Opini

Wabah yang Mengubah Peradaban Manusia (Bagian 5)

Rab, 22 April 2020 | 11:00 WIB

Wabah yang Mengubah Peradaban Manusia (Bagian 5)

Ilustrasi "black death" (atalayar.com)

Oleh Warsa Suwarsa

Pada milenium pertama setelah Masehi, telah terbentuk beberapa tatanan besar dunia, antara lain: Persia, Romawi, China, dan Islam. Di abad pertengahan, Islam melalui kekhalifahan dengan sistem dinastinya mulai memperluas wilayah kekuasaan. Penting dicatat, hampir setiap tatanan, entah itu atas dasar keagamaan dan politik kekuasaan, selalu mempergunakan kata “kita” untuk setiap tatanan miliknya sendiri, dan “mereka” untuk tatanan yang dibangun oleh kelompok lainnya. Dan setiap tatanan dibangun atas tiga dasar tatanan induk: perekonomian, imperium (kekuasaan), dan agama. Meskipun demikian, dalam perkembangannya, saat tatanan tersebut telah menemukan bentuk yang mapan telah melahirkan tatanan lain yang tidak kalah penting dari tiga dasar tatanan tadi yaitu: ilmu dan pengetahuan.
 
Baca: Wabah yang Mengubah Peradaban Manusia (Bagian 1)
Baca: Wabah yang Mengubah Peradaban Manusia (Bagian 2)

Bandul tatanan dunia terus bergerak, silih berganti. Beberapa milenium sebelum Masehi telah lahir tatanan besar di wilayah-wilayah subur Mesopotamia, aliran Hwang Ho, Yunani, dan Persia. Rata-rata, kekuatan tatanan besar tersebut mampu bertahan selama tiga milenium atau kurang, sebelum menemui masa keruntuhannya, kemudian diganti oleh tatanan baru karena dipandang oleh manusia yang menempati wilayah-wilayah tersebut lebih dapat diterima dan relevan dengan perkembangan kehidupan saat itu.

Bukan hanya disebabkan oleh semakin melemahnya kekuatan dan kekuasaan, sebuah tatanan bisa hancur disebabkan oleh hal lain yang tidak terduga sama sekali sebelumnya, misalnya oleh wabah. Dengan kata lain, mau tidak mau harus diakui, kemunculan wabah yang menerjang satu wilayah kekuasaan dapat menjadi penyebab keruntuhan satu tatanan imperium atau kekuataan politik. 

Pergantian tatanan dalam kekuasaan merupakan hal sangat lumrah. Di era kekuasaannya, hampir setiap manusia memiliki anggapan kerajaan Mesir Kuno yang telah diwariskan dari satu dinasti ke dinasti lainnya mustahil bisa hancur. Sangat sulit bagi kerajaan-kerajaan kecil dan wilayah-wilayah di sekitar Mesir dan Mesopotamia dapat mengubah apalagi meruntuhkan kekuatan Mesir Kuno jika tidak runtuh oleh kekuatan adikodrati, misalnya kemunculan messiah yang sering dikisahkan dalam tradisi Semitik. Bangsa-bangsa lain yang lebih kecil seperti Het dipandang sebagai pemberontak kecil oleh kerajaan Mesir. Bangsa besar titisan Amur Ra itu bagaimana mungkin dapat hancur dari permukaan bumi? Begitu anggapan manusia saat itu.
 
Baca: Wabah yang Mengubah Peradaban Manusia (Bagian 4)

Tradisi Ibrani telah mengambil babak keruntuhan kerajan Mesir dalam kisah eksodus bangsa Yahudi dari Mesir ke tanah yang dijanjikan. Kitab-kitab agama samawi mengabarkan keruntuhan Mesir ditandai oleh tenggelamnya Ramses II di laut merah. Ada cara pandang baru dalam memberikan alasan penyebab utama kerajaan Mesir mengalami kemunduran pada era Ramses II. Wabah dan bencana telah menyerang wilayah subur di bantaran Sungai Nil. Belalang dan serangga menghancurkan tanaman penduduk Mesir, kemudian sungai Nil menjadi semerah darah, binatang amphibi naik ke darat memasuki rumah-rumah penduduk, tahap selanjutnya kematian ikan-ikan di sungai telah menyebabkan populasi lalat hijau membengkak berkali lipat memunculkan beragam penyakit koreng, kolera, dan gatal-gatal.

