Opini

Wabah yang Mengubah Peradaban Manusia (Bagian 6)

Jum, 24 April 2020 | 07:30 WIB

Wabah yang Mengubah Peradaban Manusia (Bagian 6)

ilustrasi black death

Oleh Warsa Suwarsa 
 
Kita jangan pernah mengira kondisi Eropa abad pertengahan, sejak keruntuhan Romawi sampai abad ke 14, sama dengan kondisi Eropa saat ini. Peradaban dunia pada abad pertengahan sedang mengalami pergeseran dari Barat ke Timur, saat para sarjana Muslim mulai menerjemahkan karya-karya filsuf Yunani ke dalam Bahasa Arab. Eropa mengalami keputusasaan karena terjadinya missing link keilmuan antara diri mereka dengan peradaban masa lalunya.

Eropa abad pertengahan adalah potret kekumuhan. Kota-kota dipenuhi dan disesaki aroma busuk. Sanitasi lingkungan yang buruk. Urbanisasi besar-besaran dari daerah rural ke daerah urban telah memunculkan patologi sosial baru mengimbangi patologi lingkungan dan wabah-wabah penyakit yang menerjang Eropa saat itu. Selokan-selokan dialiri oleh air-air berwarna hitam pekat. Orang-orang Eropa memiliki kebiasaan membuang sampah dari rumah-rumah mereka dari lantai dua dan tiga ke jalanan. Sisa-sisa makanan yang dilemparkan dari rumah-rumah tersebut dikerubuti oleh para jembel, mereka saling berebut sisa makanan. Sampah sayuran dan buah-buahan busuk menyengat baunya, dikerubungi lalat di siang hari dan digusur oleh tikus-tikus ke sana ke mari pada malam harinya. Eropa yang kumal tersebut tidak memiliki ikhtiar atau upaya bagaimana menjadikan kota dan tempat tinggal mereka menjadi bersih.
 
Black Death (1346-1353 M)
Kekumuhan Eropa selama abad pertengahan tersebut harus dibayar dengan harga mahal saat di penghujung abad dilanda wabah hitam (black death), sejarah mencatnya dengan sebutan maut hitam. Epidemi ini disebut sebagai sebuah wabah yang belum pernah dikenal sebelumnya. Disebabkan oleh semakin menyebarnya bakteri yersenia pestis oleh tikus, menjangkiti hampir dua per tiga wilayah Eropa. Lingkungan kumuh dan Eropa semakin jatuh ke dalam epidemi yang lebih parah.

Golongan agamawan tidak memiliki upaya realistis selain merafalkan ayat-ayat suci dan mengatakan kepada jemaatnya bahwa epidemi ini merupakan siksa dari Tuhan karena semakin menjamurnya kejahatan yang disebabkan oleh kelompok tertentu. Kemudian kalimat ‘kelompok tertentu’ ini ditafsirkan oleh orang-orang Eropa sebagai kelompok yang tidak sama dengan mereka, etnis, bahasa, dan kebiasaannya. Kelompok tertentu adalah mereka, orang-orang Yahudi yang telah menjadi penyebab jatuhnya Eropa ke dalam kondisi yang paling mengerikan selama sejarah kehidupan Eropa, maut hitam. 
 
Baca: Wabah yang Mengubah Peradaban Manusia (Bagian 4)

Maut hitam telah melahirkan wabah baru yang dialami oleh para pesakitan, fanatisme kelompok dan agama, orang-orang Yahudi diperangi, disiksa, diintimadasi, hingga dibunuh demi alasan: orang-orang Yahudi telah membawa dan menyebarkan wabah hitam ke Eropa. Jika mereka tidak datang ke Eropa sudah dapat dipastikan maut hitam yang telah menelan sampai 75 juta nyawa itu tidak akan terjadi. Solusi maut hitam adalah dengan mensterilkan seluruh Eropa dari orang-orang Yahudi!

Albert Camus secara runut mendeskripsikan kondisi Eropa di abad pertengahan dalam salah satu novelnya: Sampar. Mayat-mayat yang membusuk dibiarkan tergeletak di jalanan, tikus-tikus mengerubuti mayat manusia itu tidak hanya di malam hari saja, juga telah terang-terangan di siang hari. Populasi tikus meningkat drastis, binatang pengerat yang telah menjadi bom virus itu berhamburan ke setiap penjuru Eropa. Golongan agamawan hanya cukup mengatakan kepada para pesakitan: lawanlah dengan berdoa kepada Tuhan agar penyakit dan wabah ini segera hilang. 
 
