Ramadhan

Kala Nabi Muhammad Berbuka Sebelum Waktunya

Rab, 8 Mei 2019 | 14:00 WIB

"…Dan, Makan dan minumlah kalian sampai terlihat jelas bagi kalian benang putih di atas benang hitam, yaitu terbit fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa kalian sampai malam (matahari terbenam)…." (al-Baqarah: 187).

Nabi Muhammad saw. tidak menghendaki bahkan menegur para sahabatnya yang berpuasa terus-terusan hingga malam hari, meski mereka kuat melakukannya. Sebaliknya, beliau menganjurkan kepada umat Islam agar dalam berpuasa itu tidak diberat-beratkan. Sebagaimana firman Allah di atas, ketentuan waktu puasa itu mulai dari terbit fajar dan berakhir saat matahari terbenam. Tidak lebih dan tidak kurang. 

Dalam hal ibadah, Nabi Muhammad menyuruh umatnya untuk melakukan perintah agama semampunya. Misalnya ibadah puasa. Orang puasa hanya bagi orang yang mampu dan memenuhi syarat saja. Sementara jika dia sakit atau ada halangan syar’i lainnya -yang membolehkannya untuk tidak berpuasa, maka dia tidak wajib puasa. 

Nabi Muhammad pernah memberikan contoh bahwa kewajiban berpuasa itu bukan dimaksudkan untuk menyiksa atau memberatkan umat Islam. Karena bagaimanapun, ‘motif’ puasa dalam Islam itu lebih erat dengan motif keimanan, ketaatan dan pengabdian kepada Allah, serta kesadaran dalam beragama, bukan penyiksaan diri. Sehingga orang yang berpuasa diharapkan bisa menjadi orang yang bertakwa kepada Allah. 

Dikisahkan, mengutip buku Puasa pada Umat-umat Dulu dan Sekarang (Sismono, 2010), suatu ketika pada bulan Ramadhan Nabi Muhammad dan para sahabatnya berada dalam perjalanan menuju ke Makkah. Pada siang harinya, Nabi Muhammad melihat ada beberapa sahabatnya yang terlihat letih dan lemah. Ketika melewati sebuah sumber mata air atau sumur, beliau menimba seember air dan langsung meneguknya. Dengan demikian, maka beliau berbuka puasa sebelum pada waktunya. 

“Inilah suatu keringanan dari Allah bagi hamba-hamba-Nya,” kata Nabi Muhammad.

Apa yang dilakukan Nabi Muhammad itu tidak serta-merta langsung diikuti oleh seluruh sahabatnya yang ikut dalam rombongan. Ada beberapa sahabatnya yang mengaku masih kuat dan akan meneruskan puasanya hingga waktu berbuka tiba. Beliau tidak memaksa sahabatnya itu. Malah beliau menerima sikap sahabatnya itu dengan penuh rasa hormat. 

“Mereka adalah orang-orang yang kuat dalam melaksanakan amal kebajikan,” timpal Nabi Muhammad.

Nabi Muhammad bukan berarti tidak kuat berpuasa pada saat itu. Akan tetapi, sikap Nabi Muhammad itu menunjukkan bahwa ada hal atau kondisi dimana seseorang tidak lagi diwajibkan berpuasa. Misalnya orang yang dalam perjalanan (musafir). Jika jarak tempuh perjalannya mencapai 120 km –sebagian ulama menyebut 80 km atau 90 km, maka dia diperbolehkan untuk berbuka dan mengganti puasanya di lain hari. Karena di dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa salah seorang yang diberi keringanan boleh tidak berpuasa adalah orang yang sedang melakukan perjalanan atau musafir.

“…Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain...” (QS. al-Baqarah: 185)

Begitulah cara Nabi Muhammad memberikan teladan tentang bagaimana seharusnya berpuasa, terutama ketika sedang melakukan perjalanan. Beliau sendiri berbuka puasa sebelum waktunya dan mempersilahkan sahabatnya untuk mengikutinya. Di sisi lain, beliau juga mengizinkan sahabatnya yang kuat melanjutkan puasanya hingga waktu buka tiba –meski mereka sedang dalam perjalanan. (A Muchlishon Rochmat)