Ramadhan

Ramadhan, Madrasah Peningkatan Kesalehan Ritual dan Sosial

Kam, 22 April 2021 | 13:00 WIB

Ramadhan, Madrasah Peningkatan Kesalehan Ritual dan Sosial

Bulan Ramadhan bisa kita sebut sebagai madrasah yang disiapkan Allah untuk meningkatkan kualitas kesalehan kita.

Dalam kitab al-Fikr al-Maqâshidî buah karya Syekh Ahmad ar-Raisuni, salah seorang pakar Maqhâsid Syarî’ah asal Maroko, disebutkan, Man ‘arafa mâ qashada hâna ‘alaihi ma wajada, ‘Siapa pun yang memahami arah tujuannya, maka sangatlah mudah untuk menemukan apa yang ditujuannya’. Pepatah ini, atau yang semakna, sudah sangat lumrah bagi kita, bahkan orang awam sekalipun, kendati mungkin tidak hafal teks Arabnya. Namun, sedikit sekali yang menyadari dan mengaplikasikannya dalam kehidupan. Termasuk dalam menjalani ritual ibadah puasa. Dengan memahami serta menyadari tujuan berpuasa (maqâshid as-shoum), semoga dapat mempermudah kita mencapai tujuan tersebut.

 

Bulan Ramadhan bisa kita sebut sebagai madrasah yang disiapkan Allah subhanahu wata’ala untuk meningkatkan kualitas kesalehan kita kaum muslimin, baik ritual maupun sosial. Allah subhanahu wata’ala berfiman dalam surah Al-Baqarah ayat 183:

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

 

Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

 

Para ulama menjelaskan, kesalehan tidak hanya tentang laku-laku ritual dan pertalian spiritual kita dengan Allah subhanahu wata’ala (hablum minallah). Tetapi juga terkait erat dengan hubungan sosial kita dengan sesama manusia (hablum minannas), bahkan, kepada sesama makhluk ciptaan Tuhan, sebagai ejawantah dari atensi ekologis kita terhadap semesta. Hal ini sebagaimana masyhur dikatakan, As-shâlihu huwa al-muqîmu bi huqûqillah wa bi huqûqi ‘ibâdih, ‘Orang saleh itu adalah orang yang senantiasa menegakkan hak-hak Allah dan hak-hak hamba-Nya’.

 

Allah subhanahu wata’ala memerintahkan sekalian hamba-Nya berpuasa, tiada lain kecuali untuk meningkatkan derajat sang hamba sebagai manusia bertakwa. Sementara ketakwaan hanya bisa diraih dengan mengendalikan hasrat-hasrat rendah (asy-syahawât) yang menempel pada setiap insan. Tentu, sangat senafas dengan adanya puasa sebagai media yang disyariatkan Tuhan. Mengingat, tak dapat dipungkiri juga bahwa sebagian besar kita berjuang demi kebutuhan perut dan kelamin. Hal ini sebagaimana yang pernah ditulis Imam Fakhruddin ar-Razi (604 H) dalam at-Tafsîr al-Kabîr-nya (juz 5, hal. 77) yang berbunyi:

 

المرء يسعى لغاريه بطنه وفرجه

 

Artinya, “Orang itu (kebanyakan) berjuang untuk dua lubang, yaitu perut dan kelaminnya.”

 

Sehubungan dengan ini, maka sangat tepat bila kita diperintahkan untuk berpuasa, bahkan diancam siksa bagi yang tidak mengerjakannya. Bukan karena benci, lalu Allah menyuruh kita selama sebulan penuh jalani hari dengan lapar dan dahaga, melainkan karena kasih sayang-Nya, agar kita tidak menjadi hamba yang hina-dina. Inilah makna dari kalimat, la’allakum tattaqûn, ‘agar kamu bertakwa’ dalam penggalan surah al-Baqarah ayat 183 itu.

 

Di bulan Ramadhan ini, kaum muslimin tidak hanya akan dicetak sebagai manusia yang saleh ritual atau individual (shâlih fardi). Melainkan juga sebagai manusia yang saleh secara sosial (shâlih jama’i). Terbukti, dalam beberapa riwayat hadist, umat Islam di bulan Ramadhan banyak diiming-imingi dengan pahala yang berlipat ganda bagi siapa saja yang mendermakan hartanya di bulan Ramadhan. Seperti keterangan tentang ganjaran bagi orang yang menyuguhkan hidangan berbuka kepada yang lain. Dalam al-Mu’jam al-Kabîr (juz 11, hal. 187) karya Abu al-Qasim at-Tabrani (360 H), disebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda:

 

من فطّر صائما فله مثل أجره

 

Artinya, “Barang siapa yang memberi hidangan buka puasa kepada sesama, maka pahalanya sama persis dengan pahala yang berpuasa.”

 

Dalam Sunan at-Tirmidzi (juz 3, hal. 464) terdapat tambahan bahwa Rasulullah Saw bersabda:

 

من فطر صائما كان له مثل أجره، من غير أن ينقص من أجر الصائم شيء

 

Artinya, “Barang siapa yang memberi hidangan buka puasa kepada sesama, maka pahalanya sama persis dengan pahala yang berpuasa, tanpa ada sedikit pun yang berkurang.”

 

Menyikapi dua hadist di atas, syekh ‘Izzuddin bin Abdissalam as-Sulami (660 H), menulis dalam kitabnya Maqâshid as-Shoum (hal. 26) terkait ganjaran pahala sepuluh kali lipat dari satu kebaikan yang dilakukan di bulan Ramadhan. Ia menjelaskan:

 

فمن فطر ستة وثلاثين صائما في كل سنة فكأنما صام الدهر ومن كثر بفطر الصائمين على هذه النية كتب الله له صوم عصور ودهور

 

Artinya, “Barang siapa yang setiap tahun memberi hidangan berbuka kepada 30 orang, maka (pahalanya) seolah berpuasa sepenuh tahun. Dan, siapa saja yang sangat sering memberi hidangan berbuka dengan tulus-ikhlas (tiada motif lain), maka Allah akan mencatat pahala seolah berpuasa sepanjang masa dan zaman.”

 

Sebenarnya, spirit dari hadist di atas adalah agar masyarakat memiliki pertalian sosial yang baik dengan sesama. Jangan sampai ketika adzan maghrib telah berkumandang, saat di mana para muslimin lainnya tengah menyantap berbagai macam hidangan berbuka, ada beberapa orang yang masih memeras keringat hanya untuk sesuap nasi dan seteguk air. Terakhir, semoga di bulan suci Ramadhan tahun ini, kita semua termasuk peserta didik yang sukses meningkatkan kualitas kesalehan ritual dan sosial kita. Semoga tulisan ini bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawâb.

 

 

Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus sekaligus pengajar di Ma’had Aly Situbondo, Jawa Timur