Opini

Sel-sel NII (1): Dari Cepu ke Malangbong, dari PSII ke NII

Jum, 10 Desember 2021 | 10:45 WIB

Sel-sel NII (1): Dari Cepu ke Malangbong, dari PSII ke NII

Ilustrasi: bendera NII di pengadilan tahun 1983. (Sumber foto: Ahmad Baso)

Namanya Sekarmadji Maridjan. Lahir di Cepu, Blora, pada 1902. Ayahnya bernama Kartosoewirjo, seorang mantri candu pemerintah kolonial. Kakek dan buyutnya sama-sama lurah. Kartodikromo Lurah Cepu, Ronodikromo Lurah Merak, Panolan. Dari segi nama, latar belakang keluarga, dan pendidikannya, dia bukan santri, tetapi priayi abangan. Pendidikannya pun sekuler. Setamat dari Sekolah Ongko Loro (Inlandsche School der Tweede Klasse) Cepu, dia lanjut ke Hollands Inlandsche School (HIS) Rembang, lalu Europeesche Lagere School (ELS), Bojonegoro. Karto sempat kuliah di Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), sekolah calon dokter Jawa di Surabaya, tetapi tidak lulus. 


Jiwa pergerakannya dipupuk oleh pamannya, Mas Marco Kartodikromo, aktivis SI merah, yang memasoknya dengan bacaan-bacaan kiri. Pada 1923, Karto bergabung di Jong Java. Ketika sekolah di Bojonegoro, Karto mengenal Islam dari Notodihardjo alias Abdurrahman, aktivis PSII dan Muhammadiyah. Karto kemudian bergabung dengan Jong Islamieten Bond (1925). Perkenalannya dengan Islam semakin intens di Surabaya. Dia mondok di rumah mahaguru pergerakan, H.O.S. Tjokroaminoto. Raja Jawa Tanpa Mahkota ini adalah mahaguru para pemuda penggerak: Soekarno, Semaoen, Kartosoewirjo, dan lain-lain. Masing-masing kelak menjadi pentolan PNI, PKI, dan NII.


Tjokro adalah tokoh sentral Sarekat Islam. Ia mengubah Sarekat Dagang Islam (SDI), yang didirikan H. Samanhudi pada 1905, menjadi Sarekat Islam (SI) pada 1912. Tujuannya memperluas keanggotaan organisasi bukan hanya bagi pedagang, tetapi seluruh umat Islam. SI terpecah ke dalam dua kubu: Merah dan Putih. SI Merah terpapar ide-ide komunis. Tokoh-tokohnya adalah Semaoen, Alimin, Darsono, dan Tan Malaka. Pusatnya di Semarang. SI Putih condong kepada gagasan-gagasan sosial Islam. Tokoh-tokohnya adalah Agoes Salim, Abdul Moeis, Suryopranoto, dan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Pusatnya di Yogyakarta. Setelah orang-orang kiri disingkirkan, Tjokro, sesepuh SI, mendirikan Partai Syarikat Islam Hindia Timur pada 1927 dan mengubah namanya menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) pada 1930.


SI, dan kemudian PSII, adalah organisasi tertua yang dikenal oleh penduduk Jawa Barat, khususnya di Priangan Timur: Garut, Tasikmalaya, Ciamis, dan Sumedang. Para pedagang Muslim merasa terbantu dengan organisasi ini ketika bentrok dengan pedagang Tionghoa atau terancam dengan kebijakan kompeni. Tak ayal, PSII punya pendukung kuat di daerah Priangan. Para ajengan di Jawa Barat sebagian besar terafiliasi dengan PSII.


Kartosoewirjo menjabat sebagai Sekretaris Umum CSI (Central Sarekat Islam) pada Desember 1927. Sebelum dipecat pada 1939, jabatan tertingginya di PSII adalah Wakil Ketua. Posisi itu ia jabat setelah Kongres PSII ke-22 di Batavia, 1936. Ketika masih jadi Sekretaris Umum CSI, dia safari ke Jawa Barat, termasuk Garut, untuk mengumpulkan sumbangan warga sarekat guna mengongkosi lawatan diplomatik Agoes Salim ke Belanda. Dia singgah ke Kampung Bojong, Cisitu, Malangbong, dan bertemu dengan Ardiwisastra, tokoh SI Garut. Hatinya terpikat dengan putri ajengan kaya itu. Namanya Dewi Umi Kalsoem (Wiwiek).  Pada April 1929, Karto menikahi Dewi. Dari penikahan itu, mereka dikarunia 12 anak: Tati, Tjukup, Dodo Muhammad Darda, Rochmat, Sholeh, Tahmid Rahmat Basuki, Abdullah, Tjutju, Danti, Ika Kartika, Komalasari, dan Sardjono. Sebagian anaknya meninggal saat kecil karena sakit (Tati, Rochmat, Sholeh, Abdullah). Ada juga yang tewas tertembak saat gerilya di hutan (Tjukup). 


