Opini

Santri, Pelajar, dan Ruang Kreatif

NU Online  ·  Jumat, 12 Oktober 2018 | 00:45 WIB

Oleh Inswiardi

Menapaki tiga tahun perjalanan Hari Santri, yang  dipahat indah melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015,  telah menarik mundur ingatan kita, kala Pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy'ari pada 22 Oktober 1945 menyeru membela negara adalah sebagian jihad. Fatwa bela negara  dikeluarkan sebagai upaya melindungi bangsa Indonesia dari pendudukan penjajah.

Seiring perjalanan waktu, momentum resolusi jihad yang menjadi akar kesejarahan peringatan Hari Santri Nasional, mengalami perluasan makna dikarenakan tantangan jaman yang telah berubah. Perlawanan terhadap sekutu bermetamorfosis menjadi upaya Santri memantaskan diri ditengah tantangan dan dinamika kekinian. 

Santri yang semula identik dengan anak-anak yang menimba ilmu di lingkungan Pondok Pesantren, oleh Bupati Jombang Hj Munjidah Wahab, diberi pemaknaan baru, sebagai insan (pribadi) yang tengah menimba ilmu, baik di lingkup pendidikan umum maupun khusus, tidak terkecuali Pondok Pesantren. Dengan pemaknaan tersebut,  diharapkan   momentum Hari Santri bisa dirayakan oleh siapa saja, dari berbagai kalangan. Pada titik ini NU telah memberikan warisan berharga kepada perjalanan berbangsa. 

Dengan demikian, maka tantangan yang ingin dijawab melalui Hari Santri 2018 adalah pertama, hari santri berkewajiban menjaga spirit santri sebagai seorang pembelajar. pribadi yang mencintai keilmuan. Kedua, hari santri berkewajiban menjaga spirit santri dalam pembangunan akhlak terpuji dan tranformasi nilai. Ketiga, hari santri berkewajiban menjaga spirit santri sebagai kekuatan pendorong dan pemersatu, penjaga harmoni dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
 
Harapan kami, hari santri 2018 tidak dimaknai sebagai ritual selebrasi belaka, melainkan bisa menyentuh lapis kesadaran semua pihak untuk memberi makna terbaik serta  menghasilkan dorongan keterlibatan santri dalam ruang-ruang strategis. Santri diharapkan mampu menjadi tulang punggung negara sebagai kekuatan pembangunan karakter, khususnya bagi generasi muda. Sekaligus sebagai motor pelaksanaan Undang Undang Pemajuan Kebudayaan serta pengawal RUU Pendidikan Pesantren."

Membincang ruang pemajuan budaya, yang terbersit dalam pemikiran saya adalah konsep keruangan Jombang sebagai kota santri. Santri dalam pengertian pribadi yang mencintai pengetahuan, saya jadi teringat apa yang disampaikan Cak Nun, ketika hadir sebagai Narasumber Uji Publik Hari Jadi Jombang, di Hall Bung Tomo Pemkab, 5 tahun silam.

Bagi Cak Nun,yang dibutuhkan Kota Jombang tidak sekedar tanggal hari Jadinya, melainkan "situasi terwaris" yang diyakini kota ini, sebagai role model untuk tumbuh berkembang. Jombang harus punya cara untuk mendidik warganya untuk menjadi pembelajar yang baik. Konsep tetenger, menjadi tawaran yang baik bagi Jombang untuk membangun tradisi mencintai pengetahuan. Dengan konsep tetenger, setiap tempat akan bisa menyajikan kebanggaan sekaligus data untuk dikupas, diperas, dan diambil saripati nilainya, sabagai penguat kedirian.

Seperti Praha yang memiliki Kafka, Jombang juga mempunyai anak-anak bernama Santri. Anak-anak yang tersebar di berbagai sekolah, pesantren, maupun kelompok belajar masyarakat. Situasi yang patut ditanyakan saat ini, adakah ruang-ruang kreatif yang bisa disodorkan kota ini, untuk tempat mereka bertukar tangkap gagasan, mimpi, atau sekedar celoteh pelipur penat. 

