Opini

Subtansi Maulid Nabi

Kam, 22 November 2018 | 17:00 WIB

Oleh Ahmad Halim

Tanggal 20 November 2018 Masehi atau 12 Robiulawal 1440 Hijriyah, umat Islam di dunia merayakan hari kelahiran Nabi Muhamad Shalallahu 'alaihi wassalam. Menurut Ibnu Katsir dalam kitab Tarikh menyebutkan bahwa Raja Irbil (wilayah Irak sekarang) bernama Muzhaffarufin Al-Kaukabri adalah raja pertama yang memperingati Maulid Nabi. Dalam perayaannya ia menyiapkan ribuan kambing dan unta untuk disantap oleh para tamu. Wajar saja karena subtansi dari peringatan Maulid ini adalah rasa kegembiraan, penghormatan, dan meneladani perbuatan serta ucapan Nabi Muhammad dalam menjalani kehidupan sosial di muka bumi ini.

Kisah Nabi Muhammad Saw dengan pengemis buta Yahudi patut kita renungkan dan dengungkan kembali, di mana pengemis buta itu dalam kisahnya selalu mengatakan hal-hal buruk tentang Nabi Muhammad seperti "jauhi Muhammad, dia orang gila, dia pembohong, dia tukang sihir, dan jangan dekati dia." Namun, setiap pagi tanpa pengemis itu sadari, Nabi justru membalasnya dengan kasih sayang dengan selalu membawakan makanan yang lezat, dan menyuapi dengan tangan lembutnya sendiri.

Setelah Nabi meninggal, salah satu sahabat Abu Bakar Ra menggantikannya dalam memberi makan dan menyuapi. Sontak pengemis buta itu protes karena cara menyuapi Abu Bakar berbeda dengan Nabi yang penuh kelembutan, rasa sayang, dan keikhlasan. Mengetahui bahwa yang selama ini adalah Nabi dan sudah wafat, pengemis itu pun akhirnya masuk Islam dan bersyahadat di depan Abu Bakar sambil menangis dan menyesali ucapannya yang selalu menghina dan mengolok-olok Sang Nabi yang ternyata selalu memberikan makanan dan menyuapi dirinya.

Kemudian, hal yang patut kita renungkan dan dengungkan kembali adalah kisah Nabi Muhammad pada saat Islam berjaya atau lebih dikenal dengan peristiwa Fathul Makkah, di mana Nabi Muhammad beserta 10.000 pasukan umat Islam berhasil menguasai kota Makkah. Nabi yang pernah dihina, disakiti, dituduh sebagai penyihir, bahkan sampai mau dibunuh para pemuda Makkah, pada saat itu seharusnya dapat dengan mudah membalas dendam, tapi  itu tidak dilakukannya. Nabi justru memilih memaafkan dan membebaskan mereka yang pernah menghinanya.

Nabi Muhammad Saw memang menjadi suri tauladan sepanjang masa bagi seluruh manusia di alam semesta ini. Kebaikan hatinya seperti apa yang dikarang oleh seorang ulama besar dan ahli hadits yakni Imam Wajihuddin Abdur Rahman bin Muhammad bin Umar bin Ali bin Yusuf bin Ahmad bin Umarad-Dibai esy-Syaibani al-Yamani az-zabidi asy-Syafi’i dalam syair-syair yang dibukukan atau lebih dikenal Maulid Diba’i yang mengatakan, "Bila disakiti beliau mengampuni dan tidak balas dendam/bila dihina beliau tidak menjawab hanya diam/Allah mengangkatnya ke martabat yang lebih mulia dan tinggi".

Di bait yang lain Abdur Rahman Diba’i mengatakan “Budi pekertinya sesuai Al-Qur’an/bertabiat pengampun/pemberi nasihat manusia/luas dalam berbuat kebajikan."

Pemilu dan Keteladanan Nabi

Memasuki tahun politik atau Pemilihan Umum serentak anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tahun 2019 serta Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, harus kita akui bahwa keteladanan Nabi Muhammad Saw telah ditanggalkan. Rakyat Indonesia mayoritas menjadi terkotak-kotak karena perbedaan pilihan.

Ada yang mendukung calon presiden secara membabi buta seolah-olah tak ada satu pun dosa yang diperbuat dan tidak terima jika calonnya dikritisi. Ada yang memfitnah lawan karena perbedaan pilihan calon presiden, dan fitnah itu tanpa batas, tanpa memperhatikan rambu-rambu agama, padahal sama-sama umat Islam. Agama dibajak untuk kepentingan sesaat. Hoaks dilegalkan atas nama agama. Hal tersebut sangatlah tidak dibenarkan dalam ajaran agama Islam atau agama mana pun.

Di bulan Maulid ini, menjadi sangat penting bagi kita dalam meneladani sikap, perilaku dan ucapan Nabi Muhammad Saw dalam menyebarkan agama Islam dengan cara wama arsalnaka illa rahmatan lil alamin. Menebar kasih sayang, hidup damai, dan toleran kepada seru sekalian alam. Kata Nabi, “Rahmatilah (sayangilah) yang ada di bumi, niscaya kalian akan dirahmati oleh Dzat yang ada di langit." Dalam beberapa riwayat Imam Bukhari mengatakan, "Kamu tidak bisa menjadi Muslim sejati, sampai kamu mendoakan orang lain apa yang ingin kamu dapatkan." Di sini Nabi ingin menyampaikan bahwa pentingnya hablumminannas (hubungan baik antarmanusia). 

Ini sangatlah penting untuk digarisbawahi, sebab bangsa Indonesia adalah bangsa yang beraneka ragam suku, bahasa, dan agama. Kita adalah masyarakat heterogen. Melalui Maulid Nabi ini, kita sebagai umat Islam memperoleh gambaran tentang hakikat beragama secara paripurna yang tercermin dalam tindakan, perilaku dan ucapan Nabi Muhammad Saw.

Dalam menjalankan kehidupan sebagai makhluk sosial Nabi menjadi suri tauladan sepanjang masa. Contoh sebagai seorang Muslim, ia adalah seorang yang taat kepada Tuhannya. Sebagai penyebar agama Islam, ia adalah seorang yang tak pernah lelah mempromosikan Islam yang rahmatan lil alamin. Sebagai pemimpin, ia adalah sosok yang cerdas dan bijaksana. Sebagai seorang kepala rumah tangga ia adalah orang yang memperlakukan keluarga dengan kelembutan, dan berlaku adil dengan isteri-isterinya.

Semoga dalam bulan Maulid ini kita bukan hanya sekedar memperingati dengan bacaan Maulid Diba’i ataupun maulid Barzanji dengan berdiri dan menangis. Akan tetapi, bagaimana cahaya-cahaya Rasulullah merasuk ke dalam qolbu (hati) kita, sehingga kita dapat meniru dan meneladani perbuatan serta ucapannya sebagai makhluk sempurna. Nabi tak pernah mencaci. Nabi tak pernah membenci. Semoga dengan mengikuti sifat baik Nabi (amanah, siddiq, tabligh, dan fathanah), dan diterapkan dalam bersosial di mana pun, kita mendapat jaminan safaat di hari yaumil hisab nanti.

Allahumma sohlli ala sayyidina muhammad wa ala ali sayyidina muhammad.

Penulis adalah kader Ansor Jakarta Utara.