Oleh Mh Nurul Huda
--Indonesia adalah negeri yang kaya, dengan aneka kebudayaan dan tradisi-tradisi agung masyarakatnya. Salah satunya yang penulis sebut adalah tradisi pesantrenlengkap dengan spirit trisakti-nya, bersama dengan tradisi-tradisi masyarakat kita lainnya, yang bersentuhan dengan tradisi-tradisi agung dunia. Tradisi ini berhasil menjadi inspirasi dan selanjutnya berpotensi memainkan peranan penting dalam kehidupan di masa depan.<>
Sulit disangkalbahwa modernitas Barat juga membawa rasiokita semakin matang. Dihantarkannya kemajuan sains dan teknologi, serta kematangan dalam hal pemahaman mengenai siapa diri kita. Tetapi, seperti dinyatakan seorang penyair William Blake, rasio sendiriandalam sejarah membawa kita dalam keputusasaan (oleh tragedi demi tragedi), oleh karena itulah kita perlu mengenalikembali sumber-sumber inspirasi dan harapan.
Banyak orang bilang, di dunia modern tak ada yang abadi kecuali perubahan. Namun penyelidikan secara seksama dari satu era ke era lainnya menunjukkan bahwa ada banyak perubahan tetapi juga kesinambungan (continuity and change).
Kesinambungan dalam kehidupan diantaranya berupa peranan universal agama dan/atau spiritualitas dalam kebudayaan-kebudayaan. Sedangkan bentuk perubahan evolutifnya terlihat dalam hal kematangan penghayatan dan pemahaman para pemeluknya seiring dengan perkembangan jaman, aneka perjumpaan kebudayaan dan pengalaman kesejarahan yang beragam.
Sekali lagi,Indonesia bukanlah kekecualian. Agama dan/atau spiritualitas menjadi sumber ilmu dan inspirasi pemerdekaan sertasumber kearifan dan harapan di dalam mengarungi bahtera dunia kehidupan. Suatu dunia yang sulit diprediksi dan teramat kompleks (complex world), yang tunggang-langgang (run away world) danpenuh dengan risiko (world risk society)yang oleh para ahli dinyatakan sebagai gejala umum globalisasi. Ada juga yang menyebut kondisi itu “high modernity” yang ditandai oleh kepercayaan diri yang tinggi akan kemajuan sains dan teknologi serta ketergantungan umum padakeahlian para intelektual dan inovasisaintifik, yang membuatnya cenderung lebih bersifat elitis (teknokratik).
Para ilmuan sosial telah mengkritik kecenderungan-kecenderungan di atas. Namun demikian,betapapun usaha itu dilakukan, mereka juga tak dapatmenolaknya.Apa yang kemudian dapat dilakukan adalah mentransformasikannya, mengubah elemen-elemen distortifnya dari dalamdan memperbaikinya. Maka bila dengan berani kita menyatakan bahwa spirit pesantren mentransformasi universitas-universitas, perguruan tinggi-perguruan tinggi (sebagaimana kita tahu universitas, dan juga negara, adalah institusi modern), maka hal itu berarti suatu usaha yang dilakukan untuk tujuan yang dimaksud.
Kritik yang mendasar juga banyak dilontarkan terhadap wacana modernisme yang mau “menaklukkan” kehidupan dengan cara menciptakan pembelahan sosial dalam bentuk dikotomi-dikotomikonseptual yang sifatnya generik. Misalnya dikotomi “modern vs traditional”, “sekuler vs relijius”, “liberal vs illiberal” dan seterusnya, yang dalam episteme dominan pihak pertama mengklaim secara sepihak sebagai puncak kemajuan dan simbol keunggulan nilai, dan sementara yang terakhir adalah simbol keterbelakangan, kekunoan bahkan kedunguan.
Seperti sudah kita ketahui, suatu tindak penamaan (the act of naming) macam konstruksi dikotomis seperti itu dapat merupakan suatu tricky game. Sedemikian rupa ia bila diawetkan berpotensi mendegradasi kemampuan kita sendiri untuk mengenali sesuatu atau seseorang yang berada diantara dua kutub berlawanan tersebut. Merekapunya sikap modern sekaligus tradisional, atau mereka mengaku relijius tapi sebagian prakteknya bersifat sekular, atau juga sebaliknya.
Mereka yang “in between” itu bisa jadi merupakan “silent majority” (masyarakat kebanyakan yang diam) dalam kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Jumlah mereka bisa berjuta-juta orang yangironisnya tak terkenali bahkan tak terpikirkan gara-gara pengkutuban dikotomis ataupun trikotomis. Dari segi jumlah merekadapat bertambah dan mungkin juga semakin berkurang seiring dengan dinamika yang berkembang di masyarakat.
Oleh karena itu, betapapun sulit menghindar dari tricky game konseptual macam diatas, kiranya penting artinya mendengarkan saran umum agar kita tidak terperangkap dalam kategori-kategori “di atas kertas”.Kita harus merdeka, sebagaimana ungkapan Kiai Abdurrahman Wahid, dalam membuat pengertian-pengertian kita sendiri tentang arti sebuah katadalam gelapnya Misteri Kata-Kata (2010). Dalam konteks tulisan ini berarti suatu doronganuntuk terlibat dan membuka percakapan langsung dengan “silent majority”(masyarakat kebanyakan yang diam) yang tak ternamai dalam kutub dikotomis, yang dapat diduga pula merupakan penghuni sektor-sektor sosial yang termarginalkandan yang suaranya tak ter(di)dengar.
Percakapan (conversation, berbeda dari discourse) dilakukan demi jalannya dialog yang kaya, dari hati ke hati, menembus yang “diam”. Sebuah ruang percakapan yang tidak terperangkap oleh pandangan dunia yang diilmiahkan secara sempit (a narrow scientised-worldview) beserta matriks bahasa pendukungnya. Dialog itu terkoneksi dengan pengalaman, pandangan dunia, perasaan, keluh kesah, harapanserta “diam”-nya masyarakat sehari-hari; ia yang juga tidak dibatasi oleh pengalamannya orang-orang yang urusannya berpikir dan fasih berbahasa tulis saja.
Seni mendengarkan (art of listening), pada akhirnya, semakin dibutuhkan. Universitas lalu kian terkoneksi dengan kebutuhan sebenarnya masyarakat kebanyakan. Pendidikan menjadi arena pemerdekaan. Selamat Hari Santri Nasional. (bersambung)
Mh Nurul Huda, Dosen Program Studi Sosiologi Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Indonesia Jakarta.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Inilah Obat bagi Jiwa yang Hampa dan Kering
2
Khutbah Jumat: Bahaya Tamak dan Keutamaan Mensyukuri Nikmat
3
Khutbah Jumat: Belajar dari Pohon Kurma dan Kelapa untuk Jadi Muslim Kuat dan Bermanfaat
4
PBNU Tata Ulang Aset Nahdlatul Ulama Mulai dari Sekolah, Rumah Sakit, hingga Saham
5
Kontroversi MAN 1 Tegal: Keluarkan Siswi Juara Renang dari Sekolah
6
Ekologi vs Ekstraksi: Beberapa Putusan Munas NU untuk Lindungi Alam
Terkini
Lihat Semua