Pendidikan Islam PESANTREN LANSIA DARUS SYIFA

Semangat Mengukir di Atas Air

NU Online  ·  Jumat, 20 November 2015 | 23:09 WIB

Letak pesantren tersebut di Jalan Kapten Tendean Gang Karya No 10, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Jika menyambangi pesantren tersebut, kita tidak akan menemukan anak-anak belasan tahun yang menating kitab atau menghafal bacaan-bacaan Shalat, melainkan orang tua puluhan tahun.
<>
Ya Darus Syifa adalah pesantren lanjut usia (lansia). Puluhan orang tua belajar di situ. mereka adalah yang pada masa mudanya tidak sempat atau tak menyempatkan diri untuk belajar agama.

Di pesantren itu, Rofiqoh Darto Wahab adalah salah seorang pembimbing mereka. Ia mengajar sekitar 20an santri lansia yang berasal dari beragam daerah, mulai Bandung, Medan, Jombang, dan daerah-daerah lain. Di antara mereka ada juga yang berstatus suami istri. Namun karena di pesantren, keduanya tidur di kamar terpisah.

Di pagi hari, para lansia itu mulai belajar selepas shalat duha, sekitar pukul 08.00 sampai pukul 11.00. Kemudian istirahat sampai ashar. Mulai mengaji lagi sekitar pukul 16.00 sampai 17.00. Malamnya mulai 19.30 sampai 20.30.

Pengajian pagi hari dibagi tiga kelompok. Satu kelompok belajar Iqro, dua kelompok lain membaca langsung Al-Quran. Ketiganya ditempatkan terpisah. Sementara pengajian sore dan malam menyatu dalam satu majelis.

“Di sini berjamaah shalat tiap waktu. Walaupun sepuh-sepuh, mereka rajin. Ada ujiannya juga lho. Keren ya...hehe ujian tertulis, maupun lisan,” terangnya.

Jadwal pagi Rofiqoh mendapat tugas mengajar Al-Quran. Sementara dua kelompok lainnya diasuh Ustad Sulhan dan Ustad Bir Ali. Dua ustad yang disebut terakhir ini tinggal di luar pondok, tapi rutin mengajar.

Di kelompoknya, Rofiqoh mengajar membaca Al-Quran dengan praktik bagaimana melafalkan huruf (makhorijul huruf) serta teknik pernapasan, supaya tidak berhenti di kalimat yang tidak semestinya. Hal ini penting supaya pembaca tidak terjebak pada “mencuri napas”. Dalam ilmu baca Al-Quran, itu termasuk kesalahan fatal. “Baca Quran kok maling, maling apa, mencuri napas.”

Ia mencontohkan dengan membaca awal surat Al-Fatihah. Ketika membacakan alhamdulillahi robbil, ia diam dan mengambil napas, baru menyebut ‘alamin. “Kalau tidak kuat napasnya, jangan dipaksakan,” katanya. Hal itu akan masuk pada keterangan Nabi Muhammad yang mengatakan, golongan pembaca Al-Quran, tapi Al-Quran sendiri melaknatnya.   

Sore hari, semua santri menyatu dalam satu ruangan. Hanya Rofiqoh yang mengajar campuran dari ragam bidang, dalam istilah dia, gado-gado. Ia menjelaskan fiqih keseharian, akhlak. Juga ilmu tauhid dan sejarah. Tapi lebih mengutamakan mengajar shalawat. Ia membimbing mereka satu bait satu bait, “Dikasih pengarahan, yang dibaca itu apa, faidahnya itu apa,” katanya.

Kemudian, ia jelaskan juga tentang membaca shalawat menurut Al-Qur’an. Lalu diajaknya mereka sama-sama mencari ayatnya dan membacanya bersama pula.

Ketika ditanya bagaimana perbedaannya antara mengajar orang tua dibanding remaja, ia menyanyikan sebait kasidah yang populer. Belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu/ Belajar sesudah dewasa laksana mengukir di atas air. “Orang tua itu ngurusnya susah. Mereka itu sesnsitif. Saya di sini belajar sabar,” katanya.

Ia harus sabar dengan sifat orang tua yang pelupa. Jika hari ini bisa, besoknya akan lupa lagi. Kemudian mengulang lagi, besoknya lupa lagi. Terus begitu, “Bagai mengukir di atas air,” katanya.”Mereka juga sensitif, mudah tersinggung. Usia lanjut memang begitu.”

Orang tua membutuhkan perhatian berlebih dan tidak bisa diperlakukan dengan kedisiplinan ketat. Di samping itu, kadang-kadang di antara mereka juga berselisih. “Curhatnya ke saya. Saya harus mendamaikan.”

Namun, ia selalu terharu akan semangat belajar mereka. Meskipun mereka sudah tua, masih tetap semangat ingin menuntut ilmu dengan risiko meninggalkan keluarga, anak, dan cucu. “Terus kumpul di sini. Makan tentunya seadanya tidak seperti di rumah. Saya salutnya di situ juga.” (Abdullah Alawi)


Terkait

Pendidikan Islam Lainnya

Lihat Semua