Pustaka

Buntet Pesantren sebagai Pusat Pernaskahan Keagamaan

Sen, 28 Desember 2020 | 23:00 WIB

Buntet Pesantren sebagai Pusat Pernaskahan Keagamaan

Tradisi Penyalinan Naskah di Buntet Pesantren Abad 19.

Pesantren dikenal sebagai pusat pendidikan keagamaan yang terus berkembang dan beradaptasi dengan kondisi zaman. Adaptasi dilakukan tanpa destruksi tradisi yang telah dilestarikan sejak masa awal pendiriannya. Hal demikian tidak saja tampak pada tradisi yang bersifat ritual, seperti marhabanan dan tahlilan, tetapi juga tradisi intelektual. Kita sudah tentu mengenal dua metode pengajian yang masih dan tetap bertahan sampai era modern sekarang, yaitu sorogan dan bandongan.


KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (1987) mengartikan metode pertama sebagai model pembelajaran langsung kepada guru dengan bertatap muka. Santri dalam metode ini mengaji secara individu kepada kiai dan mengulang-ulang teks yang dibacanya beberapa kali. Sementara bandongan merupakan model pembelajaran yang memosisikan santri dalam jumlah yang tidak tentu memperhatikan dan membubuhi catatan pada teks yang dibaca kiai.


Para santri sampai saat ini masih menuliskan secara mandiri setiap teks yang hendak dikaji dan dipelajarinya. Mereka juga memberikan makna di setiap teksnya tanpa berharap ketinggalan satu kata pun. Hal ini telah dilakukan sejak lama. Catatan paling tua yang didapat di Pondok Buntet Pesantren pada akhir abad 19, yakni sekitar tahun 1880-an.


Ada 15 naskah mushaf dan 15 naskah kuno kitab keagamaan dan belasan naskah mushaf Al-Qur’an yang sudah terdigitalisasi, sedang 13 naskah lainnya rusak. Naskah-naskah kuno itu bisa diakses secara digital melalui Badan Litbang Kementerian Agama dan Bayt Al-Qur’an.


Agung Firmansyah mencatat naskah-naskah kuno tersebut dalam buku yang diilhami dari tesisnya dengan judul Tradisi Penyalinan Naskah di Buntet Pesantren Abad 19. Ia menyoroti perihal tradisi penyalinan dan penemuan tradisi keilmuan yang dibangun di pesantren yang didirikan Mbah Muqoyim pada medio abad 18 tersebut. Agung menduga masih terdapat naskah-naskah kuno lain di Buntet Pesantren. Penemuan tersebut akan mengungkap lebih banyak hal.


Penyalinan


Hampir semua naskah tersebut ditulis di kertas Eropa. Hal itu terlihat dari cap kertas yang membayangnya, seperti gambar singa bermahkota dalam lingkaran tanpa cap bandingan yang terdapat dalam Mushaf Al-Qur’an Q-BNT-3 dan Tarjamah Bafadhal bernomor LKK/CRB2017/BNP008.


Bila  ditillik lebih jauh, sebetulnya hal tersebut dapat mengungkap setidaknya dua hal di balik itu. Pertama, kiai Pondok Buntet Pesantren telah membuat hubungan dagang dengan bangsa Eropa di masa itu. Sebab, kertas-kertas tersebut dibuat di Benua Biru dan dibawa Belanda dan diperjualbelikan di Nusantara.


Kedua, kita mengetahui bahwa para kiai Pondok Buntet Pesantren merupakan kalangan bangsawan. Hal tersebut dapat dilihat dari penggunaan kertas pada naskah-naskah tersebut. Sebab, kertas-kertas yang dicetak di Eropa itu tidak dihargai dengan murah di Indonesia sehingga hanya orang tertentu yang dapat membelinya.


