Opini

Siapa Calon Rais Aam PBNU?

NU Online  ·  Selasa, 1 September 2009 | 05:00 WIB

Oleh Rozy Munir*

Seandainya saja saya diberi ruang berpikir untuk mengajukan wacana calon Rais Aam pada muktamar NU ke-32 mendatang, tanpa mengurangi rasa hormat saya ke beliau yang mempunyai keilmuan agama yang tinggi dan keteladanan sikap andap asor, weruh sadurunge winarah, maka terbesit di pikiran saya akan nama-nama yang mumpuni untuk menjabat sebagai Rais Aam.

Menurut pengamatan saya pribadi setelah 20 tahun (sejak Muktamar Krapyak) ikut dalam kepengurusan pusat sebagai ketua PBNU dan puluhan tahun lagi di badan otonom, ormas dan lembaga. Apakah KH Ahmad Sahal sebaiknya mencalonkan lagi, ada pertimbangan dari saya lebih baik kali ini tidak, karena dua kali menjabat Rais Aam berturut-turut kiranya sudah cukup.<>

Apalagi selama ini KH Sahal adalah tokoh sentral yang tak tertandingi dari segi keilmuan agama, beliau ahli fiqh yang dihormati oleh Gus Dur (dan kiai-kiai sepuh lain) saat mengajak KH. Sahal menjadi Rais Aam. Setiap pemilihannya berjalan mulus. Bahkan Kiai ini sangat lincah, Kiai serba bisa, waktu mudanya dijuluki Kiai LSM karena selalu mengikuti kegiatan LSM nasional maupun internasional, tentunya tidak semata-mata soal agama dan hukum Islam yang dibuat rujukan, namun sampai kependudukan dan KB, soal menentang eksplorasi gunung Muria untuk sumber tenaga listrik yang mempunyai muatan radio aktif, soal kesehatan dan lain sebagainya, apalagi rangkap jabatan dengan MUI.

Namun kini usia beliau yang mungkin bicara lain. Untuk mondar-mandir dari Pati ke Jakarta rasanya agak susah. Beberapa peristiwa besar beliau tak dapat menghadirinya. Sedangkan organisasi harus bergerak cepat menghadapi cepatnya kemajuan zaman dan banyaknya medan tantangan yang harus dihadapi organisasi yang juga butuh kondisi fisik yang prima. Jadi berilah kesempatan kepada tokoh panutan yang lain, apalagi ketua umum tanfidziyahnya baru pula.

Jadi apa tidak lebih baik kalau KH Sahal ditempatkan sebagai penasehat atau mustasyar yang sesungguhnya di PBNU di kalangan syuriah, bukan "penasehat-penasehatan" seperti banyak dilakukan sekarang ini. Kadang-kadang musytasar hanya untuk pelengkap organisasi saja. Kita masih butuh jasa Kiai besar ini.

Jika demikian, siapa calon Rais Aam mendatang? Sebenarnya tanpa dipilah-pilah dulu karena beliau-beliau punya kelebihan masing-masing, yaitu: KH Mustofa Bisri (ahli fikh, bahasa Arab, istiqomah, penyair unggulan, Lugas), KH Tolhah Hasan (pengalaman di legislatif/menteri agama, pendiri Universitas Islam  Malang, rumah sakit Islam Malang, pesantren modern di Riau), KH Makruf Amin (keilmuannya luas, ahli fikh, pengalaman legislatif pusat maupun daerah, ahli mendirikan partai, ketua dewan fatwa MUI, ahli bank syariah), dan KH Hasyim Muzadi (memang banyak pengalamannya, ahli politik, punya pesantren, pemimpin yang tawasut/tidak ekstrim, mampu membawa NU dalam kondisi jaman yang sulit, tokoh Islam yang menginternasional).

Tanpa melihat urutan, Kiai-kiai tersebut inilah yang harus ikut bertanggung jawab pada organisasi NU dalam pengendalian, pemberi arah kebijaksanaan tertinggi dalam situasi apapun jika terpilih sebagai Rais Aam, di Makassar nanti.

Beliau-beliau berjuang demi bangsa, negara, agama dan tentunya Nahdlatul Ulama. Bagaimana dengan alasan untuk keluarga? Ya keluarga toh juga berjuang untuk Nahdlatul Ulama juga kan (keluarga maslahah, sakinah, mawaddah dan rohmah). Jadi sebenarnya tidak ada masalah, bareng-barenglah!

Bagaimana hubungan syuriyah dan tanfidziyah selama ini? Sepertinya agak rancu, ada bagian-bagian punya kesamaan tugas dan tanggung jawab yang mestinya tugas syuriah saja atau tugas tanfidziyah saja, jadi overlapping. Sehingga sepertinya bersaing dalam satu organisasi, tinggal kekuatan SDM dan dananya saja yang menentukan.

Jadi syuriyah seolah bukan ordinate lagi dan tanfidziyah bukan subordinate lagi yang tampak ada persaingan. Demikian juga jika ada fungsionaris yang uzur/meninggal tak segera dapat ditunjuk penggantinya. Contoh nyata di tanfidziyah dalam periode Pak Hasyim sudah ada 3 wakil bendahara meninggal, dan satu diberhentikan (alasan beda ideologi, kok bisa, apa tidak ada hak pembelaan) dan bendahara umumnya malah tak aktif, mungkin sekarang tinggal satu yang ngurus organisasi sebesar ini. Hal ini pasti berpengaruh pada institusi syuriyah, karena praktis penghimpun dana dari tanfidziyah.

Contoh lain di syuriyah sering ragu-ragu menegakkan aturan-aturan  organisasinya bagi personalia yang rangkap jabatan. Juga dalam batas-batas waktu yang dibolehkan oleh organisasi baik pengurus badan otonom atau pengurus lainnya. Tentang NU liberal banyak dicerca, namun apakah mereka tidak sebaiknya diberi ruang untuk menyampaikan pokok pikiran yang lugas dengan tuntas dan ditelaah secara ilmiah, apa pahamnya yang salah atau mereka salah paham tentang NU. Tentunya harus ada ruang dan waktu yang diberikan, jika salah ya diluruskan.

Panitia muktamar terutama sie tata tertib organisasi dan substansi organisasi harus sudah disiapkan masak-masak, perlu dites, disosialisasikan ke beberapa daerah dan di pusat sendiri sehingga dalam muktamar nanti menjadi keputusan yang solid.

Perlu kajian seksama, ketua umum tanfidziyah dipilih muktamirin atau dipilih Rais Aam dan wakil Rais Aam terpilih. Atau dipilih Dewan "Syuriyah". Kalau sama-sama dipilih muktamirin, ya aturan pembagian tugas wewenang syuriyah dan tanfidziyah harus tegas mana eksekutif dan mana yudikatif sekaligus majlis rakyatnya yang mengendalikan. Waktu muktamar sudah semakin sempi, sepertinya betul-betul pesta rakyat (Nahdliyin) yang besar butuh dana yang besar pula.

*Penulis adalah Duta Besar RI di Qatar