Opini

Tantangan Indonesia Emas: Refleksi 76 Tahun Kemerdekaan

Rab, 18 Agustus 2021 | 12:45 WIB

Tantangan Indonesia Emas: Refleksi 76 Tahun Kemerdekaan

Pemerintah diharapkan dapat membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya, mengadakan pelatihan kerja, dan juga membuka investasi karena sumber daya alam yang melimpah di dalam negeri belum dapat diolah sendiri tanpa melibatkan penanam modal.

Oleh Hadi Susiono

Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) kali kedua masa pemerintahan Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin usai sudah dihelat pada 16 Agustus 2021, dengan kehadiran sederetan tamu undangan, baik yang hadir secara fisik atau pun yang mengikutinya secara virtual, mulai dari Presiden ke-5, Presiden ke-6, Wakil Presiden ke-6, Wakil Presiden ke-9, Wakil Presiden ke-10 dan 12, serta Wakil Presiden ke-11.


Di samping itu, hadir juga para petinggi negara seperti Ketua DPR, Ketua DPD, Ketua BPK, Ketua MA, Ketua MK dan Ketua KY serta wakil lembaga-lembaga lainnya, perwakilan negara-negara sahabat, para anggota kabinet, Panglima TNI, Kapolri hingga masyarakat umum. Sebuah keakraban nasional yang harus terus dijaga.


Dalam sambutannya, Presiden RI periode 2019-2024, Joko Widodo mengungkapkan langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan agar Indonesia keluar dari jeratan Pandemi Covid-19 yang masih melanda Indonesia dan menjadi negara maju.


Tantangan Indonesia Emas


Ingatan kita tentu masih terngiyang kepada janji-janji kampanye politik Presiden Jokowi dan Wakilnya dalam debat Presiden tahun 2019 lalu. Pun dalam pidato Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Terpilih, Presiden Jokowi mempunyai target yang hendak dicapai bersama All the President’s Men dalam menakhodai bahtera Indonesia selama lima tahun ke depan menuju Indonesia maju.

 

Terdapat lima target kerja yang hendak dicapai pemerintahan Jokowi yakni pembangunan sumber daya manusia, pembangunan infrastruktur, penyederhanaan dan pemangkasan regulasi, penyederhanaan birokrasi dan transformasi ekonomi. Kelima skala prioritas itu merupakan landas pacu, runway agar Indonesia dapat tinggal landas menjadi negara maju. 


Negara maju, developed country, adalah sebuah negara yang warganya dapat menikmati standar hidup yang relatif tinggi melalui teknologi tinggi dan ekonomi yang merata. Di samping itu, negara maju mesti memiliki Gross Domestic Product (GDP)/ Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita per tahun yang tinggi karena pada dasarnya GDP adalah total nilai moneter atau pasar dari semua barang jadi dan jasa yang diproduksi dalam suatu negara dalam periode tertentu.

 

Sebagian ekonom menilai bahwa suatu negara dapat disebut maju jika penghasilan per kapita per tahun adalah paling sedikit 25.000 Dolar Amerika. Meskipun demikian, negara maju lainnya mematok GDP mereka adalah 40.000 Dolar Amerika atau lebih tinggi. Sedangkan GDP Indonesia tahun 2019 masih jauh dari batas ambang minimal negara negara maju. 


Namun, berdasarkan proyeksi jangka panjang yang dirilis Standard Chartered Plc, menyatakan bahwa 7 dari 10 negara berkembang akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar di dunia pada tahun 2030. Dan, Indonesia masuk urutan ke-4 di bawah Amerika Serikat, India serta China di nomor pertama. Sedangkan, posisi ke-5 adalah Turki, disusul Brasil, Mesir, Rusia, Jepang, dan Jerman. 


Di samping GDP, angka pengangguran harus rendah. Pemerintah diharapkan dapat membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya, mengadakan pelatihan kerja, dan juga membuka investasi karena sumber daya alam yang melimpah di dalam negeri belum dapat diolah sendiri tanpa melibatkan penanam modal.


Jika kita analisis pemerintahan Jokowi setahun setengah ini, pemerintahan benar-benar fokus pada janji-janji politiknya. Meskipun badai pandemi Covid-19 melanda dunia, termasuk Indonesia dan memaksa pemerintah menggunakan pendekatan extraordinary dalam menghadapi pandemi mulai dari pemberlakuan PSBB hingga PPKM darurat, walaupun terkesan kebijakannya kurang konsisten dan lamban karena memang pandemi ini sungguh mengejutkan dan membuat banyak negara, bahkan negara maju gagap dan meraba-raba dalam mengambil kebijakan dalam menangani wabah global yang melanda 113 negara, menjangkiti 139.226.143 orang dengan korban jiwa 2.989.984 orang (WHO, 16/8/2021)


Persatuan Arus Bawah


Untuk mencapai impian besar Indonesia menjadi negara maju, ada syarat lain yang tak kalah pentingnya yaitu persatuan Indonesia. Berbagai komponen bangsa pasca pemilihan presiden yang berdarah-darah, terus menyisakan residu kebencian, kepedihan, kekecewaan serta friksi antar sesama anak kandung Indonesia. Langkah untuk menggandeng rival politik yang dilakukan Presiden Jokowi jelas, adalah untuk memberikan keteduhan dan pembelajaran politik bagi masyarakat akar rumput yang sempat terbakar.


