Opini

Siapa Layak Memimpin IPNU?

NU Online  ·  Sabtu, 24 November 2012 | 00:06 WIB

(Refleksi Gagasan Jelang Kongres IPNU XVI )

Oleh: A. Naufa Khoirul Faizun


Perhelatan akbar Kongres IPNU XVI akan segera digelar akhir bulan di Asrama Haji Palembang, 30 November – 04 Desember 2012 mendatang. Tak jauh berbeda dengan ormas atau partai sekalipun, yang marak diperbincangkan dalam forum sekelas kongres adalah calon ketua umum yang layak memimpin IPNU ke depan. Selain karena strategis, posisi ketua umum juga akan berpengaruh secara signifikan terhadap kebijakan, sikap dan progresivitas organisasi yang berdiri 24 Februari 1954 ini. Tak ayal, wacana calon ketua umum merupakan issu seksi yang selalu menarik untuk diperbincangkan aktvis IPNU baik dari level pimpinan pusat maupun pimpinan cabang.

Sebelum membahas calon ketua umum, ada baiknya kita melihat apa tugas berat dan PR yang perlu diselesaikan oleh ketua umum kedepan. Dengan demikian, pembahasan kita akan runtut dari proses sampai penentuan. Jika kita tahu kebutuhan, tantangan dan peluang, baru kita bicara siapa yang kira-kira dapat menjalankan. Meskipun gagasan disini agak radikal, minimal memberikan gagasan dan pandangan ideal terhadap tanggungjawab ketua umum dan beberapa issu penting menurut subyektivitas penulis. Ada beberapa issu dan kebijakan yang perlu disikapi dan direvitalisasi bagi ketua umum IPNU mendatang. Jika beberapa hal baik yang berupa persoalan internal maupun eksternal ini diabaikan, bukan mustahil IPNU akan ditinggalkan kadernya.

Pertama, problem segmentasi. Merujuk pada Peraturan Rumah Tangga (PRT) IPNU hasil kongres XV Brebes, umur anggota adalah 12 – 29 tahun. Peraturan ini menimbulkan kesemrawutan di ranah pelaksanaan yang sulit untuk dikendalikan. Meski kongres Surabaya pada 2003 telah merubah akronim “P” dari Putra menjadi Pelajar, namun karena umur masih menawarkan kesempatan siapapun di umur itu berhak, timbullah kerancuan segmentasi yang yang terlalu gemuk.

Kita bisa membayangkan sendiri, dalam forum Masa Kesetiaan Anggota (Makesta) yang merupakan jenjang pengkaderan formal dasar di IPNU panitia seringkali kewalahan. Betapa tidak? Sebagian peserta lulusan SD yang masih terhanyut dunia ke-kanak-kanakan harus bersanding dengan teman sebelahnya yang SMA bahkan perguruan tinggi. Sedangkan peserta yang lain merupakan santri-santri utusan pondok pesantren yang kesemuanya itu varian umur dan pengetahuannya berbeda-beda. Disinilah letak kerancuan yang selama ini terjadi di daerah-daerah.

Terik matahari yang demikian panas dan menerangi bumi tak mampu membakar karena tidak fokus. Namun jika kita mengambil lensa dan dipantulkan pada kertas niscaya kertas akan terbakar. Ini terjadi karena sinar matahari fokus pada objek. Nah, yang terjadi selama ini di IPNU adalah tidak adanya objek yang jelas, tidak fokus. Sehingga, itu semua akan berpengaruh pada proses, output dan peran yang dimainkan kader-kader IPNU. Tentunya, ini problem mendasar yang harus cepat dicarikan solusinya.

Masalah segmentasi, penulis mengusulkan untuk mempersempit segmen garap IPNU dengan menghilangkan Pimpinan Ranting dan Komisariat SMP. Ide ini mungkin terkesan radikal, gila dan keluar dari mainstream mengingat sebagian kader melihat Pimpinan Ranting sebagai ujung tombak dan eksekutor dari kebijakan peraturan yang ada. Namun demikian, penulis punya reasoning tersendiri mengenai hal ini. Selama ini energi Pimpinan Anak Cabang habis untuk Turun Bawah (Turba) melihat dan mengelola Pimpinan Ranting. Bagi kecamatan yang memiliki banyak desa, tentunya ini amat sangat menyita waktu. Padahal, jika IPNU fokus memaksimalkan Komisariat baik yang di bawah Ma’arif atau Sekolah Umum dengan apapun bentuk programnya, pelajar-pelajar itu sudah merupakan akumulasi dan representasi dari pelajar daerah-daerah pimpinan ranting tersebut. Jelas segmentasinya dan tidak terkendala teritori kewilayahan yang luas.

Untuk Komisariat SMP mengapa perlu diabaikan dulu? oleh karena mereka masih belum bisa utuh untuk menerima doktrinasi. Biarkan waktu mereka untuk menikmati masa kecil dahulu dengan dunianya yang asik dan menarik. Jika mereka dipaksakan untuk berorganisasi; dicekoki materi aswaja, ke-NU-an dan materi-materi berat lain, hemat penulis itu akan menyita banyak waktu pengurus. Untuk tidak menghilangkan, jika dirasa berat, paling tidak segmentasi Komisariat SMP cukup di sunnah-kan saja. Artinya, fokus garapan tetap para pelajar SMA yang secara emosional labil dan pengetahuannya pun cukup dewasa untuk diajak bersama-sama dengan orang yang tidak sama. Dengan demikian energi aktivis IPNU bisa maksimal dalam menggap kader, utamanya dari segi kualitas bukan kuantitas.

