Oleh Abdullah Alawi
Mahbub Djunaidi, penulis kawakan yang berjuluk pendekar pena, dalam satu artikelnya pernah menulis tentang puasa anak-anak kecil di zaman penjajahan Belanda. Pada waktu menjelang Lebaran, anak-anak liburan sekolah.
“Beresoknya, beduk puasa berdentam-dentam. Lepas sahur, anak-anak senewen itu masuk keluar kampung menabuh kaleng rombeng, kemudian duduk berjuntai di batang belimbing hingga lohor, sesudah itu tidur telungkup menekan perut keras-keras ke ubin langgar hingga hampir maghrib. Jika saat berbuka puasa tiba, mereka nyaris menelan seluruh isi bumi. Tapi ini tidak berlangsung lama, sembahyang tarawih subuh, yang mereka lakukan sambil sekali dua menyikut rusuk temannya,” tulisnya pada Bulan Puasa Anak-Anak Sekolah.
Pada zaman Jepang juga ada kebijakan serupa pada bulan puasa. Dan gaya puasa anak-anak tidak berubah. Mahbub Djunaidi menulis demikian:
"Sesudah menyanyikan lagu kebangsaan Kimigayo dan Seikerei itu berhamburan ke luar kelas bagai kelereng tumpah dari dosnya. Seperti biasa, esok hari beduk puasa berdentam-dentam, dan seperti biasa mereka bergolek-golek di lantai langgar. Satu dua juga yang diam-diam menggigit mangga muda di belakang kakus."
Poin dari esai Mahbub itu sebetulnya membandingkan anak-anak zaman penjajahan dan zaman kemerdekaan. Jika zaman penjajahan anak-anak tumbuh kurus dan pendek, zaman kemerdekaan lebih gemuk dan jangkung. Zaman penjajahan sedikit yang sekolah, sementara zaman kemerdekaan lebih banyak murid dari bangkunya.
Pada zaman kemerdekaan pula anak-anak punya kesempatan untuk melakukan berbagai hal. Dan kesempatan itu jangan disia-siakan, harus belajar keras, meskipun di bulan puasa.
”Anak-anak, sesuai panggilan zaman, kamu dipersiapkan untuk berjalan-jalan dari planet ke planet, atau menyuruk jauh ke dalam perut bumi. Karena itu, kamu musti belajar keras, tak terkecuali di bulan puasa. Satu hari terlewat berarti rugi dua puluh lima tahun.”
Kelas Kanak-anak
Di artikel Mahbub yang mengupas zaman Belanda dan Jepang, menggambarkan bagaimana anak-anak berpuasa. Ada dua hal yang menarik dari ungkapannya. “Jika saat berbuka puasa tiba, mereka nyaris menelan seluruh isi bumi.”
Sebagaimana di tulisan-tulisannya yang lain, Mahbub Djunaidi selalu mampu membuahkan metafora yang khas. Dan itu memang kelihaiannya. Jika tidak begitu, bukan Mahbub namanya.
Namun, lebih dari itu, menurut hemat saya, Mahbub ingin mengatakan bahwa puasa sebetulnya bukan memindahkan jadwal atau menunda makan. Sehingga ketika bertemu maghrib seperti balas dendam.
Nah, dari sisi ini, sebetulnya siapa pun yang berwatak demikian dalam berpuasa, dia seperti anak-anak. Derajat puasanya masih kanak-kanak. Hanya lapar saja yang didapat.
Kedua, tentang keisengan anak-anak. Hal itu diungkapkan Mahbub pada zaman Jepang, “yaitu Satu dua juga yang diam-diam menggigit mangga muda di belakang kakus.”
Dengan ungkapan tersebut Mahbub Djunaidi menyampaikan sifat kanak-kanak yang tidak memahami artinya puasa. Bagi anak-anak seolah-olah diam-diam makan mangga tidak diketahui siapa pun. Padahal tentu saja Allah mengetahuinya.
Nah, dengan demikian, yang diam-diam membatalkan puasa seperti itu, berapa pun umurnya, dia sebenarnya anak-anak.
Penulis adalah Nahdliyin, tinggal di Bandung