Oleh: Asmawi Mahfudz
Saat ini kita semua warga bangsa dalam suasana bulan suci Ramadhan, di mana seluruh umat islam berkewajiban untuk menjalankan puasa selama sebulan penuh, dengan tujuan supaya menjadi pribadi Muslim yang bertakwa. Takwa dalam arti puasa dapat dipahami sebagai sarana untuk menjadi pribadi yang sabar, ikhlas, totalitas beribadah kepada Allah. Hikmah dari puasa di bulan Ramadhan tahun ini tampaknya menemukan momentumnya di tengah hiruk pikuk rutinitas lima tahunan bangsa Indonesia yang belum selesai melaksanakan pemilihan umum. Maka perlu bagi kita untuk menemukan dua hal penting dalam relitas kehidupan demokrasi Indonesia dengan aspek-aspek etika ke-Tuhan-an yang terkandung dalam bulan Ramadhan, yang mayoritas diyakini oleh warga Muslim Indonesia. Apalagi nilai-nilai bulan Ramadhan berbasis keyakinan mayoritas penduduk Indonesia, sesuai dengan sifat, watak, dan karakter dasar bangsa di Nusantara ini. Salah satu nilai yang begitu penting kita ungkap adalah sikap aktulisasi sabar hasil dari berpuasa di bulan Ramadhan, dalam berdemokrasi di Indonesia.
Istilah sabar memang mudah untuk diucapkan, dalam bahasa Indonesia terdiri dari lima huruf dan satu kata. Tetapi, praktiknya sulit untuk dilaksanakan oleh setiap insan hamba Allah. Karena sikap sabar ini berhubungan dengan totalitas manusia sebagai pribadi seorang hamba, terdiri dari anggota badan, akal fikiran dan hati. Manusia ketika berusaha untuk bersikap sabar, harus mensinergikan semua unsur kemanusiaannya tersebut dalam sebuah tindakan atau tidak bertindak dalam realitas kesehariannya. Taruhlah dalam iklim demokrasi dengan ditopang arus teknologi informasi yang begitu dinamis sekarang ini, seseorang begitu berat untuk melakukan sikap mulia ini. Sebagaimana di dijelaskan dalam Al-Qur’an, yang artinya "Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk." (2: 45).
Apalagi sekarang kita bangsa Indonesia yang lagi melaksanakan rutinitas demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemilihan umum untuk calon legislator kita dan Kepala Negara atau Pemerintahan, yang melibatkan seluruh komponen bangsa dan negara, baik dari panitia penyelenggaranya yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU); dari pengawasnya oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), rakyat yang memilih, pengurus partai politiknya, calon legislatornya dan juga calon Presiden dan Wakil Presidennya. Semua harus mempunyai sikap sabar dalam melaksanakan demokrasi ini. Kalau sikap sabar ini tidak kita tanamkan dalam sanubari kita bagaimana jadinya rutinitas demokrasi ini. Yang harus kita ingat adalah kita adalah bangsa yang berbudaya, bermartabat sejak nenek moyang kita babat (membukanya), memperjuangkan negeri dan mendirikannya ini. Mereka selalu dilandasi sikap santun, ramah, sabar, baik ketika memperjuangkan dan mendirikan negeri ini.
Mungkin kita perlu berilustrasi dan imajinasi ketika para nenek moyang kita baru babat tanah di Nusantara ini, meramaikannya sehingga bisa berbentuk sebuah bangsa walaupun masih sederhana. Kemudian bagaimana para pejuang-pejuang kemerdekaan di bumi Nusantara ini melepaskan Kolonialisme para penjajah, dan bagaimana para pendahulu kita memakmurkan Nusantara ini, pastinya dilandasi dengan sikap sabar dan kebesaran jiwa sehingga eksistensi bagsa Indonesia masih bisa kita nikmati sampai sekarang.
Maka dalam pesta demokrasi ini yang harus kita ingat adalah semua yang terlibat di dalamnya berusaha untuk mengisi kemerdekaan bangsa Indonesia, memajukannya sehingga menjadi bangsa yang makmur dalam berbagai perspektif. Untuk itu dalam mengisi dan memajukan bangsa ini harus didasari dengan sikap-sikap dan perilaku sebagaimana yang ditanamkan oleh para pendahulu kita, yakni sopan santun, ramah sumeh, sabar, gotong royong, rukun dan sebagainya. Jangan sampai idealisme para pengisi kemerdekaan ini menyebabkan elan vital dari bangsa ini tercerabut dari akarnya. Ini penting penulis ungkap, karena kondisi empiris di sekitar kita dalam pesta demokrasi pemilu ini seolah-olah banyak hal negatif yang kita lakukan sebagai anak bangsa. Sekarang banyak fitnah, kebohongan, caci maki terhadap sesama, merendahkan kepada yang lain, adu domba, egoisme, yang seolah-olah euphoria demokrasi ini kita artikulasikan sebagai manusia yang individualistik, sombong, sangar, materialistik, merasa benar sendiri, merasa sebagai makhluk yang paling dekat dengan Allah, dengan menafikan hamba Allah yang lain, seolah-olah kita sebagai pemilik surga dan yang lain adalah neraka.
