Pesantren HARI KESAKTIAN PANCASILA

Mbah Liem dengan Pesantren Pancasila Saktinya

Sel, 1 Oktober 2019 | 07:45 WIB

Mbah Liem dengan Pesantren Pancasila Saktinya

Madrasah Aliyah Al-Muttaqien Pancasila Sakti. (via IDN Times)

Eksisten Pancasila sebagai konsensus kehidupan berbangsa dan bernegara mendapat banyak ujian dan cobaan yang kerap memunculkan tragedi karena memakan korban jiwa. Pasca-proklamasi kemerdekaan rongrongan terhadap dasar negara Pancasila datang dari sejumlah kelompok, baik kelompok Islam konservatif dengan konsep darul Islamnya maupun kelompok komunis dengan komunismenya.

Ulama-ulama pesantren yang sejak awal komitmen terhadap perjuangan kebangsaan berupaya sekuat tenaga agar Pancasila tetap eksis, jaya, dan terjaga di bumi Indonesia dengan kemajemukan bangsanya.
 
Terhadap para pemberontak negara itu, ulama pesantren yang tergabung dalam jam’iyyah Nahdlatul Ulama bukan tak mengerti tentang persatuan umat Islam, juga bukan tak memahami konsep-konsep negara dalam Islam. Namun para kiai tidak ingin memaksakan diri ditengah kondisi kemajemukan bangsa Indonesia.

Atas kegigihan para ulama kiai dalam menegakkan eksistensi Pancasila membuat KH Muslim Rifai Imampuro (Mbah Liem) terinspirasi untuk menamai pondok pesantren yang didirikannya dengan nama Pondok Pesantren Al-Muttaqien Pancasila Sakti (Alpansa) di Dusun Sumberejo, Desa Troso, Kecamatan Karanganom, Klaten, Jawa Tengah.

Warisan Mbah Liem adalah pemikiran tentang Islam dan Pancasila yang paripurna. Pancasila adalah bagian dari pengamalan nilai-nilai Islam dalam masyarakat yang majemuk. Baginya, untuk menjadi seorang Muslim tidak perlu mendirikan negara Islam.

Ketika tahun 1980-an muncul ideologi Islam transnasional di Indonesia yang mempertanyakan relevansi bentuk dan dasar negara, Pesantren Alpansa menjadi salah satu pembela Pancasila lewat inspirasi perjuangan Mbah Liem lewat pesantren yang didirikannya.

Di saat kelompok radikal menyebut Pancasila, bendera, dan lagu Indonesia Raya sebagai thoghut, Pesantren Alpansa justru melestarikan simbol-simbol nasionalisme itu. Di luar kurikulum agama sebagai dasar pelajaran, para santri juga diajarkan materi tentang ke-Indonesiaan dan kebhinekaan. Karena, Islam mengajarkan cinta tanah air adalah bagian dari iman.

Nafas dakwah pesantren Alpansa adalah Islam rahmatan lil alamin, agama pembawa kebaikan bagi seluruh alam. Sebagai agama dengan pemeluk mayoritas di tanah air, dalam pandangan Mbah Lim, Islam adalah agama yang harus memberikan manfaat bagi sesama dan mendorong persatuan bangsa Indonesia.

Pesantren Alpansa juga mengajarkan toleransi antarumat. Mbah Lim mewariskan semangat persaudaraan antarmanusia, sekalipun berbeda agama dan kepercayaan. Karena, hakekatnya setiap manusia adalah ciptaan Allah, sama-sama anak Nabi Adam, dan sama-sama penghuni NKRI – sebagaimana pesan yang tertulis di Joglo Perdamaian.

Sejak 1998, Pesantren Alpansa kerap mengadakan pertemuan dengan para tokoh lintas iman. Pesantren Alpansa kemudian menjadi titik temu bagi tokoh agama dan kepercayaan.
 
Sebagaimana Mbah Liem mengajarkan untuk memuliakan tamu tanpa melihat latar belakang sosial dan agama, pesantren di tengah desa ini tak pernah menolak tamu termasuk yang berbeda agama, misalnya kunjungan organisasi pemuda Katolik untuk belajar toleransi dan dialog lintas iman pada April lalu.

Bahkan menurut kesaksian Habib Luthfi bin Yahya dalam Fragmen Sejarah NU karya Abdul Mun’im DZ (2017) mengatakan, pada saat Panglima TNI Jenderal Benny Moerdani datang ke Pesantren Al-Muttaqien Pancasila Sakti Klaten, Mbah Liem meneriakkan yel, NKRI Harga Mati...! NKRI Harga Mati...! NKRI Harga Mati...! Pancasila Jaya.

Maka sejak itulah yel-yel NKRI Harga Mati menjadi jargon, slogan tidak hanya di NU tapi di beberapa pihak seperti di TNI. Jadi slogan atau jargon “NKRI Harga Mati, Pancasila Jaya” dicetuskan oleh Mbah Liem.

Ali Mahbub (2017) mencatat, Di masjid pondoknya, Mbah Liem setiap setelah iqomat sebelum shalat berjamaah selalu diwajibkan membaca doa untuk umat Islam, bangsa, dan negara Indonesia, berikut Doanya: Subhanaka Allahumma wabihamdika tabaroka ismuka wa ta’ala jadduka laa ilaha ghoiruka.

“Duh Gusti Allah Pangeran kulo, kulo sedoyo mbenjang akhir dewoso dadosno lare ingkang sholeh, maslahah, manfaat dunyo akherat bekti wong tuo, agomo, bongso maedahe tonggo biso nggowo becik ing deso, soho Negoro Kesatuan Republik Indonesia Pancasila Kaparingan Aman, Makmur, Damai. Poro pengacau agomo lan poro koruptor kaparingono sadar-sadar, Sumberejo wangi berkah ma’muman Mekkah.”
 
Mbah Liem seolah menutupi indentitasnya. Bahkan hingga kini putra-purtinya tidak mengetahui persis tanggal lahirnya. Salah satu putra Mbah Liem yang bernama Gus Muh mengatakan Mbah Liem lahir pada tanggal 24 April 1924.

Mbah Liem meninggal pada Kamis, 24 Mei 2012 tepatnya diusia 90 tahun. Jenazah Mbah Liem dimakamkan di Joglo Perdamaian Umat Manusia Sedunia kompleks Pondok Pesantren Al-Muttaqien Pancasila Sakti. Sekitar makam Mbah Liem dihiasi bendera merah putih.

Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Kendi Setiawan