Wacana pendirian organisasi kemahasiswaan NU oleh komisi rekomendasi PBNU membuat ‘kaget’ dunia pergerakan, khususnya penulis selaku mantan aktifis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Ada sejubel pertanyaan dan kecurigaan terkait pendirian organisasi kemahasiswaa NU tersebut, salah satunya geliat ‘pembasmian idealisasi kritis transformatif sahabat-sahabat pergerakan.<>
Bagaimanapun, khusus wilayah kemahasiswaan selama ini secara garis kultural, NU memiliki wadah kemahasiswaan yang bernama PMII. Sementara IPNU dan IPPNU lebih mengakomudir kaderisasi di tingkatan pelajar di sekolah-sekolah. Mapping area kaderiasi tersebut dinilai sudah kaffah (maksimal), setidaknya bisa membagi wilayah gerakan antara mobilisasi kader di tingkatan pelajar sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Sebab, sebagian besar pengurus struktural IPNU dan IPPNU adalah kader PMII. Para kader ini membangun jaringan, menyelesaikan tugasnya mengasuh organiasi pelajar tersebut.
Kondisi tersebut berjalan tidak hanya satu atau dua bulan saja, namun sejak tahun 70-an, setelah PMII mentahbiskan diri lepas secara struktur dari tubuh Nahdlatul Ulama (NU). Dalam rentang waktu yang relatif lama itu, wadah kemahasiswaan dan pelajar berjalan linear, meminjam bahasa Dian Lestari dalam kumpulan essainya ‘Filosofi Kopi’, berjalan seiring tetapi tidak menggiring. PMII dan IPNU-IPPNU bahu membahu menjalankan tugas dengan baik.
Antara PMII dan IPNU-IPNU tidak bisa dipisahkan, sebab kaderasi ditingkat pelajar awal dimulai dari wadah IPNU dan IPPNU yang manhaj al-fikrnya adalah ahlussunnah wal jamaah. Kenapa harus ada perbedaan wilayah pengkaderan antara sekolah dan perguruan tingggi? Saya kira tentang pertarungan ‘kekuasaan’ di tingkat kaderasi ini, semua kader muda NU (PMII/ IPNU/ IPPNU) sudah tidak harus diajari lagi. Apalagi, di wilayah perguruan tinggi yang notabene wilayah kepentingan sejumlah elemen tumplek blek begitu saja. Semua organiasi kemahasiswa di perguruan tinggi saling memancangkan bendara untuk merekrut kader. Dengan mapping area, sekolah dan PT tersebut, sahabat-sahabat di tingkat perguruan tinggi dengan mudah mengajak para mahasiswa bergabung dengan wadah pergerakan.
Komunikasi reflektif antara PMII dan IPNU-IPPNU sejauh ini tidak pernah buntu. Ada saling keterkaitan pada wilayah kaderisasi. Sehingga, menjadi gamang ketika komisi rekomendasi PBNU kembali menghidupkan rencana menarik PMII dalam struktur NU dan atau mendirikan organisasi kemahasiswaan NU di tingkat kemahasiswaan. Haruskah jalinan mesra antara PMII-IPNU-IPPNU buyar?
Menjaga Independensi PMII
Pendirian organisasi oleh satu badan/lembaga/organisasi tertentu sangat wajar. Termasuk gerakan PBNU mendirikan organisasi kemahasiswaan NU. Mungkin, ada sejumlah target dan tujuan alternatif dari NU melihat realitas zaman yang diduga menggerus kesadaran sejumlah mahasiswa NU terlibat dan ikut pemikiran/gerakan yang mulai menyimpang dari ajaran ahlusunnah wal jamaah (Aswaja).
Namun, sampel sederhana tersebut tidak menjadi jaminan, organiasi kemahasiswa yang baru akan menjadi jawaban atas kebimbangan tersebut. Karena dalam perjalanan hidup, semua yang terjadi ini berkelindan. Ibarat air, terus mengalir mencari titik pusara yang dituju, demikian dengan pergolakan pemikiran mahasiswa NU. Meski kritis, tetapi para kader pergerakan tetap dalam batasan pemahaman Aswaja.
Mungkin saja, realitas di atas tersebut menjdi kekhawatiran-kekhawatiran dari senior PMII (yang kini hijrah ke NU). Namun, justru kekhawatiran dengan menggelindingkan kembali pendirian mahasiswa NU ini salah diagnosa. Sebab, pendirian organiasi kemahasiswaan ini hanya akan melemahkan semangat insan pergerakan untuk melakukan konsolidasi hati dengan NU. Kita coba ihat saja perkembangan selanjutnya?
Perlu diingat kembali, dengan ekosistem pemikiran ala PMII, para kader muda NU bisa mencari kepuasan dalam menterjemahkan manhaj al fikr yang selama ini menjadi titik pijak semua gerakan. Gerakan ala PMII dalam konteks ke-aswaja-an tersebut menjalar liar ke sejumlah titik di perguruan-perguruan tinggi. Para mahasiswa di perguruan tinggi yang ada (khususnya perguruan tinggi Islam) dengan gerakan PMII ini setidaknya terselamatkan ‘ke jalan yang benar’. Wadah kemahasiswaan PMII bisa disebut sukses dalam membantu gerakan NU meng-aswaja-kan umat.
Tetapi, jika harus memilih antara bergabung dan independen, penulis memilih opsi yang kedua. Karena, dengan status independensi sahabat-sahabat PMII bisa ‘bebas’ melakukan gerakan ke-aswaja-an secara total tanpa campur baur kepentingan-kepentingan. Setidaknya dengan pilihan tersebut tidak menciderai momentum deklarasi Murnajati, tanggal 14 Juli 1972 yang dikokohkan pada kongres tahun 1973 di Ciloto, Jawa Barat dalam bentuk Manifest Independensi PMII.
Terakhir, dalam ilmu kaidah fiqih disebutkan, kulli ra’sin ra’yun (setiap kepala memiliki pemikiran yang berbeda). Wallahu a’lam.
Mantan Pengurus Cabang PMII Sumenep 2009-2010
Terpopuler
1
Khutbah Idul Adha 2025: Teladan Keluarga Nabi Ibrahim, Membangun Generasi Tangguh di Era Modern
2
Khutbah Idul Adha: Menanamkan Nilai Takwa dalam Ibadah Kurban
3
Bolehkah Tinggalkan Shalat Jumat karena Jadi Panitia Kurban? Ini Penjelasan Ulama
4
Khutbah Idul Adha: Implementasi Nilai-Nilai Ihsan dalam Momentum Lebaran Haji
5
Khutbah Idul Adha Bahasa Jawa 1446 H: Makna Haji lan Kurban minangka Bukti Taat marang Gusti Allah
6
Khutbah Idul Adha: Menyembelih Hawa Nafsu, Meraih Ketakwaan
Terkini
Lihat Semua