Opini REFLEKSI PERINGATAN ISRA’ MI’RAJ

Spirit Membangun Moralitas Bangsa

NU Online  ·  Selasa, 13 Juli 2010 | 02:45 WIB

Oleh F. Hasan

27 Rajab tahun 620 M silam, Muhammad sebagai rasul menceritakan kepada para sahabat, bahwa ia telah menempuh perjalanan dari Masjidil Haram (Makkah) ke Masjidil Aqsa (Palestin), dan naik ke langit yang tujuh hanya dalam satu malam. Ini sebuah kabar menakjubkan serta merupakan awal pencerahan dalam dunia Islam. Malam inspiratif yang sanggup menggugah kesadaran dan menantang intelektualitas serta kreatifitas manusia, sekaligus sebagai tingkat pengukur kecerdasan umat manusia secara luar dalam. Peristiwa tersebut oleh Umat Islam diperingati sebagai Isra mikraj. Kejadian luar biasa itu membuka pintu gerbang pencerahan dunia dan prosesnya mengawal manusia menuju kemajuan peradaban.

Secara implisit perjalanan jarak jauh yang dialami oleh nabi, membawa Sahabat pada garis rasionalitas tingkat tinggi yang mengkomparasikan daya pikiran akal dan hati nurani untuk mampu menerimanya dengan sepenuh hati. Ini pertama dialami oleh sahabat Abu Bakar, ketika mendengarkan tutur nabi tentang perjalanan panjang melewati batas batas langit hanya dalam tempo satu malam, hati kecilnya tidak ada ruang untuk menolak seperti yang dilakukan oleh Abu Jahal dan kawan kawannya. Abu Bakar sebagai penerus kepemimpinan nabi, sebelumnya telah mampu membaca apa yang ada di sekelilingnya dilihat melalui dua aspek yaitu yang nyata dilihat dengan mata zahir dan yang batin dilihat dengan mata hati.<>

Menurut Ibnu Athoillah dalam Al-Hikam,Elemen alam dan sekalian gerak peristiwanya, adalah perutusan yang membawa kabar tentang kekuasaan Tuhan. Kabar itu tidak didengar telinga atau dilihat dengan mata. Ia adalah kabar batin yang menyentuh jiwa secara khusus. Sentuhan batin pada jiwa itulah yang membuat hati mendengar tanpa telinga, melihat tanpa mata. Hati hanya mengerti setiap perutusan yang disampaikan oleh supranaturalitas kepadanya dan hati menerimanya dengan yakin. Keyakinan itulah yang menurut Thomas Aquinas akan menjadi kunci pada telinga, mata dan akal. Ketika kunci itu telah terbuka, segala suara alam yang didengar, sekalian elemen alam yang dilihat dan seluruh alam maya yang direnungi akan membawa pada kebanaran tentang kekuasaan Tuhan.

Kecerdasan hati seperti yang dimiliki sang Khalifah Pertama, sangat penting untuk dilatih dan diaplikasikan para pemimpin bangsa kita. pasalnya, para pemimpin sekarang yang mendapatkan amanah dari rakyat, belum sepenuh hati memahami suasana keinginan hati rakyat yang terkait dengan kekuasaan Tuhan. Kasus korupsi masih sering membuat layu jiwa dan harapan rakyat. Para pejabat tinggi negara menjadi tertutup mata hatinya karena materi duniawi. Akibatnya, tindak korupsi secara sembunyi ataupun berjamaah mereka lakukan tanpa merasa bersalah. Para pemimpin bangsa harus berani menunjukan kepemimpinan adil, tegas, membela kepentingan rakyat dan menujukan mereka jalan menuju kesejahteraan hidup bersama.

Cita-cita luhur

Perjalanan isra mikraj yang penuh misi dan makna tersebut, telah menuai hasil istimewa yang terbingkai dalam solat lima waktu. Menurut Al Jabiri, Solat sendiri mempunyai dua dimensi tak terpisahkan. Yakni dimensi spiritual yang membimbing manusia memasuki alam kesadaran, bahwa ia hanyalah mahluk lemah yang tidak patut untuk sombong ataupun menang sendiri. Dimensi sosial mengajarkan manusia tentang nilai-nilai adiluhung demi menjadi manusia seutuhnya. Manusia yang berkepribadian utama, berakhlakul karimah, serta memahami setiap hak dan kewajiban dalam hidup berkomunitas.

Peresapan terhadap nilai nilai isra mikraj mampu mendalamkan karakter seorang mengarah pada profesionalisme diri. Dalam konteks Indonesia, kasus korupsi oleh pejabat tinggi yang massif  mengisi berita utama media masa, terjadi karena para pemimpin masih terjebak dalam titik titik butanya sendiri (blinds spot). Bagaimana mungkin untuk keluar dari kemelut korupsi, kalau pemimpin masih terhanyut oleh nafsu dan tidak mau menyelami ajaran moralitas. Para penegak hukum; Polisi, jaksa, hakim yang seharusnya bertanggungjawab menegakkan bendera keadilan dalam mengentaskan problematika masyarakat, malah berkomplot (untuk memperkaya diri sendiri) (Tempo, 20-6-10).

Betapa pilu menyaksikan relitas negatif oleh pemimpin kita, yang perlu dibangun untuk mengembalikan sinergitas kesejahteraan bersama antara pemerintah dengan rakyat adalah, sikap utamanya kejujuran dan saling terbuka, karena sekecil apapun kejahatan terselubung itu pasti akan terkuak juga. Seperti ditulis  J.E. Sahetapy (2010), Para penguasa harus sadar bahwa tidak ada dusta yang bertahan selamanya, demikian pula bahwa kekuasaan hanya semantara.

Ketika praktik Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang merugikan Negara dan hajat orang banyak masih menjadi hobi pejabat dan penguasa, secara langsung mereka telah "berhianat" terhadap bangsa dan Negara. Seorang penghianat lebih berbahaya daripada barisan pasukan tempur yang rela mati. Koruptor yang menggelapkan uang Negara, ia telah merampas kesejahteraan ribuan warga hanya sebatas nafsu untuk memperoleh kemegahan. Seperti kasus korupsi pajak Gayus Tambunan, dana misterius direkening para pejabat Polri. Jika semua itu benar, betapa besar panghianatannya terhadap Negara, ia telah menghacurkan loyalitas publik, mencemarkan nama Indoneisa di mata dunia Internasional.

Isra mikraj sangat tepat menjadi momentum refleksi bagi segenap pemerintah. Bagaimana menempatkan kembali moralitas dan profesionalitas sebagai seorang pemimpin yang bermartabat. Pemimpin yang telah mengerti pesan sosial isra mikraj, akan bersemi dalam jiwanya amanat memimpin, disiplin dan rasa sosial yang kompleks, serta keluar dari lingkaran KKN dan menjadi negara yang berperadaban luhur. Seperti termaktub dalam al Isra [15] :1, kalimat "barakna haulahu" akan terwujud dalam diri pemimpin dengan senantiasa memberi berkah di setiap langkah keberadaannya, dan cita-cita "li nuriyahu" atau "pencerahan" akan terejawantahkan dalam kesejahteraan sosial masyarakat dan bernegara yang demokratis. 

Penulis adalah Staf Pengajar pada PP Hasyim Asyarie Yogyakarta