Opini

Selamat Jalan Mas Siradjul Munir

NU Online  ·  Selasa, 4 November 2008 | 05:17 WIB

Oleh : Rozy Munir*

Ahad pagi hari, pukul 1:00 waktu Qatar, 3 November, HP-ku bergetar, ternyata Nur Habibah staf sekretariat ICIS (International Conference of Islamic Scholar, PBNU) mengirim short message, ”Untuk info, pak Siradjul Munir meninggal dunia tadi pagi jam 5.00 WIB (terdapat selisih waktu 4 jam antara Qatar dan Jakarta),” spontan aku bangunkan istri saya, ”Ha , Ya Allah, Ya Allah, siapa yang meninggal?, Siradjul Munir? belum lama aku bertemu di Jawa Timur bersama Ibu Khofifah Indarparawangsa dan Dewi Yul, hp nya yang mana, bagaimana istrinya, tanyakan kataku. Dijawab istriku belum bisa sambung, katanya.<>

Kemudian terbayang sosok Munir  karibku tersebut di depan mataku, terbaring segar dan mulailah aku teringat kenangan-kenangan semasa hidup almarhum. Siradjul Munir badannya yang tidak terlalu tinggi asal Nganjuk, Jawa Timur  selalu murah senyum, seorang yang sabar, ikhlas dan tangannya selalu ”di atas”, karena tak pernah menolak orang yang meminta pertolongan finansial padanya, meskipun dia sendiri kadang kepepet. Kalau setuju atas ide-ide atau gagasan selalu bilang wah cocok saya cocok, ucapan medok jawa timuran (ucapan seperti cocok tanam, bukan cocog). Waktu saya bilang padanya, ”Aku ingin jadi duta besar”, ”Wah cocok saya cocok mas,” jawabnya. Demikian pula waktu saya utarakan untuk Konferensi International ICIS II, ”Kita harus menghadap presiden dan wakil presiden untuk mohon bantuan dana, ”spontan dia jawab : ”wah saya cocok mas”. (dengan medok).

Kemudian terbayang dimataku pula kejadian pada tahun 1966. Siradjul Munir sang mahasiswa STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara) ini bergabung dengan saya, sesama aktifis PMII ikut demo di jalan menumbangkan Orde Lama bersama dengan Zamroni, Fahmi Idris (HMI), Cosmas Batubara (PMKRI), yang selalu berangkat dari Fakultas Kedokteran UI. ”Ganyang PKI !! turunkan harga !!”, teriaknya lantang. Bersama mahasiswa pendemo lain larut dalam nyayian jenaka. Lirik dalam cerita lama tersebut adalah kisah Hasibuan (aslinya Abu Nawas) namanya menghadap raja, tiga bulan lamanya turunkan harga, kalau sampai tak bisa potong kepala. Hasibuan memang waktu itu adalah tokoh media yang menjawab tantangan Bung Karno untuk menurunkan harga kebutuhan dasar yang terus membumbung.

Lama tak jumpa Siradjul Munir, setelah pemerintahan berganti, rupanya dia bekerja sebagai PNS di kantor pajak, puncak karirnya adalah sebagai Kepala Kantor Wilayah Pajak Daerah di Malang dan terakhir sebagai Kakanwil Pajak Jakarta Timur.

Setelah pensiun dia menemui saya dan ingin aktif di PBNU (Pengurus Besar Nadhlatul Ulama). Kenapa di PBNU? jawabnya, ”Wah cocok  untuk saya mas (dengan logat medok Jawa Timur). Saya punya pengalaman managemen, saya sering silaturahmi ke kyai-kyai, saya kan NU keturunan, biar tenang di kala usia senja, imbuhnya.

Keinginannya berhasil dan sohib ini menduduki jabatan Bendahara PBNU. Dan memang sahabat saya ini aktifnya bukan main. Mas Siradjul Munir, kataku pada suatu ketika, ”Kita berdua diminta mendampingi pak Hasyim Muzadi ke Australia untuk Konferensi Agama-agama sambil kampanye agar jangan pecah perang Irak, cocok mas, cocok”. Jawabnya medok.

Tiba-tiba tersentak saya dalam lamunan, karena istri berbisik, ”nih baru dapat kontak dari Jakarta, namun mereka masih baca surat Yasin. Ya sudah kita kontak lagi nanti”

Ada catatan  Siradjul Munir di buku tamu Wisma  Duta pada kunjungan ke Doha,11 Februari 2008 yang lalu, saya baca pelan-pelan.

”Semoga Bapak Dubes sekeluarga diberikan kesehatan, kekuatan lahir batin, kesuksesan dalam melaksanakan tugas negara sebagai dubes di Qatar. Amin.”

Terima kasih mas Siradjul Munir, do’aku juga menyertai kepergian anda, Allahummagfir lahu warhamhu, wa afihi wa’fu anhu wa akrim nuzulahu wa wassi’ madkholahu, ya arhamarohimin.

Selamat jalan sahabat karibku. Semoga diterima disisiNya. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.

*Penulis adalah ketua PBNU yang saat ini menjabat dubes RI di Doha, Qatar.