Opini

Spiritualitas dalam “Karya Hidup” Zainal Arifin Thoha

NU Online  ·  Jumat, 23 Maret 2007 | 06:11 WIB

Oleh Jamal Ma’mur Asmani

Rabu, 14 Maret 2007, pukul 22.00 WIB. Seorang sastrawan kondang Yogyakarta kelahiran Kediri, Zainal Arifin Thoha, menghembuskan nafas terakhir. Penulis berbagai buku, puisi, dan novel itu menderita penyakit jantung yang tak tertolong. Kiai muda yang sangat produktif menulis di media masa sejak kuliah itu meninggalkan keluarga tercinta, istri Maya Veri Oktavia, dan empat anak, Vina Rohmatul Ummah, Muhammad Hasan Turki, Ahmad Hafid Mujtaba, dan Syifana Nur Madinah, para santri, mahasiswa, jama’ah pengajian, kawan setia, pembaca setia buku-bukunya, menuju kehadirat Allah SWT.

<>

Penulis pertama kali berjumpa dengan kiai yang akrab dipanggil Gus Zainal (Allahu Yarham) ketika ada acara bedah novel santri di Aula Pondok Pesantren Tebuireng Jombang tahun 2001. Pada waktu itu, Gus Zainal memberikan motivasi besar kepada para santri untuk mulai berlatih menulis, mengikuti sejak ulama-ulama kita yang telah meninggalkan jutaan kitab sebagai peninggalan yang sangat berharga. Tulisan dalam bentuk apapun, artikel, essai, puisi, novel, buku, kitab, dan apapun namanya sangat berguna bagi generasi sesudahnya, ia senantiasa kekal abadi, tidak lekang dimakan usia. Imam Ghozali berkata “Kalau engkau bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis.” (Zaenal Arifin Thoha, Aku Menulis Maka Aku Ada, Kutub, 2005).

Gus Zaenal telah membuktikan pesan Imam Ghozali tersebut. Lewat perjuangan keras dan semangat tinggi tanpa kenal lelah, Gus Zaenal Zainal telah sukses mengabadikan pemikirannnya dalam banyak karya, Diantaranya, dalam bentuk antologi puisi, Ketakutan, Musium, Sendyakala, Risalah badai, Rumpun Bambu, Tamansari, Embun Tajalli, Sembilan Penyair Muda Indonesia, antologi puisi tunggal, Air Mata Hati, Harakat Pertemuan, Buku umum, Membangun Budaya Kerakyatan : Kepemimpinan Gus Dur dan Gerakan Sosial NU, Kenyelenehan Gus Dur, Gugatan Kaum Muda NU dan Tantangan Kebudayaan, Runtuhnya Singgasana Kiai, NU, Pesantren dan Kekuasaan, Pencarian Tak Kunjung Usai, Jagadnya Gus Dur, Demokrasi, Kemanusiaan dan Pribumisasi Islam, Korupsi dalam Perspektif Agama-agama:Panduan untuk Pemuka Umat, Dibalik Bencana-bencana, 3M: Muda Muslim Mandiri, 3B: Berusaha Berhasil Barakah, terjemahan, Jiwa-jiwa Auliya’, Mengenal cinta menangkal bahaya, Nasehat penting bagi para pelajar dari Hadratussyekh Hasyim Asy’ari, Atas Segala Rahasia, Orang-orang Ruhani, dan lain-lain.

Orangnya yang enak diajak ngobrol, ramah, humoris, tidak membedakan latar belakang teman bicaranya, dan selalu ringan tangan membantu kesusahan dan kesedihan orang lain, membuatnya selalu terkenang selamanya dalam sanubari orang-orang yang mengenal kepribadiannya. Saya sendiri, sangat terkejut mendengar kematian orang yang saya kagumi ini secara mendadak. Ketika kami undang ke Pati untuk acara bedah buku terbitan Kutub yang dikelolanya bersama para santri, beliau datang dengan tangan terbuka, tidak minta pelayanan apapun, menerima keterbatasan panitia, dan selalu membuka senyum.