Mengutip Gallop, Syaifuddin dan Muhammad Musaddad dalam Beberapa Karakteristik Mushaf Al-Qur’an Kuno Situs Girigajah Gresik (2015) mencatat bahwa penggunaan kertas Eropa sebagai bahan dalam penyalinan mushaf pada umumnya dilakukan di keraton-keraton Nusantara pada masa itu, sedangkan kalangan pesantren dan masyarakat biasa pada umumnya menggunakan daluang.


Namun, dari 30 naskah yang berhasil didigitalisasi, hanya satu naskah saja yang daluang. Artinya, para kiai Pondok Buntet Pesantren merupakan kalangan bangsawan. Sebagaimana diketahui bersama, silsilah mereka bersambung hingga Sunan Gunung Jati Cirebon. Mbah Muqoyim sebagai pendiri pun merupakan penasihat di keraton. Namun, ia memilih keluar dari sana dan mendirikan Pondok Buntet Pesantren karena melihat ada intrik di dalamnya.


Selain itu, Agung mengutip pernyataan Guru Besar Filologi Universitas Indonesia Titik Pudjiastuti yang mengungkapkan bahwa Pondok Buntet Pesantren memproduksi tinta sendiri dan dicampur dengan minyak za’faron. Hal itu didasarkan atas penelitiannya mengenai naskah-naskah kuno Buntet Pesantren pada tahun 1991 yang termaktubdalam Lokakarya Penyusunan Monograf Katalog Naskah Keagamaan Cirebon (2018).


Tradisi Intelektual


Di antara 15 kitab yang berhasil didigitalisasi, terdapat dua kitab Bafadhal, yakni (1) Tarjamah Bafadhal dan (2) Syarah Bafadhal. Martin van Bruinessen menyebut dalam bukunya yang berjudul Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat, bahwa kitab karya Syekh Abdullah ibn Abdul Karim Bafadhal ini sangat populer di kalangan pesantren. Syarah atas kitab ini yang ditulis Imam Ibnu Hajar al-Haitami, yakni Muqaddimah al-Hadhramiyah, sampai saat ini dipelajari para santri di pesantren. Tarjamah Bafadhal merupakan karya KH Muhammad Anwar atau yang dikenal dengan Kiai Kriyan.


Selain Bafadhal, kitab Fathul Wahab karya Syekah Zakariya Al-Anshari juga terdapat dua salinan. Artinya, kitab tersebut sudah dikaji sejak zaman dahulu. Saat ini, kitab yang cukup tebal itu masih dikaji para santri senior. Martin juga mencatat kitab ini dalam bukunya sebagai salah satu kitab fiqih paling populer di kalangan pesantren.


Selain Bafadhal dan Fathul Wahab, di antara 15 naskah tersebut juga terdapat kitab yang masih terus dipelajari sampai sekarang. Kitab Al-Hikam Ibnu Athaillah, misalnya. Sesepuh Pondok Buntet Pesantren KH Adib Rofiuddin Izza membaca kitab tasawuf tersebut saban bakda Jumat di Masjid Agung Buntet Pesantren.

 

Mas’alah Abi Al-Laits yang disyarahi Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani dengan judul Qathrul Ghaits dan Matan Bajuri yang dikenal dengan judul syarahnya, Tijan Al-Darari, yang juga ditulis Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani juga masih dipelajari para santri sampai saat ini.


Dari penemuan itu, Pondok Buntet Pesantren jelas merupakan salah satu pusat pernaskahan keagamaan di zamannya mengingat belum ada percetakan. Penelitian mendalam mengenai naskah-naskah tersebut secara khusus akan lebih membuka tabir intelektual yang selama ini masih tertutup.


Peresensi Syakir NF, pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama


Identitas Buku


Judul : Tradisi Penyalinan Naskah di Buntet Pesantren Abad 19

Penulis : Agung Firmansyah

Tebal : VI + 162

Terbit : November 2020

ISBN : 957-623-94191-6-5

Penerbit : Ratna Media Utama