Dua anaknya yang aktif sebagai kombatan DI/TII adalah Dodo Muhammad Darda dan Tahmid Rahmat Basuki. Komalasari kelak menjadi PNS dan bekerja di IAIN (kelak UIN) Sunan Gunung Djati, Bandung. Menurut informasi yang saya peroleh, ketika mendaftar PNS, binti-nya dinisbatkan ke orang lain. Sardjono, bungsu  yang lahir di hutan dan diajak gerilya oleh orang tuanya saat masih orok, tidak lagi tertarik dengan pola perjuangan bapaknya. Dia bekerja profesional di PO Mayasari Bhakti. Pada 13 Agustus 2019, dia bersama 13 orang lain, memimpin ikrar kesetiaan kepada NKRI di hadapan Menko Polhukam Wiranto. Sardjono sempat nyaleg dari Partai Gerindra dan PPP, tetapi tidak lolos. Teman-teman dan pengikut bapaknya menganggap Sardjono bughat. Sardjono meninggal akhir 2020 karena sakit. 


Generasi anak yang tersisa adalah Tahmid Rahmat Basuki. Tahmid, bersama kakaknya, Dodo, sempat menolak turun gunung ketika DI/TII mulai kocar-kacir pada Juni 1962. Prinsipnya yuqtal aw yaghlib (menang atau terbunuh). Dodo Komandan Markas, Tahmid Komandan Kala. Bapaknya menyuruh anak-anaknya menyerah dan menghentikan tembak-menembak. Keduanya berunding alot. Tahmid menafsirkan perintah bapaknya sebagai sandi terbalik. Itu adalah kode agar dia tetap di gunung dan melanjutkan perjuangan. Dodo menganggap jika pun seruan ayahnya betul, ia tidak wajib diikuti karena statusnya sedang ditawan. Pada akhirnya, para kombatan itu semuanya turun gunung. Pada 1 Agustus 1962, para pentolan DI/NII menyatakan ikrar kesetiaan kepada NKRI. Mereka disuruh mengakui gerakan DI sesat. Mereka setuju. Mereka semua diampuni, kecuali Karto. Dia dieksekusi pada 5 September 1962, di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu. 


Masalah muncul karena wasiat. Di akhir hayatnya, sebelum ditembak mati, Karto menyatakan tetap bertindak sebagai Imam Panglima Tertinggi Angkatan Perang Negara Islam Indonesia (APNII). Dia juga menyatakan bahwa cita-cita Negara Islam suatu saat akan terlaksana, meski musuh menentangnya. Semua yang dia lakukan adalah berdasarkan petunjuk Al-Qur’an. Wasiat ini, secara tidak langsung, membatalkan ikrar 1 Agusutus 1962. Anak-anak dan pengikutnya terbelah. Dodo dan Tahmid menganggap ini amanat. Perjuangan di gunung selama 13 tahun harus diteruskan.  


Di sinilah awal mula perpecahan dua faksi: Fillah dan Fi Sabilillah. Kelompok pertama menganggap perjuangan DI/NII, kalau pun diteruskan, tidak lagi bersenjata. Kelompok kedua menganggap perjuangan bersenjata harus diteruskan. Kelompok pertama menjelma menjadi sel-sel pasif. Kelompok kedua mengilhami kelompok-kelompok jihadis. Dodo dan Tahmid di kelompok kedua. Sardjono cenderung di kelompok pertama. Tahmid sekarang masih hidup, tetapi renta dan sakit-sakitan. Saya mendatangi rumahnya di Malangbong, ditemui anaknya, Dindin. Dia bilang, ayahnya sudah tidak bisa lagi menerima tamu. Saya diarahkan untuk menemui sepupunya, putra Dodo M Darda, namanya Muhammad Giri. Saya berbincang beberapa saat. Kesimpulan saya, sementara, cita-cita DI/NII itu sudah redup di generasi cucu. Mereka bahkan tidak banyak tahu seputar perjuangan kakeknya. Mereka cuma ingin hidup tenteram, tanpa stigma.


Sanad satu-satunya, dari generasi anak, adalah Tahmid. Para pengikut Imam Karto menyambung sanad dengan Tahmid. Pepi Fernando, otak bom buku di tahun 2012, konon pengikut faksi Tahmid. Tapi perpecahan kelompok ini memang dahsyat. Sepeninggal Karto, NII pecah ke dalam faksi Fillah dan Fi Sabilillah. Fi Sabillah pecah lagi ke dalam banyak kelompok. Antar kelompok bahkan bermusuhan, atau tidak saling berhubungan. Saya akan mengulasnya di bagian berikutnya. 


M. Kholid Syeirazi, Sekretaris Umum PP ISNU