Dunia akademik dan aktivis merupakan dua dari sekian banyak yang mesti dijalani mahasiswa di perguruan tinggi. Namun demikian, perkembangan teknologi informasi membuat mahasiswa tidak hanya bergelut di bidang kemahasiswaaan dan kampus, tetapi juga menggeluti mikro ekonomi berbasis cyber system seperti membuka toko online kecil-kecilan, misalnya.
Problem aktivitas mahasiswa di kampus justru datang ketika masing-masing mengunggulkan dunianya. Ini penulis rasakan sendiri ketika mulai masuk menjadi anggota Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) tahun 2008 silam. Mahasiswa yang aktif di dunia akademik saja, artinya hanya kuliah saja, dianggap tidak mampunyai sense terhadap realitas sosial pergerakan yang dapat mengubah tatanan.
Begitu juga dengan mahasiswa yang aktif di dunia aktivis. Kerap meninggalkan proses perkuliahaan sebab sibuk konsolidasi organisasi. Aktivitas ini tidak keliru, bahkan baik untuk mengembangkan kapasitas pribadi dan jaringan. Apalagi para aktivis ini mampu menggerakkan teman-teman mahasiswa untuk melakukan pengayaan bacaan dan informasi melalui berbagai kajian dan diskusi.
Problem kekeliruan tersebut justru muncul ketika para aktivis menganggap bahwa mahasiswa yang hanya sibuk di dunia akademik adalah sesuatu yang kontraproduktif jika melihat peran dirinya sebagai the agent of social change, sang agen perubahan sosial. Para aktivis menilai, mahasiswa tidak akan dapat berperan sebagai agen perubahan sosial tanpa aktif di organisasi intra maupun ekstra kampus.
Inilah yang penulis soroti saat itu sebagai anggapan kontraproduktif juga dalam realitas sosial kampus itu sendiri. Selain aktif dalam proses perkualiahaan, penulis saat itu juga aktif dalam berbagai kajian, diskusi, dan proses kaderisasi meskipun dirasa kurang maksimal karena penulis juga saat itu harus berjualan di pasar agar bisa mencukupi biaya kuliah. Aktivitas di pasar ini sudah penulis lakukan sejak sebelum menjadi mahasiswa.
Aktivis dan Dunia Kehidupan Kampus
Berusaha menyoroti fenomena yang ada, penulis berusaha menyajikan sebuah paradigma. Melalui hasil kajian buku Sejarah Filsafat Yunani karya Prof Kees Bertens dan Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern karya Harry Hamersma, penulis menarik konsep Lebenswelt-nya Edmund Husserl sebagai sebuah simpul dari realitas dunia masing-masing mahasiswa. Dalam paradigma ini, Edmund Husserl menyajikan konsep Lebenswelt yang diterjemahkan sebagai dunia kehidupan.
Konsep Lebenswelt merupakan paradigma pertama yang penulis gunakan untuk membaca realitas dan aktivitas mahasiswa di kampus. Terutama perihal dikotomi mahasiswa yang aktivis dan akademis. Tulisan tentang dunia kehidupan karya penulis dimuat dalam Buletin Lubab. Media yang diciptakan kawan-kawan pergerakan untuk menampung pemikiran, ide, dan gagasan mahasiswa sebagai tindak lanjut (follow-up) diskusi dan kajian yang saat itu sedang digelorakan.
Edmund Husserl (1859-1938) merupakan Filosof asal Jerman kelahiran Republik Ceko. Konsep Lebenswelt tidak lepas dari realitas sosial. Di sinilah dia mengonseptualisasi teori fenomenologi. Dalam kehidupannya dengan ilmu sosial, memperbincangkan fenomenologi tidak terlepas dari konsep Lebenswelt ini. Konsep ini penting sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk menyelamatkan subjek pengetahuan.
Edmun Husserl, dalam magnum opus-nya, The Crisis of European Science and Transcendental Phenomenology (1936) menyatakan bahwa konsep dunia-kehidupan merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir positivistik dan sainstistik (dikotomi berbeda, pen). Dia berkata dalam buku tersebut, “dunia-kehidupan adalah dasar makna yang dilupakan bagi ilmu pengetahuan.”
Artinya, anggapan dan penilaian bahwa mahasiswa tidak dapat menjadi agen perubahan sosial hanya karena sibuk di dunia akademik merupakan anggapan yang tidak hanya keliru, tetapi juga menafikan dunia keaktivisan itu sendiri. Karena proses perkuliaahaan juga termasuk sebuah aktivitas dalam dunia-kehidupan mahasiswa. Jika dunia aktivis memperkuat jaringan, maka dunia akademik memperkuat keilmuan seperti yang diharapkan Edmund Husserl.
