Oleh Mukti Ali el-Qum
Aroma Ramadhan telah menebar ke jagat raya nurani dan raga
perlahan-lahan merayap sedikit-demi-sedikit membentangkan sayapnya
mengepak-ngepak selaksa menggugurkan bulu-bulu lar-lar rahmat
berputar-putar dari poros raga ke poros jiwa
pendadaran jiwa, pembakaran nafsu angkaramurka
lapar, sudah sekian lama, tidak disukai atau bahkan musuh syahwat dan amarah
Ramadhan kembali mendatangi umat Islam. Membawa sejuta janji manis bagi orang-orang yang menjalankan ibadah Puasa dengan tulus, lurus dan lulus satu bulan, yang tertulis dalam kitab Suci al-Quran dan sabda-sabda eterniti Nabi Muhammad. Puasa yang berusia setua dan seabadai Tuhan, telah dihadiahkan kepada umat manusia, agar mereka dapat mencicipi kenikmatan ruhaniyah yang telah dirasakan Tuhan. Puasa seorang hamba pasti dipersembahkan hanya untukKu, demikian Tuhan bersabda. Dengan puasa, Tuhan hendak berbagi pada umatNya akan berartinya sebuah penentangan pada pemberhalaan benda-benda fisik dan mengingatkan kembali akan sucinya jiwa atau ruh. Lantaran puasa yang telah sekian lama di dalam masa yang nir-batas telah dilakoni Tuhan, hendak disuritauladani umatNya, meski sejenak hanya satu bulan saja, sebagai bekal yang dapat mengontrol keseimbangan antara ruh dan raga, dunia materi dan spiritual, selama pada masa satu tahun.
Puasa tidak sekedar ritual tahunan, mekanik, rutinitas menahan lapar dan haus serta hasrat seksualitas dari waktu imsak (subuh) sampai maghrib. Bahkan jauh melampaui itu, puasa pada dasarnya mengandung makna yang lebih umum dan universal yaitu menahan atau mengekang (al-imsak) dari segala hal yang buruk, nista, dan negatif. Pengekangan dapat diartikan sebagai pengekangan pada dan bagi diri sendiri, atau pengekangan pada prilaku orang lain yang semena-mena, atau lebih luas lagi pengekangan pada sistem kepemerintahan yang dzalim dan korup. Sejatinya pesan yang ingin disampaikan puasa adalah dinamisasi diri, pembenahan segenap aspek, dengan melalui pengekangan nafsu angkara murka.
Pengekangan pun adalah upaya membentuk kesiapan mental manusia untuk menunda kesenangan sesaat, menegasikan pemberhalaan pada materi dan mengutamaan budi luhur yang memancar dari dalam diri yang kemudian memendarkan cahaya ke luar, demi terciptanya pencerahan diri dan lingkungan. Dengan demikian, ketergesa-gesaan merupakan salah satu musuh utama yang bersemayam dalam diri manusia yang diselumuti nafsu, yang hendak diperangi oleh puasa yang berorientasi pengekangan. Sebab ketergesa-gesaan meniscayakan memusnahkan akal sehat, membutakan nurani, menghalalkan segala cara demi tercapainya target pemuas hasrat, dan sudah barang tentu akan berdampak negatif bagi diri sendiri dan orang lain. Dalam satu kaidah fikih diujarkan, “Man ta’ajjala syaian qabla awanihi, ‘uqiba bi-hirmanihi” (barang siapa yang tergesa-gesa meraih sesuatu sebelum waktunya, maka ia akan terhalang-halangi atau tidak akan dapat meraihnya).
Budaya korupsi yang kian hari kian menjamur, merupakan salah satu dari sekian sikap ketergesa-gesaan demi mencapai kemakmuran hidup secara cepat, tanpa peduli dengan jeritan suci hati nurani yang telah dilindas dan ditekannya sendiri. Jalan pintas menuju posisi penting pun dapat dilakukan dengan KKN. Tanpa melalui proses pematangan dan pendadaran diri. Harga diri dan kehormatan sejati semakin terkikis oleh obsesi keinginan cepat makmur, terpukau oleh gemerlapnya posisi dan jabatan.
Di satu sisi, fenomena hidup hedonisme dan kapitalisme yang membentuk masyarakat manusia modern adalah masyarakat pasar, pangsa pasar, diposisikan sebagai obyek iklan-iklan produk-produk kapitalisme, dan di sisi lain kebutuhan hidup terkadang tidak selaras dengan penghasilan telah menggoda dan kemudian “sering kali” menggerogoti prinsip-prinsip mulia dan agung. Puasa yang meniscayakan adanya kontrol diri dan pengekangan, hendak mengembalikan manusia pada kehidupan yang alami, bekerja secara wajar, dan meraih segala sesuatu dengan penuh kesabaran, ketabahan, kewaspadaan dan melalu proses pengekangan diri dari segenap hal yang merugikan.
Pesan puasa yang sejati adalah pesan yang menggerakkan, bukan pesan setatis dan setagnan. Sebab, puasa berisi sebuah kritik, protes, dan pemblokadean segenap kedzaliman dalam proses akselerasi peradaban manusia. Terbukti kita sering melihat fenomena protes para buruh yang di-PHK atau bawahan yang berdemonstrasi dengan bentuk “mogok makan”. Lantaran mogok makan merupakan perlambang atau simbol protes akan kebijakan yang tak bijak dan tak berpihak pada kemaslahatan umum yang mensejahterakan bagi mereka.
Sebagaimana mogok makan, puasa pun mengandung pesan penegakan keadilan. Lantaran makna terdalam dari pengekangan adalah menata ulang sebuah aturan agar tercipta keadilan yang meniscayakan atau mencita-citakan sikap proporsional; menahan diri dari sikap semena-mena dengan mengambil yang bukan haknya dan memberikan hak dan kewajiban yang sesuai dan pantas. Mengingatkan saya pada satu definisi keadilan, yaitu wadh’u as-sya’I li-mahallihi (meletakkan sesuatu pada tempatnya). Puasa merupakan saranan pembentukan karakter adil bagi yang melaksanakannya dengan tulus dan penuh penghayatan.
* Peneliti Yayasan Rumah Kitab
Terpopuler
1
Panduan Shalat Idul Adha: dari Niat, Bacaan di Antara Takbir, hingga Salam
2
Takbiran Idul Adha 1446 H Disunnahkan pada 5-9 Juni 2025, Berikut Lafal Lengkapnya
3
Khutbah Idul Adha 2025: Teladan Keluarga Nabi Ibrahim, Membangun Generasi Tangguh di Era Modern
4
Khutbah Idul Adha: Mencari Keteladanan Nabi Ibrahim dan Ismail dalam Diri Manusia
5
Terkait Polemik Nasab, PBNU Minta Nahdliyin Bersikap Bijak dan Kedepankan Adab
6
Khutbah Jumat: Meraih Hikmah Kurban di Hari Raya Idul Adha
Terkini
Lihat Semua