Novel Sampar karya Camus ini memang sengaja ditulis dengan nuansa absurd, pertentangan antara agama dan realitas, agama dan pernak-perniknya sama sekali lumpuh saat dihadapkan dengan persoalan yang dibahas oleh agama itu sendiri: siksaan dan azab Tuhan yang menyerang siapa saja sekalipun orang saleh. Maka, hanya kemahamurahan Tuhanlah yang dapat menghentikan wabah hitam ini. Tetapi pada akhirnya, maut hitam tersebut hilang juga dengan sendirinya setelah meninggalkan jejak mengerikan dalam sejarah kehidupan manusia.

Awal Black Death
Justus Friedrich Karl Hecker, pada tahun 1888 menerbitkan buku The Black Death, and The Dancing Mania, di dalamnya memuat catatan-catatan lama dari orang-orang yang mengalami langsung epidemi maut hitam seperti juru tulis kekaisaran Romawi Kantakusenos. Penulis kekaisaran itu menyebutkan dalam catatannya, dia telah kehilangan anaknya sendiri, Andronikus yang meninggal karena maut hitam melanda Konstantinopel.

Gejala yang ditimbulkan oleh penyakit aneh ini disebutkan oleh Kantakusenos muncul bintik-bintik hitam, bisul pada wajah dan tangan. Dalam hitungan hari, tubuh Andronikus dipenuhi oleh bisul hitam baik tunggal atau berkelompok, kemudian pecah. Saat itu belum muncul wacana bahwa penyebaran bakteri yersenia pestis disebabkan oleh migrasi orang-orang Yahudi ke Eropa. Informasi yang berkembang menunjukkan bakteri yang berasal dari Tiongkok menjadikan tikus hitam sebagai medium transportasi penularan bakteri kepada manusia.

Maut hitam telah menghancurkan Asia, Eropa, dan Afrika, meruntuhkan peradaban Romawi dan mengombang-ambingkan dinasti Abbasiyyah generasi kedua. Kemunculan bintik hitam, lidah memar, dan berujung pada kematian ini menjadi alasan wabah ini disebut sebagai maut hitam. Di Italia dikenal dengan sebutan la mortalega grande, kematian besar.

Beberapa kasus menunjukkan perbedaan gejala yang dialami oleh seorang korban dengan korban lainnya. Beberapa korban memperlihatkan penderitaan yang hanya berujung pada kematian; kelumpuhan lidah, tidak ada minuman yang dapat meredakan rasa haus karena mulut seperti terbakar. Sebagian lainnya memaksa diri agar terlelap tidur, namun keesokan harinya mereka benar-benar tertidur untuk selamanya. Tidak sedikit orang menghakhiri hidup dengan tangan mereka sendiri untuk memutus rasa sakitnya.

Penyucian Ilahi kepada Para Pengotor
Penularan wabah yang terlalu cepat terjadi di daerah-daerah perkotaan dengan tingkat interaksi sosial tinggi antarwarga. Giovanni Boccaccio dalam buku The Decameron yang ditulis pada tahun 1353 selanjutnya diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh John Payne pada tahun 1886 mendeskripsikan bagaimana kerasnya maut hitam yang dihadapi oleh masyarakat urban di Kota Florence: Kota Florence yang terkenal indah dan di dalamnya dipenuhi oleh selubung keadilan tiba-tiba menjadi tempat kumuh setelah datang maut hitam yang mematikan. Boccaccio tetap menyebutkan bahwa munculnya maut hitam merupakan sebuah pertanda lahirnya keadilan ilahi atas transaksi jahat yang sering dilakukan oleh manusia. Maut hitam merupakan upaya perbaikan bagi manusia melalui murka ilahi.

Maut hitam telah menghilangkan orientasi manusia terhadap masa depan. Pada hari pertama The Decameron ditulis, 1348 orang meninggal dunia. Bagi Boccaccio, sebagai seorang penulis yang dibesarkan dan dididik oleh gereja, maut hitam dipandang sebagai cara ilahi dalam proses pembersihan kota dari tangan-tangan kotor para petugas kerajaan. Bagaimana pun, pandangannya yang terlalu menyudutkan satu pihak tampak tidak adil sebab maut hitam tetap berlangsung menyerang siapa saja, entah itu manusia saleh atau kelompok yang disebutkan oleh Boccaccio sebagai pengotor kota.

