Daerah

Gus Muwafiq: Pesantren Miliki Khazanah yang Lengkap

Sab, 28 September 2019 | 18:00 WIB

Gus Muwafiq: Pesantren Miliki Khazanah yang Lengkap

Gus Muwafiq saat hadir pada Haul Akbar dan Temu Alumni ke-8 Pesantren Miftahul Ulum al-Islamy, Kedundung, Modung, Bangkalan, Jawa Timur. (Foto: NU Online/Abdulloh Hafidi)

Bangkalan, NU Online
Bagi KH Ahmad Muwafiq, warga Nahdlatul Ulama (Nahdliyin) hendaknya tetap menjaga rutinitas yang sudah menjadi ciri khasnya. Demikian pula tidak terlampau panik apalagi terbawa arus terkait keadaan mutaakhir di negeri ini. 
 
Penegasan tersebut disampaikan Gus Muwafiq, sapaan akrabnya saat dikonfirmasi NU Online terkait sejumlah persoalan yang tengah menjadi pembicaraan di negeri ini.
 
Terkait sejumlah Rancangan Undang-Undang atau RUU misalnya yang menimbulkan polemik di masyarakat, bahkan mengundang demonstrasi di mana-mana.
 
“Sebenarnya setelah dinyatakan ditunda oleh pemerintah, semestinya sudah tidak ada lagi pro dan kontra di masyarakat,” katanya Sabtu (28/9)
 
Justru yang harus dipertanyakan adalah mengapa usai RUU yang menimbulkan masalah ditunda, aksi penolakan masih terjadi di sejumlah daerah. 
 
“Pertanyaannya, kenapa ketika pemerintah sudah menyatakan menunda, kok mereka masih merangsek?” katanya balik bertanya. 
 
Dirinya juga mempertanyakan bagaimana mungkin demonstrasi melibatkan pelajar. “Hal itu menimbulkan tafsir bahwa proses demokrasi di Indonesia kan juga masih ada bau-bau dan sisa-sisa pemilihan presiden,” terang kiai berusia 45 tahun ini.
 
Padahal dalam pandangannya, penyampaian aspirasi yang dilakukan lewat demontrasi tentu saja akan menimbulkan risiko, termasuk berhadapan dengan pihak keamanan. 
 
“Ya itu kan risiko. Mereka menyerang, polisinya bertahan. Bertahan kemudian tidak tahan, akhirnya menyerang juga. Begitu saja,” jelasnya.
 
Terkait UU Pesantren yang telah disahkan, dirinya berpesan agar pesantren dapat menyiapkan diri dengan baik.
 
“UU Pesantren ada persiapan yang paling besar sebenarnya, bukan lagi semata-mata persoalan ditanggung oleh negara atau tidak,” katanya.
 
Dalam pandangan Gus Muwafiq, pesantren mempunyai tanggung jawab besar. Karena Arab sudah kehilangan beberapa disiplin ilmunya Rasulullah. 
 
“Di Arab itu yang tersisa tinggal fiqih, sedangkan tasawuf dan kalam sudah hilang,” jelasnya. Sedangkan kawasan lain seperti Afrika, yang tersisa tinggal tasawuf, sedangkan fiqih dan kalam sudah hilang, lanjutnya. 
 
“Dan di Eropa tinggal kalam, sedangkan fiqih dan tasawuf sudah hilang,” sergahnya.
 
Nah, kelebihan pesantren di tanah air ternyata mampu bertahan dengan wacana dan disiplin yang lengkap.
 
“Yang masih utuh itu di sini, pesantren. Fiqih, tasawuf dan kalam masih utuh,” ungkapnya.
 
Tugas berat inilah yang harus diemban pesantren. “Yakni mempersiapkan diri untuk menjadi tempat pulangnya seluruh kaum Muslimin sedunia. Kalau kita tidak siap-siap, nanti begitu mereka ke sini, tidak menemukan khazanah yang dimiliki pesantren,” urainya.
 
Dengan menyitir surat al-Fathir ayat 28, Gus Muwafiq mengingatkan santri harus benar-benar belajar prinsip bahwa sesungguhnya kalangan yang takut kepada Allah adalah ulama.
 
“Ulamanya ada, tapi mas'ulnya juga terbentuk namanya pesantren,” tegasnya.Di sisi lain, tujuan dirumuskannya UU Pesantren untuk membuat mekanisme agar orang itu memiliki ilmu dan punya kontrol, lanjutnya.
 
Di akhir paparannya, Gus Muwafiq berpesan agar Nahdliyin tidak usah terbawa situasi.
 
“Ya NU tetap saja NU. Dari dulu NU begini, bahwa Nahdliyin jangan lupa kalau malam Jumat tahlilan, ziarah kubur, serta dibaan. Itulah orang NU,” tandasnya.
 
Kiai dengan rambut panjuang ini hadir dalam rangkaian Haul Akbar dan Temu Alumni ke-8 Pondok Pesantren Miftahul Ulum al-Islamy di Kedundung, Modung, Bangkalan, Jawa Timur.
 
Kegiatan dalam rangka memperingati tahun wafatnya KH Moh Ilyas Khotib.
 
Tampak hadir pada kegiatan tersebut KH Fuad Nurhasan dari Pesantren Sidogiri, KH Mas Abd Azhim dari Pesantren Al-Falah al-Cholily, Kepang Bangkalan.
 
Juga tampak RKH Fakhrillah Aschal dari Pesantren Syaichona Moh Cholil Demangan Barat, KH Muhammad Makki Nasir (PP Falahun Nashiri Senenan) dan sejumlah tokoh masyarakat setempat.
 
 
Kontributor: Abdulloh Hafidi
Editor: Ibnu Nawawi