Dalam literatur Perjanjian Lama, perubahan air sungai Nil menjadi darah tidak semata sebagai siksaan bagi penduduk Mesir juga merupakan hukuman kepada orang bangsa Yahudi yang telah mengalihkan pemujaan dari Yahweh kepada pohon anggur yang terletak di bantaran Nil. Dalam satu risalah, Herodotus, sejarawan Yunani itu menulis, pemujaan terhadap sungai di daerah-daerah subur Mesopotamia telah berkembang mulai dari Persia, Phartia, dan Samaria. Hal ini semakin memperkuat pandangan bahwa wabah-wabah yang terjadi di wilayah-wilayah subur tadi memang merupakan pembalasan dari Tuhan.
 
Kemunculan tatanan baru pada milenium pertama setelah Masehi yang tidak pernah diprediksi sebelumnya oleh para sejarawan kuno yaitu kekhalifahan Islam. Lahir pada masa-masa Romawi dan Persia di ambang keruntuhan. Bagaiama mungkin komunitas atau dalam term Al-Qur’an disebut ‘umat’ yang dianggap kecil, nomaden, terbelakang, dan jahil dapat mengisi ruang kosong siklus imperium setelah seorang nabi membawa perubahan revolusioner dan visioner pada bangsa Arab?

Bagaimana mungkin wilayah-wilayah dari Mediterania hingga kawasan subur Konstantinopel menaruh harapan baru kepada kekhalifahan Islam setelah wabah Justinian menghancurkan fisik dan mental penduduk wilayah kekaisaran Romawi? Berdasarkan pada siklus peradaban, abad pertengahan dapat disebut sebagai masa kejayaan peradaban Islam dan keruntuhan Romawi yang pada beberapa abad kemudian merupakan pembentukan struktur tatanan Eropa dengan imperialismenya kembali tampil sebagai tatanan baru penguasa dunia.

Wabah Selama Peradaban Islam
Pada awal masa kenabian, orang-orang Arab dikenal dengan kebebalan dan kejahilannya itu sama sekali menolak mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Alih-alih mengakuinya sebagai utusan Tuhan, para elite Arab merasakan ancaman besar dari Nabi dan pengikutnya yang masih berjumlah puluhan orang saja. Elite-elite Arab yang terdiri dari para saudagar, pengusaha, politisi, dan sastrawan menggalang kesepakatan untuk memadamkan seruan Nabi yang mereka pandang sebagai orang gila (majnun). Dalam kurun waktu 22 tahun lebih, mayoritas orang-orang Arab dari strata sosial menengah ke bawah memberikan pengakuan dan mengkonversi keyakinan lama mereka kepada agama baru:Islam. 

Tahun 629 M, Nabi bersama 10.000 pengikutnya berangkat ke Mekah. Bagi orang-orang Mekah keberangkatan Nabi bersama para sahabatnya ini dipandang sebagai sebuah serangan besar-besaran, waktu yang tepat bagi Nabi dan para pengikutnya untuk membalas perlakuan orang-orang Mekah kepada Nabi beberapa waktu lalu. Di luar dugaan, keberangkatan Nabi itu awalnya justru dimotivasi oleh kerinduan kepada kampung halaman dan ingin mempersatukan penduduk Mekah dan Madinah. 

