Ramadhan

Kultum Ramadhan: Madrasah Takwa di Bulan Puasa

Kam, 7 April 2022 | 14:00 WIB

Kultum Ramadhan: Madrasah Takwa di Bulan Puasa

Takwa tak hanya tentang menjalankan perintah dan menjauhi larangan tetapi juga soal konsistensi atau keistiqamahan. Foto ilustrasi: Tebuireng Online

Berbeda dengan ibadah pada umumnya, puasa Ramadhan memiliki keistimewaan tersendiri. Saat orang sedang berpuasa, selain sedang melaksanakan ketaatan kepada Allah swt dengan menunaikan rukun Islam yang keempat, dia juga sedang melatih diri untuk menjalani praktik takwa dengan yang sebenar-benarnya. Sehingga tepat kiranya jika kita sebut bahwa puasa Ramadhan adalah madrasah takwa dengan kurikulum terakreditasi A.

 

Kata “takwa” mungkin sudah sedemikian familiar bagi semua orang. Melalui pesan-pesan dakwah di media masa, tayangan-tanyangan video islami di ragam platform media sosial, sampai di mimbar-mimbar masjid saat khatib sedang menyampaikan khutbahnya, hampir dipastikan kata yang terdiri dari lima huruf ini tak pernah alpa. Dalam pengertian yang sederhana, takwa sendiri adalah menjalankan segala perintah Allah swt dan menjauhi semua larangan-Nya.

 

Tapi, seperti yang kita sadari bersama, pesan dan seruan takwa seringnya asal lalu saja. Takwa seolah diobral sedemikian rupa, tapi bagai angin lewat yang melintas sekilas dan hilang tanpa bekas. Pendek kata, takwa sangat mudah diucapkan namun amat sulit untuk diamalkan. Untuk itu, mumpung di bulan Ramadhan, tepat kiranya kita bersama merenungi hakikat ajaran takwa dalam puasa.

 

Puasa sebagai Madrasah Takwa

Salah satu rukun puasa Ramadhan adalah menahan diri dari makan dan minum sejak terbit fajar sampai matahari terbenam. Jika kita renungi dan pahami betul-betul esensi dari rukun puasa ini, maka kita akan menemukan hikmah agung dari ibadah puasa. Menahan lapar dan dahaga merupakan cara efektif sebagai langkah awal menuju hakikat takwa.

 

Imam al-Ghazali dalam kitabnya, Ihyâ ‘Ulûmiddîn, menjelaskan, ketika seseorang sedang berpuasa, berarti ia sedang mengontrol asupan makanan dan minuman ke tubuhnya yang selama ini menjadi ‘bahan bakar’ nafsu dalam tubuh. Saat asupan tersebut berhasil dikontrol, maka gejolak nafsu dalam diri manusia pun akan terkendali. Jika nafsu bisa dikendalikan, maka hasrat untuk melakukan maksiat juga redup. (al-Ghazali, Ihyâ ‘Ulûmiddîn, t.t: juz III, h. 85)

 

Oleh sebab itu, maka Allah swt dalam firman-Nya juga menegaskan bahwa tujuan menjalankan ibadah puasa adalah untuk mencapai ketakwaan, yaitu menjalankan segala perintah Allah swt dan menjauhi semua larangan-Nya.

 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

 

Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Babqarah [2]: 183)

 

Melalui ayat di atas, Imam Fakruddin ar-Razi dalam tafsirnya, Mafâtîhul Ghaib, juga menjelaskan bahwa alasan puasa bisa menjadi jembatan menuju ketakwaan adalah karena saat berpuasa, syahwat dalam tubuh manusia akan terkontrol. Sementara syahwat merupakan pokok dari segala perbuatan maksiat. Sementara bahan bakar syahwat sendiri adalah asupan makanan ke tubuh. (Fakruddin ar-Razi, Mafâtîhul Ghaib, t.t: juz V, h. 76)

 

Melatih Kejujuran

Ketakwaan tidak saja berbicara soal menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala larangannya, tetapi juga butuh konsistensi. Artinya, di mana pun dan kapan pun seseorang berada; baik saat dalam keadaan rapai atau sepi, saat nasib hidup sedang sejahtera atau susah, dan sejumlah kondisi hidup lainnya, ketakwaan harus selalu dijaga. Dalam sabdanya Rasulullah saw menyampaikan,

