Opini

Teror Bom dan Ancaman Pilar Kebangsaan

NU Online  ·  Senin, 26 September 2011 | 05:38 WIB

Oleh. Mohammad Takdir Ilahi


Indonesia kembali dikejutkan dengan aksi bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepuluh (GBIS) Kepunton, Solo, Ahad (25/9/2011). Teror bom Solo seolah menunjukkan bahwa Indonesia masih belum mampu menumpas jaringan teroris yang menggangu keamanan dan ketenangan masyarakat luas, apalagi dilakukan saat umat sedang melaksanakan ibadah.
<>
Bom Solo tidak saja mengancam keselamatan masyarakat yang sedang beribadah, tetapi juga menjadi ujian bagi pluralitas bangsa yang terus terkoyak-koyak. Aksi yang diduga sebagai bom bunuh diri ini jelas merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangsa ini sebaiknya tak sekedar mengutuk keras aksi tersebut, tapi harus ada tindakan korektif dan preventif dari pemerintah.

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto mengatakan aksi bom bunuh diri ini mengakibatkan dua orang meninggal yang diindikasikan salah satunya sebagai pelaku bom bunuh diri yang meninggal di tempat kejadian perkara sedangkan satu lagi meninggal di rumah sakit. Aksi bom bunuh diri yang terjadi sekitar pukul 10:55 WIB atau menjelang pelaksanaan doa berkat di GBIS memiliki dimensi yang tidak sederhana khususnya kaitannya dengan relasi antaragama di Indonesia. Dengan kata lain, tindakan aksi bom bunuh diri ini memiliki nilai provokasi yang tidak sederhana.

Semakin meluasnya jaringan terorisme di Indonesia, membuat pemerintah harus melakukan tindakan tegas dalam menumpas pelaku teror yang meresahkan masyarakat. Ini karena, teror bom masih merupakan ancaman serius dan ada indikasi aksi ini belum berakhir. Apa pun motif dan alasan pelaku, tidak ada yang bisa dibenarkan dari sebuah tindak kekerasan dalam bentuk dan atas nama apa pun juga.Pendek kata, bangsa ini mengutuk keras aksi tak berperikemanusiaan dengan meledakan tempat ibadah.

Bom yang meledak saat pelaksanaan ibadah, patut diduga dilakukan oleh sekelompok teroris yang hendak mengacaukan keamanan dan ketenangan rakyat Indonesia. Dalam konteks ini, keberadaan teroris di Indonesia, agaknya sudah menyebar luas ke lingkungan masyarakat luas, sehingga kita harus tetap waspada di mana pun dan kapan pun kita berada.

Saya mencermati tindakan teror dengan menggunakan bom peledak, hingga kini masih menjadi ancaman serius karena masih banyak anggota teroris yang belum tertangkap. Bahkan, banyak pengamat terorisme yang mengatakan bahwa bom bunuh diri yang terjadi di Solo serupa dengan apa yang terjadi di Cirebon pada awal tahun ini.

Ancaman Pilar Kebangsaan

Sebagai generasi muda, saya sangat prihatin dengan merebaknya aksi teror yang memberikan rasa tidak aman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak heran bila Bom Solo tidak hanya sekedar menjadi peringatan bagi keamanan dan ketenangan masyarakat luas, melainkan bisa mengancam tegaknya pilar kebangsaan di negeri kita tercinta. Di samping itu, bom Solo tak ubahnya menjadi kritik bagi seluruh bangsa ini yang belakangan memang cenderung mengabaikan empat pilar bangsa. Bahkan, seringkali pemimpin bangsa ini hanya berbasa-basi dalam soal memelihara empat pilar bangsa, tak kecuali soal pluralitas bangsa yang sedang terkoyak-koyak.

Para pemegang kebijakan negeri ini justru banyak menampilkan sebagai pihak yang sibuk dengan urusan domestik. Dampaknya persoalan asasi seperti pluralitas kebangsaan hanya menjadi gincu pemanis binir semata. Maka, bom Solo sebaiknya tidak sekedar mengutuk tapi koreksi bersama bangsa ini sembari menegakkan hukum atas tindakan biadab itu.

Pada titik inilah, aksi teror bom yang meledakkan Gereja Bethel Injil Sepuluh (GBIS) Kepunton menjadi semacam gurita bagi proses demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia. Betapa tidak, gejolak dan guncangan yang diakibatkan ledakan bom tersebut bisa meruntuhkan mental bangsa yang sedang terpuruk. Dengan kata lain, aksi teroris yang tidak bermoral, patut mendapatkan reaksi keras dari setiap orang, karena tidak ada satu pun agama yang menjustifikasi perbuatan biadab yang merenggut nyawa orang tak berdosa.

Hampir bisa dipastikan bahwa tindakan kekerasan bernuansa agama yang terjadi di negeri ini tidak lepas dari doktrin dan pemahaman yang keliru tentang substansi ajaran agama. Padahal, kita sudah sering menggelar konferensi dunia mengenai agama dan perdamaian (World Conference on Religion and Peace), namun ternyata belum mampu membangun iman yang dapat menyejukkan dan mengurangi semakin menguatnya aksi teror di negeri kita tercinta. Bahkan, isu-isu kekerasan berbau SARA di lingkungan masyarakat yang beragama, termasuk di Indonesia semakin mempertebal terjadinya potensi konflik yang lebih besar.

Terlepas dari ancaman teror bom yang belakang marak terjadi, saya sangat prihatin dengan semangat persaudaraan dan persatuan yang kita miliki sebagai negeri Bhinneka Tunggal Ika. Sebuah negeri yang menjunjung tinggi kemajemukan dan pluralitas, tetapi justru mengabaikan semangat toleransi yang sejatinya menjadi platform kita bersama.

Kita bisa mengandaikan bahwa kemajemukan negeri ini semakin memperlebar potensi konflik dan eskalase kekerasan yang bernuansa agama. Bahkan, agama seolah-olah dijadikan tameng untuk menghalalkan tindakan aksi teror. Menurut St. Sunardi, dalam masyarakat sekarang ini, tidak hanya terjadi eskalase kekerasan, melainkan juga sofistikasi kekerasan (melalui proses budaya)- bahkan agamanisasi kekerasan.

Itulah sebabnya, dalam mencegah semakin meluasnya konflik atas nama agama, semua pihak perlu bersatu untuk melawan tindakan kekerasan yang melanggar HAM dan martabat kita sebagai homo religion. Kita perlu memikirkan secara serius cara-cara yang paling tepat untuk merintis kultur anti-kekerasan yang bisa saja meruntuhkan fondasi NKRI yang telah kita bangun. Semoga, aksi teror di negeri ini dapat dihilangkan dengan mengedepankan semangat persaudaraan dan persatuan demi mempertahankan kemajemukan tanpa kekerasan

Mohammad Takdir Ilahi, Alumnus UIN Sunan Kalijaga dan Staf Riset The Mukti Ali Institute Yogyakarta.