Baca: Wabah yang Mengubah Peradaban Manusia (Bagian 5)

Maut hitam menyebar dari Romawi Timur ke Barat seperti sebuah erupsi gunung berapi, menular dari satu manusia kepada manusia lainnya dengan kecepatan yang tidak terbayangkan sebelumnya. Orang yang terpapar, mungkin karena telah memiliki penyakit bawaan, mengalami peradangan saluran pernafasan, menyebabkan rasa sakit hebat saat bernapas, mengeluarkan darah, dan nafas yang dikeluarkan menyebar bau busuk.

Para dokter dan orang-orang yang konsern terhadap kesehatan masyarakat berusaha menghentikan wabah maut yang semakin meluas, orang-orang Florence yang terjangkit bertambah banyak. Dalam hari ketiga, keputus-asaan dialami oleh para dokter, upaya-upaya yang dilakukan menunjukkan langkah uji coba, mudah-mudahan cara yang ditempuh berhasil. Alih-alih memperlihatkan keberhasilan dalam pengobatan, hampir semua orang yang terinfeksi meninggal di hari ketiga sejak kemunculan tanda-tanda terjangkiti yersenia pestis. Upaya lain yang dilakukan adalah menghindari kontak langsung (physical distancing) baik berbicara, menyentuh baju, atau berintekasi dengan korban. Hanya saja, kebijakan yang ditempuh dan disarankan oleh para dokter di abad pertengahan ini, dalam kondisi kalut, justru telah melahirkan etiket sosial baru yang tidak pernah dikenal sebelum Eropa diterjang maut hitam.
Gejolak sosial melanda separuh Florence, pengusiran orang-orang yang terjangkit maut hitam ke jalanan semakin memperburuk keadaan. Jenazah tergeletak bahkan diletakkan begitu saja di jalanan, dikerubuti oleh lalat dan tikus, dua binatang ini justru semakin memperluas penularan. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan stigmatisasi yang dialamatkan kepada orang-orang yang terpapar Covid-19. Dalam pemberitaan beberapa minggu lalu, siapa pun akan sangat terkejut dengan aksi penolakan warga atas jenazah yang meninggal karena terinfeksi virus korona. Stigmatisasi yang telah mengisi ruang-ruang alam bawah sadar manusia ini disematkan juga kepada ODP, PDP, hingga tenaga medis di saat mereka sedang berjuang di garda terdepan dalam memerangi penyebaran Covid-19.

Pusat Kepausan di Avignon Menjadi Kota Mati
Avignon sebuah kawasan yang paling banyak disinggahi oleh Paus di selatan Perancis telah lumpuh menjadi sebuah kota mati oleh hantaman maut hitam yang melanda 2/3 Eropa. Catatan Guy de Chauliac, seorang dokter saat itu, berhasil dikumpulkan oleh Karl Hecker diungkapkan dengan kesan hiperbolik, wabah mengabuk di Avignon selama delapan minggu, tetapi realitasnya memang demikian. Bahkan lebih hebat dari uangkapan hiperbolik sekalipun. Penularan maut hitam di Avignon lebih hebat, orang sakit mengeluarkan darah dari mulut, orang tua meninggalkan anak-anak mereka yang telah terinfeksi, dan ikatan keluarga tercerai berai begitu saja. Sebuah anomali terjadi, enam bulan kemudian, di samping menimbulkan kematian, ada juga orang-orang yang pulih dari maut hitam. Mereka sebagaimana disebutkan oleh Chauliac adalah orang-orang pemberani yang tidak pernah merasa takut oleh maut hitam. 

Meskipun demikian, kesembuhan orang-orang tertentu, karena memiliki imunitas tubuh yang baik, bukan menjadi jaminan penyebaran maut hitam terhenti begitu saja. Dua belas tahun kemudian setelah wabah pertama pada tahun 1348 M, Avignon kembali digempur oleh maut hitam untuk kedua kalinya pada Januari sampai Agustus 1360 M. Wabah tidak hanya menerjang orang-orang miskin, namun menyentuh kelas menengah ke atas. Orang-orang yang selamat saat maut hitam pertama, selanjutnya terpapar dan banyak yang meninggal dunia pada wabah kedua. Anak-anak banyak yang meninggal dunia, Avignon kehilangan generasi penerus. Rumah-rumah tanpa penghuni, Paus Klemens II menghibur jemaatnya dengan absolusi, pengampunan dari Tuhan kepada para korban.
 
Penulis adalah guru MTs-MA Riyadlul Jannah, Cikundul, Kota Sukabumi