Menjawab persoalan ini, tentu tidak bisa sendiri. Ada arus persebaran informasi dan pengetahuan  harus didesain selaras  dinamika kekinian. Ada ruang kreatif yang disiapkan sebagai tempat berkumpul. Ada pengumpul yang memunguti dan mengorganisasi gagasan. Ada yang menyediakan kemasan  atas gagasan kreatif. Ada yang mendiseminasi gagasan ke ruang-ruang yang lebih luas. Ada laboratorium yang menguji  gagasan kreatif tersebut, serta ada yang  memberikan reward atas semua gagasan kreatif yang  berhasil dilaksanakan.

Sekali lagi, ingatan saya hinggap pada seorang karib, anak Jombang yang telah menyinggahi beberapa kota di banyak negara. Seorang santri yang rendah hati. Kami dipertemukan melalui kedai kopi sederhana di tengah kota jombang. Doktor muda ini bercerita tentang Gus Dur panjang lebar. Bercerita tentang tokoh-tokoh dunia, yang dihormati dinegaranya, tetapi mereka tidak pernah mendahului negaranya. Tentang arsitektur-arsitektur kota yang digali dari spirit pemikiran tokoh di kota tersebut. Tentang anak-anak yang melahap buku.

Sore itu, saya  menjadi pendengar yang baik, karena setiap lentik informasi dan gagasan yang disajikan, seperti sihir yang membuat mulut saya terkatup, dan kepala saya hanya mengangguk, tanda bersetuju.

Simpulannya, Jombang bersyukur mempunyai Gus Dur. Soal internasionalisasi pada sosok Gus Dur, sudah selesai. Yang menjadi pekerjaan rumah bagi kota ini adalah, menjadikan sosok Gus Dur menjadi momentum yang mampu memberi spirit kota ini untuk membangun keruangan dalam dimensi internasional. Nada ucapan anak muda ini mulai meninggi. Saya tidak tahu kenapa,mungkin geram yang mengeram menjadi rasa putus asa. Atau ada kecamuk di pikirannya. Sekali lagi, saya hanya menatap dia dengan penuh kesima.

Jombang tidak cukup duduk diam menunggu dunia internasional datang membincang tokoh-tokohnya, alamnya,  atau sisi lain kota ini. Jombang harus aktif untuk hadir diruang-ruang internasional, menyerap energi global, menyimpannya, serta meledakkannya dalam sebuah karya dan peristiwa. Menyediakan pendopo kabupaten, hall-hall pertemuan, ruang rapat dinas, pendopo kecamatan, atau tempat-tempat strategis lain untuk dibanjiri mimpi dan ide kreatif, saya pikir tidak terlalu sulit.

Mendidik anak-anak santri untuk bertanggungjawab terhadap ucapannya, juga tidak terlalu sulit. Apalagi membungkus gagasan baik, menyediakan laboratorium, serta memberikan reward, tentu tidak sulit.

Saya ambil contoh, Jombang bisa memulai dengan gerakan penguatan literasi. Ketika di tingkat dini, mereka dikenalkan dengan buku, maka pilihan yang selaras adalah menyediakan buku bagi mereka. Banyak terjadi perpustakaan menunggu pembaca datang. Mengapa kita tidak ubah dengan mendatangi anak-anak pelajar (baca; santri). Kita desain cara yang diminati anak-anak, dengan menyediakan judul buku yang disukai.

Setelah itu kita siapkan kompetisi siswa untuk me-resume, menyampaikan, membangun konstruksi gagasan, dan penelitian. Seandainya tiap tahun, penerima penghargaan  kompetisi ini difasilitasi untuk menimba pengetahuan ke manca, saya yakin geliat membaca bisa dibangun. Jangan terjebak soal manca, manca hanyalah sarana kita untuk membangkitkan semangat, bahwa kita mampu menyapa dunia luar. Justru dengan hadir dimanca, kita bisa menyerap energi pengetahuan di sana.

Melalui momentum hari Santri ini, saya hanya bisa berharap, Jombang bisa melihat potensi Santri untuk membangun keruangan yang dinamis. Keruangan yang bisa mengangkat Jombang di level manapun. Keruangan yang tanpa nama, keruangan yang mendidik kita untuk menjadi pembelajar yang baik. Pembelajar yang arif. Selamat menyongsong hari santri 22 Oktober. Bersama Santri damailah negeri. 


Penulis adalah Ketua Panitia Hari Santri 2018 Jombang, Ketua Lesbumi PCNU Jombang