Oleh Mh Nurul Huda
Dapatkah kita membangun suatu“negeri yang baik, dilimpahi kasih sayang dan ampunan” tanpa keselarasan pandangandan kooperasi dalam kehidupan?Pertanyaan ini mengakhiri kolom yang lalu.
<>
Segera kemudian setelah kolom itu terbit, kalau bukan karena semata demi lancarnya kata dan kalimat, penulis bisa dirundung malu yang sangat. Mengingat bahwa begitu banyak komunitas dalam masyarakat kita di pelosok-pelosok sana atau di sekitar kita sendiri, merasa tak penting memberi jawaban atas pertanyaan “lucu” dari pihak luar mengenai sesuatu yang telah dipraktikkan dalam dunia keseharian mereka.
Kooperasi, kerja sama, teposeliro, saling menghormati justru sudah menjadi bagian dari kehidupan komunitas mereka. Semua itu sudah jadi kebiasaan sehari-hari, yang dihayati dan dipahami secara tahu sama tahu di kalangan mereka (tacitknowledge). Sedemikian rupa ia sehingga tiada urgensi menyatakan tacitknowledge itu dalam kata dan kalimat. Ia adalah warisan pengetahuan-dalam-praktik-hidup mereka selama berabad-abad.
Itulah yang lalu kita sebut sebagai tradisi luhur masyarakat (sebagian besar berupa tradisi lisan), yang entah bagaimana dalam suatu interaksi sosial-politik yang kacau dan dinamis, langsung maupun tak langsung kemudian dapat berubah, bergeser, termanipulasi. Sebagian tradisi itu memang masih bertahan dan berjalan amat menawan yang memungkinkan kita belajar dari kehidupan mereka (tampaknya ini di antara manfaat dari sikap menghormati perbedaan), namun sebagian yang lain meluntur cepat atau menghilang secara pelan-pelan.
Lebih dari 5 abad yang lalu, Ibnu Kholdun pengarang kitab “Muqoddimah” yang diakui Arnold J Toynbee sejarawan terkemuka sebagai karya paling cemerlang yang belum pernah dikarang siapapun hingga pada masanya, mengingatkan lagi kita semua. Dalam pengamatan Ibnu Kholdun, kooperasi dan solidaritas yang diperluas adalah prasyarat dasar kesejahteraan dan kebaikan masyarakat. Kehadiran keduanya dipupuk dengan kedekatan perasaan dan pengalaman senasib, dan dipertahankan lewat timbal balik saling menghormati dan rasa empati. Namun, sebaliknya, masyarakat dan peradabannya itu berada di tubir kehancuran bila digerogoti oleh suasana saling tak percaya antaranggotanya (social distrust), serta dirontokkan oleh kerakusan, keterpecahbelahan, dan konflik-perang.
Di mana-mana masyarakat yang baik (“Good Society”, “al-Madinatul Fadhilah”) adalah kebutuhan setiap kebudayaan dan peradaban. Mereka perlu mewarisi atau memiliki keutamaan-keutamaan moral dan sosial, yang dengan itu semua setiap anggota secara suka rela dapat menyumbang perbaikan-perbaikan dan kemajuan bagi kemanusiaan.Pokok-pokok itulah yang tampak juga di mata penulis dalam pikiran-pikiran Kiai kita, Abdurrahman Wahid. Berkat kesadaran masa depan (future consciousness), memungkinkan dirinya memahami fakta umat muslim dan dinamikanya, serentak lalu melakukan proyeksi akan kemungkinan kebangkitan kembali sebuah peradaban (“Islam Kosmopolitan”).
Masa depan itu adalah ia yang melampaui tujuan-tujuan personal. Masuk di dalamnya suatu kepedulian/bela-rasa pada sesama (humanism) dan dunia kehidupan secara luas (ekologi, rahmatan lilalamin). Masa depan itu juga ia yang menghormati perbedaan pendapat, hak dan kewajiban asasi manusia, dan memberi ruang pada keanekaragaman. Ia diperkaya oleh dialog yang bebas, percakapan-percakapan lintas-budaya yang menuntut kearifan, kemerdekaan berpikir dan kehidupan beragama yang eklektik dalam masyarakat yang semakin beragam. Masa depan itu menyangkut juga universitas/perguruan tinggi yang “kultural” sifatnya di mana ia terkoneksi dengan masyarakat kebanyakan (“Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan”).
Kebangkitan peradaban atau suatu renaisans (penulis sependapat bahwa renaisans Eropa bukanlah satu-satunya corak renaisans), entah wujudnya disebut baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur atau apapun ia nama lainnya, adalah masa depan yang kita inginkan. Ia disadari berkat tempaan sejarah, aneka perselisihan, hiruk-pikuk kekacauan (chaos) dan pengalaman jatuh-bangun dalam “The enlightenment fallacy” maupun dalam “sikap-jiwa serba ganda” antara glorifikasi dan memaki sejarah sendiri.
Diolah dari pengalaman dan sumber daya sendiri, tantangan dan problemnya sendiri, skema-skema yang dirumuskan sendiri dan diterangi keutamaan-keutamaan yang kita hidupi disertai percakapan-percakapan antartradisi, masa depan itu pada akhirnya adalah suatu aksi bersama kini dan di sini. Wallahulmusta’an.
* M Nurul Huda, aktivis 1926, dosen Program Studi Sosiologi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia di Jakarta
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Inilah Obat bagi Jiwa yang Hampa dan Kering
2
Khutbah Jumat: Bahaya Tamak dan Keutamaan Mensyukuri Nikmat
3
Khutbah Jumat: Belajar dari Pohon Kurma dan Kelapa untuk Jadi Muslim Kuat dan Bermanfaat
4
PBNU Tata Ulang Aset Nahdlatul Ulama Mulai dari Sekolah, Rumah Sakit, hingga Saham
5
Kontroversi MAN 1 Tegal: Keluarkan Siswi Juara Renang dari Sekolah
6
Ekologi vs Ekstraksi: Beberapa Putusan Munas NU untuk Lindungi Alam
Terkini
Lihat Semua