Tantangan
PMII yang lahir dari realitas bahwa dunia mahasiswa bukan hanya sekadar himpunan, tetapi juga lebih dari itu yakni dunia pergerakan, menuntut organisasi yang bediri pada 17 April 1960 ini tidak hanya asyik dengan satu dunia kehidupan. Melainkan harus menyediakan dan memberikan ruang seluas-luasnya bagi para kader untuk aktif di dunia-kehidupannya masing-masing dengan tetap menjaga kohesi sosial dan organisasi.
Hal demikian merupakan tantangan kompleks dalam dunia global yang menuntut generasi muda tidak hanya mengembangkan diri secara intelektual, tetapi juga dapat memperkuat keterampilan-keterampilan tertentu mengingat perubahan sosial zaman terus berkelindan dengan cepat. Basis akademik sebagai organisasi mahasiswa harus tetap diperkuat karena perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan lahir dari dunia kehidupan akademik.
Ilmu pengetahuan tidak hanya menjadi ukuran kemajuan peradaban sebuah bangsa sejak berabad-abad yang lalu, tetapi juga dalam rangka menyiapkan generasi berikutnya dengan atmosfer tradisi keilmuan yang tinggi. Ini penting untuk mewujudkan dunia-kehidupan yang lebih baik bagi kehidupan itu sendiri.
Meskipun kemajuan peradaban tidak semata-mata dari ilmu pengetahuan, tetapi juga pola pikir, keterbukaan (inklusivitas), penguatan spiritualitas kehidupan, dan harmonisasi yang berusaha diwujudkan. Di titik ini, tantangan kemajuan ilmu pengetahuan perlu digelorakan dalam bingkai pergerakan. Artinya, perkembangan ilmu pengetahuan juga harus digerakan dalam level aktivitas dan gerakan-gerakan kepemudaan.
Mahasiswa merupakan salah satu kelompok masyarakat yang dikategorikan sebagai kaum intelektual. Di titik ini, kebebasan berpikir memang harus terus dikembangkan untuk tujuan kebaikan bersama. Karena kebebasan berpikir dan tidak tersekat sebab tirani kesombongan dan tirani ketakutan merupakan sifat dasar intelektual menurut Ahmad Wahib (Pergolakan Pemikiran Islam, LP3ES, 2013).
Tantangan penguatan intelektual ini tidak hanya diimplementasikan ke dalam wacana-wacana untuk memperkuat kapasitas diri, tetapi juga menjadi jembatan penghubung antara negara dengan rakyatnya sehingga terwujud keadilan dalam tatanan berbangsa dan bernegara. Sebagai sebuah gerakan organisasi memang tidak mudah, tetapi semangat muda menjadi modal penting.
PMII lahir juga sebagai representasi wajah Islam Indonesia dari para pemuda dalam hal ini mahasiswa. Sebab itu, semangat menjaga Islam Indonesia agar tetap berwajah ramah, moderat, menjunjung tinggi tradisi keilmuan pesantren, dan hormat kepada nilai-nilai luhur yang diteladankan oleh para ulama Nusantara dan para pendiri bangsa (founding fathers) harus menjadi pijakan fundamental untuk memperkuat eksistensi negara bangsa (nation state), NKRI.
Fauzan Alfas dalam buku karyanya PMII: Dalam Simpul-simpul Sejarah Perjuangan (2015) menerangkan, salah satu pendirian PMII karena saat itu wadah kemahasiswaan yang ada hanyalah HMI. Tokoh-tokoh HMI saat itu dinilai terlalu dekat dengan Masyumi, sedangkan tokoh Masyumi telah melibatkan diri dalam pemberontakan PRRI terhadap pemerintahan yang sah.
Pegolakan di Masyumi tersebut terjadi setelah Masyumi tak dipimpin oleh Hadratussyekh Hasyim Asy’ari. Tokoh-tokoh NU pun memilih keluar dari Masyumi dan membentuk partai sendiri setelah dalam banyak hal tidak lagi sejalan, terutama terkait dalam konsep beragama, berbangsa, dan bernegara.
Tantangan yang tak kalah penting lainnya ialah era Industri 4.0 yang menuntut segala sesuatu serba digital atau cyber system. Dunia-kehidupan digital saat ini seolah menjadi urat nadi untuk setiap individu. Era ini tidak hanya mengubah budaya kehidupan, tetapi juga budaya berkreativitas, baik dalam pendidikan, ekonomi dan bisnis bahkan belajar agama.
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Ikatan Alumni PMII (IKA PMII) M. Hanif Dhakiri dalam Harian Kompas edisi hari ini, Selasa (17 April 2018) mengatakan, pemuda saat ini harus mampu membekali diri dengan keterampilan agar dapat bersaing di dunia dengan perubahan yang cepat seperti sekarang. Alakulihal, dunia-kehidupan harus kita genggam dengan pergerakan. Selamat Harlah ke-58 PMII...! (Fathoni Ahmad)