Persatuan Indonesia yang ditunjukkan oleh para elite politik akan sangat mempengaruhi masyarakat sehingga lambat laun mereka yang fanatik terhadap figur tertentu, akan tersadar bahwa tujuan perlombaan politik adalah untuk kepentingan nasional Indonesia, national interest. Pengapresiasian atas dihilangkannya sebutan kecebong dan kampret sebagai akibat polarisasi pendukung calon presiden, sudah sepantasnya dilakukan karena mereka yang didukung telah bersatu, bahu membahu, dan bekerja sama dalam satu pemerintahan. Tak hanya itu saja, hendaknya kehidupan berbangsa dan bernegara berjalan normal seperti biasa, business as usual, meskipun kita sedang dilanda pendemi Covid-19.


Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang santun, sumeh, dan tak emosian apalagi mudah terprovokasi. Keakuran akar rumput adalah modal sosial yang sangat besar untuk membangun dan mendukung jalannya program pemerintah ke depan. Tanpa dukungan yang ditunjukkan dengan keakuran ini, mustahil pemerintah dapat mengoptimalkan kerja dan hasil yang hendak dicapai. Masyarakat akar rumput adalah wong cilik membutuhkan bukan hanya care melainkan role model dari para elite.


Perilaku sederhana dan tindakan anti-koruptif adalah dua hal yang sangat penting dalam berbangsa. Betapa tidak, wong cilik sudah muak disuguhi tontonan perilaku kemewahan para pemimpin, apalagi jika kemewahan tersebut, didapat dari korupsi uang negara, di tengah keadaan perekonomian yang menghimpit akibat dampak Covid-19. Perilaku hedonis hanya akan memercikkan bara panas pada emosi wong cilik bersumbu pendek. Sehingga pada akhirnya akan menimbulkan mosi tidak percaya, untrust dari rakyat. Sangat berbahaya!


Asas kepatutan dan kepantasan perilaku publik yang ditunjukkan oleh para elit harus benar-benar di-show off-kan. Pertanyaan ‘apakah saya pantas jika’, perlu digaungkan di telinga para pejabat publik. Apakah pantas jika saya memakai jam tangan merek Rolex, Ulysee Nardin, hingga Vacheron Constantin, yang bertarif lebih dari 1,5 Milyar, ketika kunjungan ke wilayah terdalam, terluar dan terisolir? Hal ini, juga berlaku terhadap pemakaian barang mewah lainnya.


Perhatian dan dorongan yang besar mesti kita berikan kepada pemerintahan Presiden Jokowi-Kiai Ma’ruf Amin untuk lima tahun ke depan guna menyongsong Indonesia Emas 2045, yang bertepatan dengan satu abad Indonesia merdeka dengan menggenggam predikat Indonesia Maju, karena sumber daya manusia selalu kompetitif dan unggul.

 

Melalui tema besar kemerdekaan Republik Indonesia ke-75 Tahun 2020, yakni Indonesia Maju, dan tema peringatan hari ulang tahun ke-76 tahun 2021 “Indonesia Tangguh Indonesia Tumbuh”, sudah sepantasnya kita singsingkan lengan baju, menyatukan langkah, dan gerak seluruh komponen anak negeri untuk satu tujuan, Indonesia Maju. Perdebatan yang destruktif tentang Pancasila sebagai dasar dan pondasi Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dihentikan. Karena Pancasila adalah konsensus bersama anak bangsa, para pendiri negara.


Tugas kita sebagai generasi khalaf - kini, adalah mengisi kemerdekaan yang sudah berusia lanjut itu. Jangan malah berkeinginan mengubah Pancasila dengan dasar-dasar yang lain. Apakah kita lupa, berapa ratus ribu nyawa melayang dalam mengangkat senjata dalam mengusir penjajah dan pencarian apa yang kemudian disebut kemerdekaan? Berapa ratus ribu anak yang terlantar dan menjadi yatim piatu demi menggapai kemerdekaan? Terbayangkah lautan darah yang tumpah demi merebut kemerdekaan? Nah, kita?


Akhirnya, merdeka adalah terbebas dari segala belenggu persoalan dasar bangsa dan kebangsaan, sehingga Indonesia dapat berdikari demi menapaki masa depan dengan generasi pengisi kemerdekaan yang berjiwa seperti para pendiri bangsa. Dirgahayu Republik Indonesia ke-76. Indonesia adalah milik kita yang selalu merawat, menjaga, memperbaiki, melestarikan dan juga cinta tanah air dan bangsa, bukan milik mereka yang selalu melakukan hal-hal sebaliknya. Wallahu a’lam bisshawab


Penulis adalah alumnus Pondok Pesantren Al-Khoirot & Sabilillah dan Madrasah Aliyah Nahdlatul Muslimin Kudus-Malang, serta Universitas Diponegoro Semarang