Ketika mampir di Gubug reot saya, pesan yang selalu saya ingat kata-kata Gus Zaenal dengan penuh perhatian ‘orang kalau ingin tetap dinamis-produktif-kontemplatif, harus membaca buku-buku sastra’. Pesan ini walaupun sampai sekarang belum saya laksanakan, tapi menjadi spirit produktifitas menulis saya sebagai media mengabadikan konsep dan pemikiran. Orang akan lebih tercengang ketika melihat Gus Zaenal langsung di tempat dimana ia membesarkan anak-anaknya dan para santri yang menimba ilmu darinya.
 
Para santri yang mondok di pondoknya yang diberi nama Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari, adalah mereka yang berasal dari keluarga yang tidak mampu. Para santri diajari bagaimana cara hidup mandiri, lepas dari orang tuanya, dengan menulis di media masa, menjual koran, buku, mengelola penerbitan, dan usaha lainnya. Perjuangannya membesarkan para santri ini adalah refleksi dari kehidupannya semasa menginjakkan kaki di Yogyakarta yang tanpa bantuan orang tuanya, ia berani hidup mandiri, untuk hidup dan membiayai kuliah di Yogyakarta. Menulis adalah salah satu atau profesi terbesar yang menghidupinya selama di Yogyakarta ini.

Saya termasuk orang yang menitipkan saudara kandung saya, Muhammadun AS, untuk ngangsu kaweruh (belajar) ditempatnya. Alhamdulillah ada kemajuan besar yang saya lihat dari adik saya setelah dididik oleh Gus Zaenal ini. Sewaktu pulang ke Pati, sering saya tanya soal kebutuhan hidup harian, dengan agak berat, adik saya mengatakan, Gus Zaenal yang selalu menutup kebutuhan hidup para santrinya, ketika para santri tidak punya beras, maka Gus Zaenal yang membelikannya. Begitu juga dengan uang sewaan yang sekarang menjadi lokasi pondok, tempat para santri belajar, bersendau gurau, dan istirahat.

Perjuangan Gus Zaenal sudah menampakkan sukses yang gemilang. Pondok pesantren Hasyim Asy’ari yang sebelumnya dipandang remeh, karena bangunannya yang jelek dan kumuh, santrinya yang tidak dari kalangan orang berada, saat ini muncul di Yogyakarta sebagai pondok yang sukses melahirkan penulis-penulis muda yang selalu menghiasi media masa, misalnya nama Gugun El-Guyani, Muhammadun As, dan lain-lain.

Kegigihan Gus Zaenal ini juga didukung oleh kekuatan spiritual yang mendalam. Tasawuf (ilmu untuk membersihkan hati) sangat mempengaruhi karakter, kepribadian, dan sepak terjangnya. Sebagai seorang muballigh yang selalu mengisi ceramah di banyak tempat, pedesaan, rasio, instansi pemerintah dan swasta, membawanya pada kesadaran spiritual yang dalam. Hadits Nabi ‘la yu’minu ahadukum hatta yuhibba li akhihi ma yuhibba linafsihi’, tidak dibilang sempurna iman seseorang dari kamu semua, sebelum ia mampu mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri, betul-betul dipraktekkan dalam kehidupannya. Beliau memang seorang humanis-spiritual. Orang yang mudah tersentuh oleh penderitaan dan kesusahan orang lain dan berjuang untuk membahagiakan orang tersebut. Penghayatannya yang mendalam akan ajaran agama yang dibawanya sejak kecil membuatnya ringan tangan dalam melakukan kerja-kerja sosial-humanistik yang sarat pahala.

Keluarga, masyarakat, santri, mahasiswa, teman, pembaca buku-bukumu, dan semua orang yang mengerti karakter dan kepribadianmu selalu mengenang perjuanganmu dan mendo’akan semoga semua jasa-jasamu diterima oleh Allah Swt., dibalas dengan balasan yang setimpal, dan semoga selalu dalam limpahan karunia dan ridlo-Nya, amien.

Jamal Ma’mur Asmani
Teman sekaligus murid Gus Zaenal Arifin Thoha