Penulis jadi teringat dengan salah satu senior di lembaga tempat bekerja dan mengabdi sehari-hari. Pada saat ada suatu acara, dia yang berumur 75 tahun, sudah purnatugas, tetapi ketika naik menuju tempat acara di lantai tiga. Begitu ringannya, walaupun dengan tangga manual, tidak merasa berat, juga tidak ngos-ngosan. Maka sesudah sampai tempat acara, penulis ambil tempat duduk di sampingnya. Ketika berbicara engan dia saya tanya, "Bapak tadi naik ke tempat acara ini kok begitu ringan sekali, tidak mengeluh? Padahal umur Bapak sudah kepala tujuh lebih. Apa kira-kira resep yang bisa ditularkan kepada saya sebagai pelajaran pengalaman yang bisa saya tiru, Pak?"
Dia menjawab singkat, "Kulo mboten nate muring-muring" (Saya tidak pernah marah-marah)." Mendapat jawaban senior ini saya kemudian merenung, dan berkata dalam hati, inilah manusia Indonesia yang otentik sesuai dengan karakteristik manusia Indonesia. Sebuah profil manusia yang kuat dari sisi jasmani juga dari sisi rohaninya. Artinya orang kuat sebagaimana ilustrasi bapak senior tadi adalah sederhana, 'dia tidak pernah marah-marah', sehingga bisa mengendalikan jiwa. Lalu berimplikasi kepada kekuatan lahirnya, yang walaupun sudah tua tetapi tetap tegak berdiri, semangat untuk berjuang, dan masih bisa kumpul-kumpul bersama yunior-yuniornya yang dari sisi umur jauh di bawahnya.
Contoh bapak senior tadi mungkin kalau kita nukil Hadits Rasul Saw, mungkin berbunyi demikian "Laysa al-ghina an katsrat al-aradh wa lakin al-ghina ghina al-nafs." Bukanlah orang kaya itu adalah orang yang bertumpuk materi tetapi orang kaya adalah orang yang bersimpati dengan dengan hati nuraninya. Atau dawuh yang lain, "Laysa al-syadid bi al-shur’ah innama al-syadid yamliku nafsahu ‘inda al-ghadhab." Bukanlah orang kuat adalah diukur dengan adu badannya, tetapi orang kuat adalah yang dapat mengendalikan nafsunya ketika marah. Ini kembali lagi kepada pernyataan awal bahwa orang harus dapat mensinergikan antara akal fikirannya, hatinya dan anggota badanya sehingga dapat meng-artikulasi sabar dalam tindakannya.
Kemudian pertanyaannya adalah bagaimana kita dapat bersabar dalam konteks demokrasi yang sekarang prosesnya masih berjalan? Mungkin kita dapat mengutip teori dari Al-Ghazali dalam kitab Minhaj al-Abidin, sabar ada beberapa macam di antaranya, sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah. Contohnya orang dapat mempertahankan konsistensinya dalam patuh dan taat, melakukan perbuatan-perbuatan baik menurut Allah, Rasulullah, dan keumuman manusia sekitar kita. Sabar dalam shalat, puasa, haji, zakat, silaturahmi, menebar kasih sayang. Sabar melaksanakan tugas kewajiban sebagai pelayan masyarakat, sabar dalam mencari rezeki. Sabar untuk dakwah ajaran-ajaran Islam, sabar sebagai pejabat, sabar sebagai rakyat, sabar sebagai anggota keluarga, sabar dalam semua kebaikan, baik yang berdimensi kemanusiaan (insaniyah) atau dimensi ke-Tuhan-an (ilahiyah).
Dalam menjalankan program demokrasi pun kita harus sabar. Misalnya sebagai panitia pemilu, baik di level desa atau kabupaten atau bahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tingkat pusat juga harus bersabar. Usai pencoblosan, mungkin banyak komentar, kadang hujatan atau gugatan, padahal panitia sudah melaksanakannya dengan maksimal sesuai dengan kemampuan kemanusiaan mereka. Maka panitia juga harus tetap konsisten (istiqomah) sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak boleh mundur, patah semangat atau putus asa. Sabar dalam hal kebaikan menjalankan kepaanitian pemilu dijalankan dengan aturan dan prosedur yang telah kita sepakati bersama, walaupun tantangan dan gangguannnya begitu berat.
Penulis adalah Pengajar IAIN Tulungagung dan Mustasyar NU Blitar, Jawa Timur.