Pustaka

Sumurnya Eka Kurniawan di Desanya Iwan Fals

Sel, 22 Juni 2021 | 12:00 WIB

Sumurnya Eka Kurniawan di Desanya Iwan Fals

Sampul buku 'Sumur' karya Eka Kurniawan.

Syakir NF

Dalam satu kelas penelitian, salah seorang rekan saya hendak mengajukan proposal mengenai problematika yang melanda tanah kelahirannya. Mahasiswi geografi itu ingin mengungkap akar masalah yang dialami lingkungannya, yakni ketiadaan air. Padahal, ia tinggal dekat dengan sebuah gunung yang masih dihuni pohon-pohon rindang. Logikanya, air melimpah ruah, tetapi tidak demikian kejadiannya. Ini menjadi satu penelitian yang bukan saja menarik secara temanya, melainkan juga menantang.

 

Dugaan awal rekan saya tidak lain karena pengambilan air dengan volume yang sangat besar di tempat tersebut untuk dikemas menjadi minuman-minuman yang tersaji di rak-rak toko dan minimarket dekat rumah kita. Jutaan kubik diambil dari hulunya, air di hilir hanya tinggal sisaan saja, itu pun kalau masih ada.

 

Selang beberapa tahun, saya mendengar cerita dari seseorang yang pernah mengikuti sebuah penelitian mengenai hal yang sama. Ia diperlihatkan dengan sebuah pipa berukuran amat besar. Diameternya jauh lebih tinggi darinya. Itulah pipa yang mengalirkan air dalam kemasan yang seringkali kita dapati saat bertamu ke rumah tetangga, rekan, ataupun kantor.

 

Lepas dari soal di atas, buku cerita berjudul Sumur yang ditulis Eka Kurniawan memang berbicara mengenai hal yang sama, ketiadaan air. Namun, hal yang menjadi faktor penyebab terjadinya kelangkaan air itu berbeda, yakni kondisi alam yang dihabisi oleh tangan-tangan rakus. Pohon-pohon terus ditebang, diambili batangnya. Hal itu dilakukan tanpa ada pengganti sehingga tanaman kian habis. Hal ini digambarkan dengan kalimat berikut.

 

Bebukitan tak hanya semakin cokelat, tapi juga semakin gersang. Para cukong datang dan membujuk para penduduk kampung menjual kayu-kayu yang tersisa, dan itu berarti uang yang mudah didapat. (34)

 

Sumur menjadi satu-satunya sumber mata air yang tersisa. Itu pun harus digali puluhan meter. Alam pun kian rusak. Dampaknya tentu saja pada kehidupan yang semakin terancam. Bukan saja manusia, melainkan juga hewan-hewan. Toyib, salah satu tokoh utama, harus mencari rumput lebih jauh lagi untuk kambing-kambing dan sapinya.

 

Sawah dan perkebunan tidak lagi bisa digarap dengan baik. Penggalan lagu Koes Plus, 'tongkat dan kayu jadi tanaman', pun sudah tidak lagi berlaku. Jangankan tongkat dan batu, tanaman saja belum tentu tumbuh karena saking langkanya air.

 

Sumur itu bukan sekadar mata air penghidupan warga sekitar. Bagi Toyib, sumur lebih dari itu, yakni menjadi tempat dia bertemu dengan Siti. Mereka saling memendam cinta satu sama lain. Namun, cinta mereka harus dikubur dalam-dalam bersama jasad ayah Siti yang terbunuh oleh ayah Toyib. Hal demikian juga membuat Siti harus hijrah ke kota demi dapat terus hidup tanpa harus bertemu keluarga dari pembunuh ayahnya, selain tentu saja karena kehidupan di desanya yang tidak lagi layak.

 

Bukan hanya Siti, banyak warga setempat juga yang memilih meninggalkan kampung halamannya untuk dapat terus hidup. Mereka terusir secara terpaksa dari tanah kelahirannya. Pelan tapi pasti, satu persatu di antara mereka merantau ke kota, sekalipun di sana tidak lebih baik karena hanya menjadi buruh yang gajinya juga tidak menentu. Setidaknya, ada hal yang bisa dikerjakan. Hanya Toyib yang bertahan demi melakoni perannya untuk menjaga orang tuanya sendiri dan ibu dari Siti, perempuan yang dikasihinya, meskipun dia lebih dahulu ke kota.

 

...Dan lihat, tak ada anak lelaki maupun perempuan seumurmu masih bertahan di kampung ini, kecuali dirimu. (25)

 

Pada akhirnya, Toyib juga menyerah dan merantau ke kota, meninggalkan kampung halamannya untuk selamanya. Meskipun sebelumnya, keinginan itu sempat tertunda karena ayahnya meninggal dalam perjalanan ke sana bersamanya. Keputusan itu diambil setelah penemuan mayat istrinya dan suami Siti mati di dalam sumur, tempat yang bukan saja menjadi sumber mata air kehidupan, tetapi juga lokasi pertemuannya dengan Siti setiap hari.

 

Saya jadi teringat lagu Desa karya Iwan Fals. Di awal lagunya, ia sudah tegas menyatakan bahwa desa harus menjadi kekuatan ekonomi, agar warganya tidak hijrah ke kota. Meskipun Iwan tidak menyebut soal problematika alam dalam lagunya, tetapi ada hal lain yang menghantui desa, yakni tengkulak dan lintah darat.

 

Hari ini, dengan adanya dana desa yang jumlahnya miliaran, apakah harapan Iwan Fals dapat mengubah 'cerita' Sumur dan lagu Koes Plus dapat dibuktikan anak cucu kita masa depan? Semoga saja.

 

Peresensi Syakir NF, adalah mahasiswa Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) dan Pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU)
 

Identitas Buku

Judul        : Sumur
Penulis     : Eka Kurniawan
Tebal        : 51 halaman
Tahun       : 2021
Penerbit   : Gramedia Pustaka Utama
ISBN        : 978-602-06-5324-2