Opini ISFANDIARI MD

Si Bung Mahbub yang Ayah Saya

NU Online  ·  Sabtu, 30 November 2013 | 05:02 WIB

Malam Ahad pukul 21.00. Tak sabar saya bergegas pergi dari rumah. Maklum, saat itulah hari gaulnya anak muda. Rutinnya, saya pergi kongko dengan mereka yang tergabung di klub motor MMC-Outsider.

<>

Inisial pertama kependekan dari Modified Motorcycle Club Bandung, sedang kata setelahnya, cuma keren-kerenan. Ya… supaya kelihatan gagah kedengarannya. Kebetulan juga, saya menjabat ketua di klub berjumlah ratusan motor ini.

Si Bung, begitu saya biasa memanggil papa, sudah maklum sama kebiasaan ini. “Eh. Gue mau ngomong sebentar,” katanya tiba-tiba. “Lu tahu nggak angan-angan gue,” sambungnya dengan dengan nada bertanya. “Kalau meninggal, gue mau dikawal sama motor-motor persis kayak presiden.”  Dari intonasinya jelas si bung  bercanda. Maklum, dia akrab juga dengan teman-teman saya. Malahan, banyak teman yang punya gaya hidup ‘melenceng’, suka  menjadikan papa tempat bertanya atau berkeluh kesah. “Eh, bokap lu itu kan kiai. Tapi nggak fanatik dan mau mendengar kita,” komentar seorang rekan yang terkenal bandel.

Tak disangka, di malam Ahad lainnya angan-angan papa kesampaian. Persis hari meninggalnya, teman-teman memang sedang ngumpul tak jauh dari rumah. Persis perjalanan ke makam, papa dikawal puluhan ‘anak-anak bermotornya’. Dalam mobil jenazah, saya merenung…. “Wah… si bung benar-benar jadi presiden…,” getir saya di Ahad pagi 1 Oktober itu. 

Dengan sepeninggalnya, saya terus menggali kenangan-kenangan lain yang semuanya indah semata. Papa di mata saya adalah orang ‘kaya’ yang sederhana. Tiap sore, dia biasa nabun, istilah orang Betawi kalau iseng membakar sampah di belakang  rumah. Saya perhatikan, itulah hobi tetapnya, mirip petinggi bermain golf. Kalau uang lagi lumayan, dia sering ngajak saya berburu buku bekas di daerah Banceuy atau Palasari Bandung. Waktu kecil, saya suka banget dituntunnya ke toko-toko buku itu. Soalnya, sehabis pulang, ada saja  dua tiga komik silat yang dibelikannya.

Hobi lain yang kurang ‘intelektual’ pergi ke pasar burung daerah Jamika. Ini juga mengasikan. Paling beruntung, saya dibelikan monyet kecil buat dipelihara di rumah. Biasanya, mama cemberut kalau kami bawa khewan-khewan ini. “Waduh, kayak kebun binatang aja rumah sempit ini,” komentarnya. 

Dengan kehadiran cucu-cucunya, Nadia, Pram dan Raisa, kebiasaan itu sedikit berkurang. Maklum, si bung mulai sakit-sakitan. Berjalan tertatih-tatih dan lebih sering berbaring di kamar tidur karena tekanan darahnya naik. Tapi sempat juga dia membawa binatang kecil seperti burung atau marmut. Malah, dua pasang marmutnya, berkembang biak jadi belasan sampai meninggalnya.

Sebagai jurnalis, ia betul-betul kawin dengan profesinya itu. Saat saya begadang bareng kawan-kawan di kamar atas, terdengar bunyi mesin ketiknya sampai jauh malam. Kalau bunyinya berhenti, ia pasti sedang membuka buku buat memperkaya karyanya itu.

Inspirasi tulisan sering muncul dari rumah. Misal waktu Mira, kakak saya membuat skripsi tentang tata kota. Keluar tulisan tentang kurangnya perencanaan kota-kota di tanah air. “Wah, skripsi kamu kok tentang kota-kota di Amerika. Kenapa sih, nggak yang dekat-dekat aja. Di sini masih amburadul tuh,” ejeknya saat membaca skripsi yang bakal di uji dewan dosen ITB itu.

Atau saat keluar tulisan generasi Jaguar yang isinya bercerita tentang kehidupan anak muda masa kini. Saya yakin itu hasil ‘wawancara’ dengan saya dan teman-teman waktu itu.”Tahu nggak, orang dulu itu hebat! Bung Karno sudah ngomongin dunia di usia 20-an. Malah Tan Malaka sudah jadi elite politik sebelum menginjak umur 20 tahun. Padahal waktu itu masih serba kekurangan. Bacaan minim, segala minim,” kritiknya pada generasi saya. Saya ngeles,” Justru karena serba kurang itulah, mereka hebat. Sekarang kan, semua serba ada,” jawab saya mencoba membela.”Ah. lu bisa aje,” jawabnya lagi.

Ah…. Obrolan hangat itu tak saya rasakan lagi.

Saya juga beruntung, sempat diajak keliling teman-temannya, yang orang penting. Waktu sowan ke pesantren almarhum Kiai As’ad Syamsul Arifin misalnya, saya sempat masuk ke kamarnya. Luar biasa, beliau punya tanah hektaran, pesantrennya juga megah, tapi kamarnya masih beralaskan tanah. “Tuh…. Hebat ya, beliau sama sekali nggak tergiur harta,” nilai papa.

Lucu waktu papa diajak ke pantai persis di belakang pesantrennya. “Bagus nih, gimana kalau Pak Kiai jadiin objek wisata. Nanti banyak turis bule berjemur di sini. Pasti lebih semarak.” Yang diberi ide cuma senyum-senyum. Heh…  supaya Pak Kiai tergiur, papa mengajaknya pergi ke Bali pakai mobil pesantren. Ya…jaraknya juga tak kelewat jauh dari Situbondo. Waktu itu kami sempat singgah di Pantai Sanur dan Kuta yang berhias bule-bule berpakaian minim. Entah bagaimana pikiran Kiai As’ad waktu itu. Yang saya tahu, raut wajahnya tetap cerah. 

Yang agak ngeri kalau Papa lagi kumat jahilnya. Pernah waktu makan di warung sate pinggir jalan, datang seorang pengemis. Entengnya dia ngomong,” Eh, jangan minta duit sama gue. Minta ke Harto, die banyak duitnye,” katanya tanpa takut. Kontan orang sekitar menengok ke meja kami. Padahal tahu sendiri, di zaman itu orang-orang pada ngeri nyentil orang nomor satu ini. Itulah khasnya.

Sekarang suasana rumah sepi. Kakak-kakak termasuk saya sudah tak lagi tinggal di rumah itu. Tinggal Verdi adik saya yang masih kuliah di ITB. Ia juga menyisakan kenangan yang tak kalah manis. Di dinding kamarnya, terpapang coretan kesan para sahabat di hari kematiannya. Jika sedang sendiri, sering saya pergoki dia memandang tulisan beralaskan kain putih itu.

Ya…itulah kenangan abadi kami.


* Ketua Klub Motor MMC-Outsider dan Putra Kelima H Mahbub Djunaidi