Dengan tanpa pertumpahan darah, Mekah membuka diri terhadap kedatangan Nabi, peristiwa ini sebagai puncak klimaks kenabian. Tahap selanjutnya, selama tiga tahun, Islam menyebar lebih luas ke pelosok jazirah Arab. Haji Wada, haji perpisahan pada tahun 632 M, menurut Armstrong, merupakan puncak diterimanya Islam oleh orang-orang Arab secara paripurna. Pesan krusial dan monumental yang disampaikan oleh Nabi akan mengingatkan orang Kristen pada peristiwa khutbah Nabi Isa di bukit karena kemiripan pesannya; pengakuan yang tinggi terhadap hak-hak asasi manusia. Tidak ada pertumpahan darah, maksud-maksud yang tercantum di dalam ajaran Islam: melindungi jiwa, darah, harta, dan kehormatan terkandung dalam pesan terakhir Nabi.

Pada abad ke 7 M, pendapat bahwa satu kawanan Arab udik gurun akan segera menaklukkan satu wilayah luas yang terbentang dari Samudra Atlantik sampai ke India terasa sangat mustahil lagi. Walakin, kecuali abad tersebut merupakan masa keemasan Islam, pada babak kehidupan lainnya, karena semakin tingginya mobilitas dengan bangsa lain terutama dengan wilayah-wilayah yang masih menyisakan penyebaran wabah. Di wilayah bekas kekuasaan Romawi dari belahan Barat sampai Timur, seperti di Damaskus (Damsyiq), daerah sebelah Timur Mediterania pernah tercatat sebuah wabah mematikan menerjang wilayah ini pada masa Abbasiyah periode kedua, sekitar tahun 1348 M.
 
Ibnu Battuta mencatat peristiwa itu dalam catatan perjalanannya dari Aleppo sampai Yerussalem, tempat-tempat yang dilaluinya merupakan desa-desa yang sedang terjangkit wabah bubonic. Dalam satu desa, Ibnu Battuta mencatat, sebanyak 300 orang meninggal karena wabah.
 
Terhadap beberapa peristiwa wabah, entah itu manusia di era peradaban kuno atau manusia yang telah memasuki tatanan baru pada milenial pertama masih banyak yang menganggap bahwa wabah ini seperti yang diungkapkan oleh J.G Millingen dalam buku Curiosities of Medical Experience: wabah sampar pernah dianggap sebagai hukuman yang dijatuhkan pada umat manusia atas bermacam-macam pelanggaran manusia sendiri. Masyarakat kuno mendewakan melapetaka dan memandangnya sebagai pembalasan tanpa pedang atau senjata dari dewa kepada para pelaku kejahatan. Lucretius bahkan memandang wabah yang pernah melanda Athena sebagai api yang menyucikan.

Wabah yang pernah terjadi dalam peradaban Islam pun dipandang oleh rata-rata manusia sebagai hukuman Tuhan kepada pelaku kejahatan. Harus diakui dengan jujur, sejarah perkembangan kekuasaan kekhalifahan Islam tidak seluruhnya baik-baik saja. Konflik dan pertentangan telah dimulai beberapa hari setelah Nabi meninggal dunia. Adalah sangat wajar dan memang merupakan sebuah keniscayaan, selama kurun waktu berabad-abad sejak Nabi meninggal, kehidupan umat terjatuh dalam sengketa-sengketa politik, aliran, cara pandang, dan perbedaan dalam menafsirkan wahyu dan hadits. Perang antargolongan, pengikut, dan klan terus berlangsung, imbasnya terhadap perebutan dinasti. Perbuatan dan dosa-dosa itulah yang telah mengundang Tuhan menurunkan hukuman berupa wabah.

Walakin, jika ditelaah secara adil dan rasional kemunculan wabah selama peradaban Islam ini disebabkan oleh mobilitas dan hubungan serta interaksi dengan wilayah-wilayah yang masih menyisakan wabah, terutama pascaendemi Justian melanda kawasan Mediterania sampai Konstantinopel. Wabah yang terjadi pada masa dinasti Abbasiyah periode kedua beririsan dengan wabah terbesar sepanjang sejarah manusia: black death atau maut hitam yang memorakporandakan Eropa di abad pertengahan.

Penulis adalah guru MTs-MA Riyadlul Jannah, Cikundul, Kota Sukabumi