Oleh Nawawi A. Manan
Pada pemilu 1971 di Kabupaten Sidoarjo terjadi peristiwa mencengangkan: di tempat pemungutan suara (TPS) yang semua pemilihnya keluarga pangkalan militer, dan panitianya para pegawai negeri sipil (PNS), Partai NU mendapat 2 suara. Satu suara jelas, dari saksi Partai NU, satu suara yang lain?
Peristiwa itu terulang pada pemilu 1977 setelah Partai NU bersama Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dikubur oleh penguasa orde baru dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Tidak sulit bagi komandan pangkalan untuk menemukan pemilik suara tersebut. Tanpa mengerahkan satuan intelijen, sang komandan bisa menyimpulkan bahwa keluarga besarnya yang memilih Partai NU adalah istri Sersan Mayor (Serma) Fulan. Semua prajurit di pangkalan itu sangat paham bahwa Serma Fulan adalah santri tulen dan amat sangat setia kepada korps asalnya: Nahdlatul Ulama (NU).
Meski sudah bertahun-tahun menjadi prajurit, jati diri Serma Fulan sebagai santri tidak berubah. Wajahnya selalu teduh dan berseri. Jika menggunakan kopyah hitam selalu dimiringkan ke kiri, seperti letak kopiah Kepala Madrasah Nahdlatul Wathan KH Mas Alwi Abdul Aziz atau Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo – sebagai simbol keberpihakan kepada kaum lemah. Jika berjalan kepalanya menunduk seperti ahli nahwu, tawadhu’ seperti Raden Gatotkaca.
Serma Fulan memang ngawur. Ketika semua keluarga Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI – sekarang TNI) dimobilisasi habis-habisan agar mendukung Golongan Karya (Golkar) untuk memperkuat kepemimpinan Soeharto, ia tetap setia kepada NU. Akibatnya, ketika semua teman seangkatannya sudah berpangkat perwira dia tetap menjadi bintara, hingga pensiun.
Pada masa Orde Baru, semua orang yang hidup di dalam pangkalan militer harus monoloyalitas kepada Golkar. Bagi umat Islam, dalam amaliyah ubudiyah juga harus monoloyalitas karena amaliyah warga Nahdliyin diharamkan. Sehingga, selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru, warga Nahdliyin di lingkungan semua perkampungan TNI hanya bisa melaksanakan amaliyahnya secara nafsi-nafsi.
Keadaan tersebut mulai mencair setelah Ibu Tien Soeharto wafat pada 28 April 1996. Kantor-kantor pemerintah yang semula mengharamkan tahlilan ikut menggelar tahlilan seperti dilaksanakan keluarga Presiden Soeharto di Jalan Cendana. Keadaan benar-benar berubah setelah berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto sejak 1998.
Ketika sedang punya hajat, banyak tentara berlatar belakang keluarga NU mengundang warga desa terdekat untuk istighotsah, tahlilan, dan shalawatan dengan iringan rebana prok-brik. Mereka tidak ragu menunjukkan jati dirinya sebagai warga Nahdliyin.
Perubahan itu sungguh luar biasa karena para kader yang telah lama terpisah oleh sistem tirani politik menyatu kembali dengan keluarga besarnya dalam naungan rumah besarnya, meskipun hanya secara kultural psikologis.
Sayangnya, perlahan-lahan mereka terpisah kembali, kemudian terputus. Di perkampungan TNI itu sekarang tak lagi pernah terdengar lantunan shalawat Nabi. Penyebabnya bukan faktor represif eksternal, melainkan ngawurisme politik internal. Karena ketidaktahuan dan ketinggian tensi syahwatnya, banyak kader NU -- terutama kader mualaf dan naturalisasi – yang sedang berebut rezeki melalui jalur politik praktis tidak bisa menghormati NU sebagai jam’iyyah diniyah ijtimaiyah.
Pada setiap perhelatan politik, struktur NU mulai atas hingga paling bawah difungsikan sebagai alat pendulang suara. Statusnya sebagai ormas memang tidak pernah berubah, tetapi pada setiap hajatan politik NU memainkan fungsi politik. Sehingga, para jamaah NU – terutama yang selama ini bertebaran di mana-mana -- menganggap NU adalah organisasi politik.
Pendidikan Kader Penggerak Nahdlatul Ulama (PKPNU) yang dilaksanakan untuk menyiapkan kader-kader NU masa depan pun disalahgunakan, diintervensi untuk kepentingan politik segelintir orang – justru oleh orang-orang yang mestinya melindungi kemurnian PKPNU.
Ketika menyampaikan pidato iftitah pada Muktamar NU XXVIII 1989 di Krapyak, Yogyakarta, Rais Aam PBNU KH Achmad Siddiq mengibaratkan NU sebagai kereta api yang trayeknya sudah jelas, begitu pula relnya serta syarat untuk menjadi petugasnya. NU bukan taksi yang bisa dibawa ke mana saja oleh penumpang yang membayarnya. Pengurus NU boleh berganti dan kebijakannya boleh disempurnakan, tetapi trayek NU sebagai organisasi keagamaan tidak bisa diubah.
NU bukan organisasi sembarangan karena kelahirannya merupakan “jawaban” Allah SWT terhadap munajat Mbah Kholil Bangkalan, Mbah Hasyim Asy’ari, serta para ulama zahid dan wara’ yang resah gelisah oleh penderitaan rakyat Indonesia akibat penjajahan serta ulah kaum Wahabi yang ingin menghapus ajaran madzahabil arba’ah. NU-nya memang perkumpulan, tetapi substansinya adalah Islam Ahlussunnah wal Jamaah.
Fahimtum?!
Karena itu, siapa pun yang memfungsikan NU sebagai mobil omprengan akan menjadi barang rongsokan yang tidak bisa didaur ulang.
Penulis adalah Dewan Pakar PC Lesbumi NU Sidoarjo dan Instruktur Wilayah Pendidikan Kader Penggerak Nahdlatul Ulama (PKPNU) Jawa Timur