 

اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

 

Artinya, “Bertakwalah kepada Allah di mana pun kamu berada. Ikutilah perbuatan jelek dengan perbuatan baik niscaya kebaikan akan menghapusnya dan pergaulilah manusia dengan budi pekerti yang mulia.” (HR. Ast-Tirmidzi)

 

Dalam konteks ini, puasa telah mengajarkan kita arti sebuah kejujuran dalam menjalankan ibadah sebagai bentuk ketakwaan. Saat seseorang menjalankan ibadah puasa dan di kamar mandi sendirian, misalnya, sebenarnya bisa menjadi kesempatan untuk meminum air tanpa khawatir akan diketahui siapapun. Tapi karena rasa tanggung jawab ibadah dalam dirinya, ia enggan untuk melakukannya. Ini merupakan cerminan takwa yang diajarkan dalam berpuasa.

 

Lebih jauh, puasa juga merupakan ibadah yang lebih susah dideteksi daripada ibadah-ibadah lainnya seperti shalat, menunaikan zakat, dan sebagainya. Membedakan antara orang yang sedang shalat dan yang tidak tentu sangat mudah, karena orang shalat memiliki gerakan yang tampak oleh mata. Berbeda dengan puasa. Jika ada orang dua berjalan beriringan, seumpama, yang satu berpuasa dan yang satu lagi tidak, kita pasti sulit membedakan mana yang puasa dan mana yang tidak.

 

Dengan begitu, orang yang berpuasa hampir mustahil memamerkan puasanya karena memang tidak ada wujud semisal gerakan (seperti saat shalat) yang menandakan mana yang sedang berpuasa dan mana yang tidak. Oleh karena itu Rasulullah saw bersabda,

 

لَيْسَ فِي الصِّيَامِ رِيَاءٌ

 

Artinya, “Pada puasa tidak ada sifat riya (pamer).” (HR al-Baihaqi)

 

Inilah yang seharusnya dimiliki oleh hamba yang bertakwa, yaitu menjauhi sifat riya pada semua amal ibadahnya sebagaimana puasa terbebas dari sifat penggugur pahala ini. Mulai sekarang, kita yang sering ‘memamerkan’ ibadahnya di media sosial, hati-hati jangan sampai salah niat. Alih-alih untuk memotivasi orang lain melalui ibadah yang kita perlihatkan, malah terjerumus dalam sifat riya. Repot kalau sudah begini, bukan pahala yang kita dapat, tapi hanya like dan komentar sanjungan.

 

Buah Ketakwaan

Setelah kita menunaikan ibadah puasa satu bulan penuh dengan segala amalan-amalan sunnah yang terdapat di dalamnya, maka jangan sampai momen Ramadhan menjadi ‘ibadah musiman’. Artinya, segala aktivitas ibadah yang kita lakukan selama Ramadhan harus tetap kita pertahankan. Misal selama puasa kita rajin bertadarus Al-Qur’an, maka kegiatan ini harus dipertahankan setelah lebaran.

 

Sebab, ciri-ciri seseorang diterima amal ibadahnya di sisi Allah adalah sesegera mungkin ia merasakan buah dari amal tersebut. Jika amal itu adalah puasa dengan segala amal sunnahnya, maka buah itu adalah konsistensi ibadah-ibadah tersebut selepas Ramadhan pergi. Hal ini sesuai penjelasan Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam al-Ḫikam berikut,

 

 مَنْ وَجَدَ ثَمْرَةَ عَمَلِهِ عَاجِلاً فَهُوَ دَلِيْلٌ عَلَى وُجُوْدِ القَبُوْلِ

 

Artinya, “Siapa yang memetik buah dari amalnya seketika di dunia, maka itu menunjukkan Allah menerima amalnya.” (Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari, al-Ḫikam al-‘Ata’iyah, 2017: 32)

 

Semoga kita semua bisa melalui Ramadhan ini dengan semaksimal mungkin serta mampu menjadikan puasa yang kita jalani sebagai pijakan awal dalam menaiki tangga hakikat takwa. Amin. Wallahu a’lam bisshawab.

 

Muhamad Abror, penulis keislaman NU Online; alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek-Cirebon dan Ma’had Aly Sa’idusshiddiqiyah Jakarta


Baca materi kuliah Ramadhan lainnya di Kumpulan Kultum Ramadhan Terfavorit