Kedua, prolem pengkaderan. Bicara pengkaderan mau tidak mau bicara ilmu dan pengetahuan. Dari sisi kurikulum kaderisasi yang sudah berlaku, sebenarnya sudah cukup baik. Namun demikian, di IPNU masih miskin pengetahuan karena disibukkan dengan hal-hal teknis kecil-kecil yang sebenarnya kurang penting. Dari pengamatan penulis, rata-rata jenjang pengkaderan di IPNU diisi oleh orang luar baik dari kalangan NU maupun Pemerintah. Aktivis IPNU kurang pede misalnya, jika mengisi Aswaja, Sejarah Geo Politik, Analisa Diri dan misteri pengkaderan lainnya. Budaya impor pengetahuan masih menjadi tradisi, belum ada kedaulatan pengetahuan di IPNU. Jika ini tidak dimulai, maka ke depan hanya akan menjadikan konsumen pengetahuan, bukan produsen. Dari itu, jenjang pengkaderan mulai dari strata pengetahuan paling bawah, semua materi harus disampaikan oleh pengurus IPNU melalui tim kaderisasinya.

Ketiga, problem jaringan. Di semua strata kepengurusan, jaringan IPNU masih lemah. Dugaan penulis, ini terjadi karena persolan internal tak kunjung selesai. Padahal, kapital sosial NU yang begitu besar seyogyanya menjadi jaringan yang kuat dan mengakar. Belum lagi dengan pemerintah, swasta, media dan para pelaku usaha. Jaringan dan kerjasama ini perlu untuk dibangun sebagai bagian dari pemberdayaan dan peningkatan kapasitas kader. Dengan demikian, selain kreatif dalam menawarkan program, kader juga merasa diuntungkan dan bangga menjadi anggota. Oleh karena, distribusi kader menjadi penting ditengah tantangan modernisasi yang sedemikian rupa. Walau begitu, kehati-hatian akan kepentingan partai politik juga perlu diperhatikan, mengingat perjalanan menuju 2012 godaan akan sangat menggiurkan. Jika netralitas tidak terkendali, bisa jadi keributan internal menjadi-jadi.

Keempat, kurangnya merespon prolematika pelajar. Ketika beberapa waktu lalu terjadi tawuran antar pelajar, yang tampil di televisi-televisi sebagai narasumber, komentator dan problem solver justeru orang-orang tua yang, mohon maaf, selama ini kurang fokus dalam mengawal pelajar. Pertanyaan penulis waktu itu, kemana pimpinan pusat? Padahal, pimpinan pusatlah yang sekiranya pantas duduk dan berkomentar disana. Sekali lagi, masalah jaringan terutama dengan media dan kurangnya respon terhadap problem kekinian penulis kira menjadi kendala. Jika ketua umum berbicara di media merespon problem, para kader yang ada di daerah penulis kira memiliki kebanggan tersendiri. Kader di daerah tidak banyak menuntut ketua umum harus begini dan begitu. Membuat rasa memiliki dan bangga menjadi kader IPNU, sudah cukup lumayan bagi ketua umum mempertanggungjawabkan kepemimpinannya kepada kader yang berada di daerah.

Kandidat – kandidat Ketua Umum

Melihat calon-calon ketua umum, sudah ada beberapa nama yang muncul. Diantaranya adalah Abdurrahman S. Fauz (Jogjakarta), Khairul Anam HS (Sulawesi) Muhammad Abdul Idris (Jawa Tengah), Muhammad Nahdy (Jogjakarta) dan Ahmad Murodi Mursyid (Jawa Barat). Melihat para kandidat, hemat penulis, mereka masing-masing memiliki kapasitas untuk memimpin IPNU tiga tahun kedepan. Tinggal nantinya menyikapi atau tidak beberapa wacana diatas untuk selanjutnya menjadi kebijakan organisasi. Jika suksesi kepemimpinan tidak serius dan hanya karena nafsu belaka, penulis yakin tidak ada progresivitas yang terjadi di organisasi. Alih-alih maju organaisasi, malah mundur dan bisa saja hancur. Jadi, untuk bicara siapa yang pantas memimpin IPNU, tentu siapa yang berani memberi solusi atas berbagai problematika baik internal maupun eksternal. Apabila jabatan hanya sebatas sebagai kontestasi yang penuh gengsi, tentu ke depan sejarah tak sudi mencatatnya sebagai sebuah prestasi.

Jabatan pemimpin merupakan amanat yang berat dan penuh beban, apalagi ketua umum di organisasi yang out-putnya akan banyak bergelut di dunia sosial dan keagamaan. Pertaruhannya tidak hanya pertanggungjawaban di dunia tetapi juga di akhirat. Semoga siapapun yang jadi nanti, adalah kader terbaik IPNU yang siap dicatat sejarah sebagai pendobrak dan pembaharu di organisasi pewaris sah masa depan Nahdlatul Ulama ini. Para pemegang hak suara diuji untuk bisa berpikir jernih dalam menentukan pilihan, tidak terbawa kepentingan pragmatis. Akhirnya, semoga kengres mendatang benar-benar membawa kesejukan bagi iklim organisasi kepemudaan umumnya dan IPNU khusunya sebagai salah satu poros generasi penerus bangsa. Selamat berkongres…!!!

Penulis adalah santri PP An-Nawawi Berjan,  Ketua PC IPNU Kabupaten Purworejo.