Opini

Tuma’ninah ala Bangjo

NU Online  ·  Jumat, 30 Agustus 2013 | 04:01 WIB

"Tuma’ninah" atau diam sejenak tentunya sudah tidak asing lagi bagi kaum muslim. Ia termasuk salah satu rukun shalat, bahkan kerap disiratkan sebagai kunci meraih kehusyu’an dalam menjalankan ibadah terpenting ini.<>

Dalam sebuah riwayat Imam Ahmad disebutkan “Maka tegakkanlah punggungmu hingga tulang tulangmu kembali seperti (semula).” Menurut riwayat Ahmad dan ibnu hibban, “Sehingga engkau tenang berdiri (mu).” 

Tuma’ninah atau meneng dalam istilah Jawanya adalah ketenangan dan jeda dalam melakukan gerakan pada shalat supaya kita dapat mengontrol konsentrasi dan hati kita kepada apa yang kita kerjakan.

Seringkali hal yang mungkin remeh ini di tinggalkan begitu saja oleh orang muslim karena di desak waktu dan mungkin juga karena kebiasaan. Padahal shalat adalah salah satu jembatan penghubung antara orang muslim dengan Allah, ketika sebuah ketenangan tidak tercapai maka akan berakibat fatal dalam ibadah seseorang.

Seperti halnya tuma’ninah dalam shalat, tuma’ninah dalam menggunakan jalan juga sangat penting. Sering dijumpai kecelakaan di perlintasan kereta api karena faktor ketergesaan pengemudi sehingga menerobos rambu dan berakibat melayangnya nyawa.

Para pengguna jalan tentunya juga tidak asing dengan traffic light atau lampu Bangjo. Hijau : jalan, Kuning : waspada/ siap, sedangkan Merah : berhenti.

Sebelum lampu hijau atau merah menyala pastilah lampu kuning terlebih dahulu menyala. Lampu kuning ini dapat diartikan sebagai tuma’ninahnya jalan.

Ketika dalam perjalanan kita dapat menegakkan punggung kita yang terasa pegal karena posisi duduk di motor atau mobil terlalu membungkuk. Selain untuk merenggangkan tulang tulang, ketika berhenti kita juga bisa mengatur kembali konsentrasi perjalanan kita, sehingga fokus tetap jadi yang utama.

Setelah waktu lampu merah telah habis kita akan menjumpai lampu kuning yang berarti adalah aba-aba untuk waspada / bersiap kembali jalan, dan kita dapat meneruskan perjalanan dengan kondisi fisik serta psikis yang telah terkendali.

Berhenti sejenak untuk merenggangkan tulang dan menenanggkan hati adalah hal terpenting dalam kita menjalani ibadah dan hidup. Karena ketika kita meremehkan “Tuma’ninah “ hal yang paling fatal lahyang menjadi taruhannya.

 

Abud
Mahasiswa UT S1 Perpustakaan, Aktif di PC IPNU Kudus