Opini

Phenomena Kebangkitan Orde Baru

NU Online  ·  Rabu, 21 Januari 2004 | 16:53 WIB

* Arbi Sanit

Sejak enam bulan menjelang Pemilu 2004, kekawatiran dan gejala kebangkitan kembali kekuatan Orde Baru menguat dalam bentuk mewarnai perhatian dan  perdebatan publik, di samping tampilnya secara meyakinkan pemimpin, politisi, serta kelompok dan organisasi politik bentukan mereka. Phenomena itu, lebih menunjukkan kembalinya kekuatan politik eks Orba, ketimbang kembalinya Orba sebagai suatu sistem kekuasaan negara. Dikemukakan seperti itu karena berbagai  sebab. Pertama, sekalipun Sistem Politik Indonesia Orde Baru telah runtuh, namun sampai sekarang belum pernah betul betul hancur dan lumpuh. Kedua,  reformasi dan demokratisasi ber -langsung di bawah kontrol kekuatan politik pembaharu, bersama survivenya sebagian elit, kekuatan politik, nilai, dan bahkan  mekanis politik Orba. Malah kekuatan reformasi mengandalkan dukungan kekuatan eks Orba untuk berhasil di dalam perjuangan politiknya. Ketiga, Pemilu tahun 1999, melegitimasi kerjasama itu atas nama demokrasi dan rekonsiliasi. Keempat, lima tahun setelah Pemilu tahun 1999, eks kekuatan politik Orba berhasil melakukan konsolidasi dan bahkan recovery. Dan kelima, konsolidasi dan recovery itu berhasil karena kekuatan politik reformasi gagal memperkuat diri sehingga gagal mengoptimalkan gerak reformasi.

<>

Semua perkembangan politik dalam lima tahun terakhir, menunjang dugaan bahwa Pemilu tahun 2004 akan merupakan peluang bagi kembalinya dominasi kekuatan politik eks Orba, dan tidak tertutup kemungkinan kembalinya sistem politik Orba. Setidaknya ada tiga  alasan untuk berpendapat sedemikian itu, yakni Pemilu yang lebih berfungsi status quo, gagalnya sistem partai reformasi, dan perubahan politik tidak tentu arah.

Pemilu Untuk Status Quo

Pemilu tahun 2004 difungsikan untuk mempertahankan posisi ke kuasaan negara bagi kebanyakan penguasa hasil Pemilu sebelumnya, dibuktikan oleh berbagai hal. Pertama design UU Pemilu legislatif yang secara formal menggabungkan sifat Sistem Distrik dengan Proporsional, secara praktis sesungguhnya memberlakukan sistem Pro - porsional. Hal itu ditunjukkan oleh ketentuan yang menyatakan bahwa mencoblos tanda gambar partai saja juga syah. Kedua, umumnya partai peserta Pemilu menetapkan setidaknya 60 persen Caleg berasal dari anggota legislatif yang ada. Ke-3, penentuan kursi legislatif bagi partai yang memperoleh suara di bawah BPP, diserahkan kepada partai yang cenderung menggunakan nomor urut calon. Keempat, UU Pemilu presiden dan wakilnya mempersyaratkan hal hal yang sesuai dengan ciri pemimpin negara yang sekarang berkuasa. Kelima, terutama partai besar memastikan pemimpin mereka dewasa ini adalah capresnya. Dan keenam, tidak dimungkinkan adanya calon independen.

Tidak ada prosedur formal dan informal yang menghambat kekuatan lama menyertai Pemilu legislatif dan eksekutif. Malah, UU partai dan UU Pemilu, memungkinkan kekuatan eks Orba membentuk partai dan menyertai Pemilu. Sejauh ini, kesempatan itu sudah dimanfaatkan dengan baik. Baik kebiasaan Pemilu maupun UU Pemilu tidak memastikan penghentian penggunaan politik uang. Sejauh ini, sikap partai peserta Pemilu tidak jelas tentangnya. Padahal, inilah kesempatan kekuatan eks Orba yang diperkirakan masih mempunyai dana politik yang melimpah. Justeru dalam perlombaan penggunaan politik uang, diduga keras bahwa kekuatan reformasi akan mengalami kekalahan.

Kegagalan Reformasi Sistem Partai

Sesuai dengan kebutuhan yang berakar kepada tatanan masyarakat Indonesia, reformasi sistem partai merupakan kebutuhan yang mendesak. Reformasi itu menghendaki sistem partai yang mampu meno Dengan memanfaatkan peran dominan partai di dalam kehidupan pang kehadiran dan berfungsinya sistem politik dan pemerintahan yang kuat, stabil dan efektif, secara demokratik. Baik di dalam perjalanan 5 tahun reformasi, maupun dalam lima tahun setelah Pemilu tahun 2004, tergambar sistem partai yang secara formal demokratik, akan tetapi secara riil dan formal tidak produktif. Masalah dasarnya terletak pada ketidakmampuan partai untuk memperoleh dukungan mayoritas mutlak pemilih, karena sistem multi partai yang amat sempurna. Kegagalan sistem partai itu, diperkuat oleh ketidak mampuan pemimpin partai menumbuhkan dan menerapkan koalisi, federasi, ataupun fusi. Partai partai yang tergolong asli reformasi, gagal mengambil keuntungan dari reformasi itu sendiri, untuk mereformasi sistem partai.

Tanpa kemampuan partai partai reformatif membangun sistem par tai yang memungkinkan terciptanya kekuatan mayoritas, berarti mem beri peluang kepada segenap komponen masyarakat, termauk kekuatan sosial dan politik eks Orba, untuk membentuk partai dan menjadi demokrasi bagian dari sistem ultra multi partai, maka kekuatan dan partai yang dibangun oleh tokoh Orba tidak dapat dihalangi..untuk kembali keposisi kekuasaan negara. Apabila partai seperti itu memenangkan Pemilu, maka secara syah akan kembali ke posisi kekuasaan negara. Bila elit partai itu, menyesuaikan strategi dan tujuannya dengan kebutuhan dan, tatacara reformasi atau demokrasi, maka tidak ada alasan untuk berkeberatan terhadapnya. Apalagi bila dilihat banyaknya ciri Orba yang diterapkan atau dimanfaatkan oleh kaum reformasi sekalipun, maka membedakannyapun tidak lagi beralasan. Sebaliknya, kegagalan partai reformasi menjadikan pemilih lebih mudah memp