Daerah

Dari Primbon Temukan Laku Spiritual Masyarakat Jawa

Rab, 5 Mei 2021 | 22:00 WIB

Dari Primbon Temukan Laku Spiritual Masyarakat Jawa

Bedah buku Laku Spiritual Sufisme Jawa. (Foto: NU Online/Ichwan)

Semarang, NU Online 
Sangat tepat Nahdlatul Ulama (NU) mengangkat kembali ruh dakwah dengan istilah Islam Nusantara. Sebab, istilah itu mengapresiasi hasil dakwah para wali zaman dahulu dan melestarikan apa yang telah ada di Indonesia, khususnya di Jawa. 
 
Orang Jawa sejak menerima dakwah dari Walisongo menjadikan Islam sebagai identitas budaya. Sehinga menjadi Jawa sekaligus menjadi Islam. Ia menjadi ageman (pegangan hidup) yang menyatu dalam jiwa. 
 
Islam Kejawen atau Agama Jawi, istilah yang disematkan kepada cara beragama orang Jawa itu, telah sempurna menggambarkan betapa gemilang dakwah para dai yang bergelar sunan atau susuhunan (istilah jawa) itu.  
 
Dalam istilah Agama Jawi terkandung sistem nilai yang lengkap. Yakni manusia harus bagus budi pekertinya, kemudian menyatu dengan Gusti Allah. Manunggal dalam arti imannya benar-benar sempurna hanya menyembah Sang Hyang Wenang alias Yang Maha Kuasa, tidak menyekutukan Allah dengan apapun pula. Lebih-lebih nafsunya. 
 
Ilmu Jawa yang diperoleh dengan lelaku (olah spiritual) ini harus terus dipelihara dan dijadikan sumber inspirasi dalam pendidikan. Karena menjadikan akhlak sebagai nomor satu. Ini sesuai dengan tujuan pendidikan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003. 
 
Demikian intisari bedah buku karya Samidi Khalim berjudul 'Laku Spiritual Sufisme Jawa' yang diselenggarakan di Hotel Pandanaran Semarang, Rabu (5/5). 
 
Sang penulis buku adalah kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang. Juga Ketua Lembaga Ta’lif wan Nasyr (LTN) Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Semarang. 
 
Mengawali seminar, Samidi menceritakan proses dia meneliti kitab-kitab primbon yang kemudian dia bukukan itu. 
 
“Saat kecil, masa SD saya membaca kitab primbon. Saya tertarik kemdian setelah dewasa mengikuti toriqoh. Saya jadi semakin tahu dunia batin karena belajar tasawuf. Buku ini merupakan hasil kajian terhadap salah satu khazanah keilmuan masyarakat Jawa yaitu kitab primbon. Primbon adalah bukti sejarah perkembangan agama Islam di Jawa. Karena isinya tentang penghayatan manusia sebagai jagad cilik (mikro kosmos) harus selalu selaras dengan semesta alam (makro kosmos). Agar selamat dan beruntung,” tuturnya. 
 
Lebih rinci dia jelaskan, buku itu adalah hasil kajian dari kitab Primbon Atassadur Adammakna karya Kanjeng Pangeran Tjakraningrat (1829-1916) didukung referensi dari kitab Primbon Betaljemur Adammakna, Primbon Lukmanakim Adammakna, dan Primbon Bektijamal Adammakna Ayah Betaljemur. 
 
Ditambah dari Primbon Qoamarulsyamsi Adammakna, Primbon Quraysin Adammakna, dan Primbon Ajimantrawara Yogabrata Yogamantra. 
 
Pembicara dalam bedah buku ini dua orang profesor. Pertama, Profesor Mahmutarom, guru besar ilmu hukum di Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang yang terkenal sebagai penulis buku 'Konsep Manunggaling Kawula-Gusti dalam Pengelolaan Perguruan Tinggi: Implementasi Sistem Egaliter Berbasis Nilai-Nilai Islam Nusantara'. 
 
Dalam paparannya, dosen yang suka menulis karya dengan mengutip kitab kuning ini mengatakan, buku karya Samidi itu mengajak setiap orang mengerti betapa luhurnya para wali zaman dulu, yang berdakwah dengan sepenuhnya menyentuh ruhani manusia. Memuliakan budaya Jawa, dan mengisinya dengan nilai-nilai Islam. 
 
Dia sebutkan, Islam menjadi sangat selaras dengan budaya, orang Jawa menjadi Islam dengan tetap identitas kejawaannya. Itu semua karena sangat cerdiknya Walisongo menyentuh sisi spiritual. Dan semua itu bersumber dari ajaran tasawuf. Kemudian hari ada istilah Sufisme Jawa. 
 
“Bisa dibilang seluruh ajaran Jawa, khususnya lelaku spititual, adalah pendidikan. Pendidikan adalah membangun jiwa manusia, yang dalam istilah Islam disebut tasawuf. Inilah hasil gemilang dari dakwahnya para wali zaman dulu,” tutur Mahmutarom yang baru saja melepas jabatan Rektor Unwahas tiga hari lalu, setelah memimpin kampus milik PWNU Jateng tersebut sejak 2017.
 
 
Narasumber kedua yaitu Profesor Suwardi Endraswara, guru besar ilmu Anthropologi Sastra di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang terkenal sebagai ahli budaya dan sastra Jawa. Prof Suwardi adalah pemberi kata pengantar dalam buku tersebut. 
 
Dalam presentasinya, Ketua Umum Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) ini mengajak peserta bersama-sama melantunkan tembang Macapat berbahasa Jawa, yang diambil dari kitab primbon. Beberapa kali dia menembang, membuat peserta riuh bertepuk tangan dan sebagian mengikuti suaranya yang merdu. Suasana jadi seperti menoton pertunjukan wayang kulit karena gaya dia seperti Waranggana atau Dalang sedang melakonkan wayang.  
 
“Waah, ini kalau saya terus-teruskan, pada tidur semua nanti. Siang hari puasa pula,” ujarnya bercanda usai melantunkan Dandhanggula. Seketika disambut geerr hadirin. 
 
Seminar ini menghadirkan para tokoh agama, penghayat kepercayaan, ahli budaya Jawa, akademisi, perwakilan ormas Islam dan para jurnalis berbagai media. 
 
Kontributor: Ichwan
Editor: Syamsul Arifin