menurut mazhab hisab menunjukkan dibolehkan menggunakan hisab (uqdurulah) apabila langit mendung.

Jika ditelusuri, terkait makna ummi, dalam Tafsir al-Qurtubi, Ibn Abbas menyatakan bahwa:

الأميون العرب كلهم، من كتب منهم ومن لم يكتب؛ لأنهم لم يكونوا أهل كتاب

“Orang-orang ummi adalah semua bangsa Arab, baik yang menulis ataupun tidak. Karena mereka bukan ahli kitab.” 

Jadi konteks kata ummi di sini adalah orang Arab yang bukan golongan Yahudi atau Nasrani yang oleh orang-orang Arab disebut sebagai ahli kitab. Orang Yahudi pun sebaliknya menyebut orang Arab sebagai ummi. (QS Ali ‘Imran: 75)

Adapun makna lâ (tidak) menulis (mencatat) dan tidak menghitung, berdasarkan pemaknaan kata ummi di atas berarti “tidak mau” dan bukan “tidak bisa”. Sebagai pembanding coba lihat pernyataan Arab yang konon berasal dari khalifah Umar bin al-Khattab.

نحن أمة لا تنتصر بالعدة والعتاد ولكن ننتصر بقلة ذنوبنا وكثرة ذنوب الأعداء فلو تساوت الذنوب انتصروا علينا بالعدة والعتاد

Kita adalah umat yang ‘tidak’ mengandalkan jumlah dan peralatan perang. Tetapi kami mengandalkan sedikitnya dosa kami dan banyaknya dosa musuh kami. Jika jumlah dosa sama, mereka bisa mengandalkan jumlah dan peralatan perang untuk mengalahkan kita.

نحن قومٌ لا نأكل حتى نجوع، وإذا أكلنا لا نشبع

“Kami adalah kaum yang ‘tidak’ makan sampai kami lapar. Dan apabila kami makan tidak sampai kenyang.”

Pernyataan tersebut di atas menurut sejarawan, al-Halbi, adalah penyataan Nabi ﷺ kepada dokter yang dikirimkan raja Muqawqis kepada beliau. 

Baca: Beda Pendapat Ulama soal Penetapan Awal Ramadhan
Dalam dua pernyataan tersebut kata ‘’ bukan bermakna tidak bisa, tetapi bermakna tidak mau. Dalam konteks penentuan awal bulan hijriyah, maksud hadits tersebut adalah bahwa umat Islam tidak menggunakan hisab sebagaimana orang ahli kitab. 

Terkait dengan hadits yang membolehkan digunakannya hisab pada saat mendung, maka perlu mempertimbangkan hadits ini.
  
عَنْ عُمَيْرِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ عُمُومَةٍ لَهُ مِنْ الْأَنْصَارِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ قَالُوا غُمَّ عَلَيْنَا هِلَالُ شَوَّالٍ فَأَصْبَحْنَا صِيَامًا ، فَجَاءَ رَكْبٌ مِنْ آخِرِ النَّهَارِ فَشَهِدُوا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ رَأَوْا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ ، فَأَمَرَ النَّاسَ أَنْ يُفْطِرُوا مِنْ يَوْمِهِمْ ، وَأَنْ يَخْرُجُوا لَعِيدِهِمْ مِنْ الْغَدِ

“Hilal bulan Shawwal tidak tampak bagi kami, maka kami puasa keesokan harinya. Kemudian datanglah para pelancong di akhir siang, dan bersaksi kepada Rasulullah ﷺ bahwa mereka melihat hilal kemarin. Maka Nabipun memerintahkan orang-orang untuk berbuka pada hari itu juga dan melaksanakan shalat hari raya pada keesokan harinya.” (HR Ahmad)

Hadits tersebut menunjukkan bahwa ketika hilal tidak terlihat, maka Nabi ﷺ tidak menggunakan hisab tetapi menyempurnakan bulan Ramadan menjadi tiga puluh hari. Dengan demikian perkirakanlah (uqdurulah), seharusnya tidak bermakna hitunglah, tetapi bermakna sempurnakanlah tiga puluh hari.

Jadi penggunaan rukyat sebagai penentuan awal bulan Hijriyah masih relevan walaupun sains dan teknologi semakin berkembang. Sebab rukyatul hilal sebagai penciri khas umat sehingga tidak menyerupai (tasyabbuh) dengan umat agama yang lain. 


Ahmad Musonnif, Pengurus Lembaga Falakiyah NU PCNU Tulungagung