Pustaka

Menyikapi Sunnah Nabi

Sen, 1 Agustus 2011 | 00:44 WIB

Judul Buku: Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah menurut Yusuf al-Qaradhawi
Penulis: Dr Tarmizi M. Jakfar. MA
Penerbit:  Ar-Ruzz Media
Cetakan: Pertama  April 2011
Tebal: 533 Halaman
Peresensi: Umar Abdul Hasib*

Umat Islam sepakat bahwa salah satu sumber hukum Islam yang otoritatif adalah sunnah atau hadis sebagaimana yang dijelaskan oleh Musthafa As-Siba’iy dalam “As-Sunnah wamaknatuha fit Tasyri’ al-Islamiy”, bahwa umat Islam zaman dahulu dan zaman sekarang telah sepakat, terkecuali sekelompok orang yang berpaling menyalahinya, bahwa sunah Rasul yang berupa sabda, perbuatan, dan pengakuan itu, merupakan salah satu sumber hukum Islam.
<>
Sunnah merupakan hal yang keluar dari Nabi, baik perkataan, perbuatan maupun pembiaran terhadap prilaku sahabat (taqrir), dari semua tersebut terdapat sunnah yang mengandung hukum yang mengikat yang lazim di sebut tasyri’iyyah, atau sunnah yang berlaku umum dan tidak mengikat (non-tasyri’iyyah), hal ini terkait dengan dengan posisi dan fungsi Nabi yang terkadang sebagai manusia biasa, sebagai pribadi, suami, sebagai utusan Allah, sebagai kepala negara, sebagai panglima perang, sebagai hakim dan lainya.

Dikotomi antara tasyri’iyyah-non tasyri’iyyah memunculkan problem yang dilematis, karena memisahkan tindakan kemanusiaan dan kerasulan Muhammad bukanlah hal yang mudah, karena keduanya melebur dalam satu kepribadian Nabi, sehingga perlu dipahami dalam kapasitas apa sunnah atau hadis itu muncul, sebagai Rasul, manusia biasa, hakim, panglima perang dan lain sebagainya.

Pembagian tersebut masih menjadi kontroversi dikalangan pemikir Islam, sebagian lebih cenderung mengeneralisir hanya pada sunnah tasyri’iyyah saja (al-sunnah kulluha tasyri’iyyah) karena menganggap pemilahan tersebut belum ada pada masa awal-awal Islam dan disinyalir hasil pengaruh dari Barat. Pemikiran ini berlandaskan pada al-Qur’an yang menyeru mengikuti Nabi seperti dalam surat al-Ahzab : 21 dan al-Hasyr : 7, namun sayangnya pemahaman literal ini justru menyalahi pernyataan Nabi dan berlawanan dengan semangat Islam yang shalih li kulli zaman wa makan.

Sebagian kalangan memilah sunnah menjadi tasyri’iyyah dan non-tasyri’iyyah, diantaranya adalah Yusuf al-Qaradhawi seorang pemikir kontemporer yang sangat produktif, ia menyatakan bahwa sunnah Nabi ada yang dibebankan kepada manusia mengikuti untuk melakukannya (tasyri’) dan yang tidak mengandung tasyri’ yang berlaku umum dan tidak mengikat, kalaupun di temukan ada pembebanan dalam bentuk perbuatan nabi itu hanya sekedar kebolehan rasional (al-ibahah al-aqliyyah) jika dalam bentuk perintah atau larangan hanya sebatas anjuran (Irsyad). Pengklasifikasian ini merupakan sebuah keniscayaan, karena seseorang tidak akan dapat memahami sunnah dengan baik dan benar jika tidak mampu membedakan kedudukan sunnah.

Pengakuan al-Qaradhawi akan adanya sunnah non-tasyri’iyyah berdasarkan pada beberapa hal, hadis Nabi tentang penyerbukan kurma, praktik dan amalan sahabat dan ijtihad yang dilakukan oleh Nabi, selanjutnya al-Qaradhawi memberikan kriteria sunnah non-tasyri’iyyah, yaitu perkataan dan perbuatan nabi yang berdasarkan keahlian dan pengalaman seperti persoalan perang, pertanian dan pengobatan, perkataan/perbuatan Nabi sebagai kepala negara dan hakim, perintah/larangan Nabi yang bersifat anjuran, perbuatan murni Nabi (al-fi’il al-mujarrad)dan perbuatan Nabi sebagai manusia (al-fi’il al-jibilly)seperti kesukaan Nabi terhadap sayur dubba’ (sejenis labu) dan sampil kambing.

Tirmizi, melalui bukunya “Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah menurut Yusuf al-Qaradhawi” berusaha mengkaji pemikiran al-Qaradhawi tentang sunnah non tasyri’iyyah secara kritis dan mendalam serta menjelaskan kelebihan dan kekurang serta implikasi dari klasifikasi Qaradhawi, sehingga buku ini layak untuk dibaca dan akan menambah kekayaan wacana kita, dengan kata-kata yang mudah dicerna dan bahasa yang mengalir serta data-data yang akurat.

* Mahasiswa PK-BSA Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya