Opini

Peran Santri Wujudkan Indonesia Emas 2045

Kam, 22 Oktober 2020 | 09:15 WIB

Peran Santri Wujudkan Indonesia Emas 2045

Jutaan santri masa kini adalah aset bangsa masa depan. Terlebih pada 2045 nanti, negara kita memiliki cita-cita Indonesia emas. (Foto: NU Online)

Musuh santri saat ini bukan lagi koloni, tetapi justru yang terdapat dalam diri sendiri. Adalah kemalasan yang kerap bersarang di hati sehingga enggan belajar dan mengaji. Ya, Nabi Muhammad SAW sendiri pernah bersabda bahwa jihad besar adalah melawan diri sendiri. Saat itu, ia dan para sahabatnya baru menyelesaikan sebuah peperangan.


Karenanya, angkat senjata untuk berperang tentu bukan lagi masanya bagi santri di masa sekarang. Sebagaimana kita ketahui, Indonesia sudah merdeka, tidak lagi mengalami kolonialisme seperti sebelum dan beberapa tahun setelah merdeka. Karenanya, bentuk patriotisme terhadap negara di zaman sekarang mestinya berbeda dengan zaman dahulu.

 

Santri saat ini hanya tinggal fokus meningkatkan pengetahuan dan memperbaiki karakter kepribadiannya. Mereka harus mencurahkan sepenuh tenaganya untuk mengaji, belajar, dan menaati segala perintah kiainya. Sebab, tidak ada hal lain yang patut diperjuangkan oleh mereka di masa sekarang selain hal-hal tersebut sebagai bekal masa depan.


Senjata santri saat ini bukan lagi senapan guna berperang melawan kolonialisme, bukan pula bambu runcing seperti yang biasa diceritakan oleh orang tua kita, melainkan pena untuk mencatat segala pengetahuan yang diterimanya. Tidak berhenti di situ, pena juga menjadi alat penyambung untuk membagikan pengetahuannya.

 

Dalam hal ini, Pendiri Pondok Pesantren Darussunnah, Ciputat, Tangerang Selatan KH Ali Mustafa Yaqub dalam berbagai kesempatan mengingatkan santrinya dan tentu banyak orang lain untuk menjadi penulis. Ungkapannya yang terkenal adalah wa laa tamutunna illa wa antum katibun, janganlah kau mati kecuali kau menjadi penulis.


Santri di era saat ini juga mestinya tidak hanya mencukupkan diri untuk mendalami ilmu agama. Tanpa menafikan hal tersebut, para santri juga harus mulai merambah bidang keilmuan lainnya guna menebar kemanfaatan dan kemaslahatan di berbagai sektor. Hal ini sudah mulai diterapkan dengan kemunculan sekolah-sekolah kejuruan di berbagai pesantren. Mereka mendapatkan pengetahuan agama di pondok dan pengetahuan kejuruan di sekolah.


Maka tak aneh jika bermunculan santri yang tidak saja ahli di bidang keagamaan, namun juga bidang pengetahuan umum lainnya. Cita-cita ini sebetulnya sudah sejak lama diidam-idamkan oleh KH Abdul Wahid Hasyim. Ia tidak ingin mendikotomikan antara ilmu pengetahuan agama dan umum sehingga keduanya tersekat.


Tak ayal, sejak awal ia telah membentuk sekolah di Pondok Pesantren Tebuireng yang diasuh oleh ayahnya itu, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, yang tidak saja mengajarkan pengetahuan agama dan bahasa Arab, tetapi juga mengajarkan berbagai bahasa dunia, seperti Inggris, Belanda, dan Jerman.


Dalam suatu artikelnya, ia pernah menyebut bahwa mencari sarjana di pesantren seperti mencari tukang es di malam hari. Ungkapan demikian muncul karena saking langkanya sarjana dari kalangan pesantren. Tak ayal, putra-putranya muncul dengan keahliannya masing-masing selain dalam bidang keagamaannya, Gus Dur sebagai tokoh politik cum budayawan, Gus Sholah sebagai arsitek, Gus Umar sebagai dokter, Gus Iim sebagai ahli ekonomi dan budayawan. Dengan pengetahuan yang luas tersebut, kontribusi terhadap kemajuan dan kemakmuran negeri dapat dilakukan secara lebih.


Peran santri pun meluas tidak saja dalam bidang keagamaan dan politik yang sudah sedari dahulu telah dilakukan. Dengan pengetahuan kearsitekan, santri mampu menaruh kontribusinya di dalam pembangunan fisik negeri. Dengan pengetahuan kebudayaannya, santri dapat menyumbangkan pemikiran dan tenaganya untuk melestarikan tradisi yang sudah berlangsung sejak dulu, menginovasikannya, dan terus mengkreasikannya sehingga terus hidup di tengah globalisasi yang mengikis lokalitas.


Indonesia Emas 2045 dan Era Digital

Jutaan santri masa kini adalah aset bangsa masa depan. Terlebih pada 2045 nanti, negara kita memiliki cita-cita Indonesia emas. Maka, hal tersebut harus disambut baik oleh pesantren lembaga pendidikan yang menjadi tempat santri menggantungkan masa depannya.


Bonus demografi yang diperkirakan juga bakal mengalami puncaknya di tahun-tahun yang sama juga harus disikapi serius oleh pesantren. Apalagi era saat ini semuanya serba digital. Santri pun harus dapat mengisi era tersebut, tidak saja sebagai konsumen, tetapi harus tampil juga sebagai produsen. Tentu saja hasilnya diperuntukkan bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa.


Tak ayal, pesantren virtual pun semakin banyak. Hal ini sebagai bentuk kontribusi santri terhadap bangsa guna menjaga stabilitas bangsa mengingat belakangan media sosial banyak diisi dengan kelompok-kelompok radikal. Masuknya santri di dunia maya ini sangat penting mengingat lebih dari setengah penduduk Indonesia, tepatnya 150 juta jiwa, menurut data We Are Social (2019), sudah menggunakan internet dan aktif berselancar di media sosial. Tak ayal, keaktifan santri di dalamnya menjadi langkah preventif juga perimbangan bagi segenap masyarakat dalam memilih sajian materi keagamaan.


Tidak hanya itu sebetulnya, patriotisme santri juga sudah mulai masuk ke wilayah yang cukup jauh dari dunia pesantren, seperti robotik. Hal ini sudah mulai digunakan oleh para santri dalam beberapa hal keagamaan, seperti penentuan awal bulan Qamariyah. Ya, para santri menggunakan teleskop robotik yang sudah dapat menyesuaikan diri dengan bulan.


Santri tidak perlu lagi memicingkan mata untuk melihat hilal, tetapi cukup dengan duduk melihat layar laptop. Sebab, hasil tangkapan mata teleskop sudah dapat disambungkan dengan laptop sehingga dalam pengamatan bulan, tidak perlu repot untuk mencari posisi bulannya.


Adalah Hendro Setyanto, alumnus Pondok Pesantren Tebuireng yang terus mengembangkan inovasinya di bidang astronomi tersebut. Selain selalu mencurahkan pikirannya dalam penentuan awal bulan Qamariyah, ia juga terus berkreasi dan berinovasi dalam membuat laboratorium astronomi.


Selain Hendro, ada santri muda juga yang ahli di bidang robotika, yakni Ahmad Ataka Awwalur Rizqi. Pria 27 tahun itu sudah menyelesaikan studi doktornya di Universitas King’s College London. Saat ini, bapak satu anak itu juga tengah menempuh posdoktoral di Universitas Queen Mary London. Ia meneliti tentang robot yang dipergunakan untuk mengurusi area nuklir.


Meski tinggal di London, Inggris, Ataka tetap memiliki patriotisme untuk negeri kelahirannya. Ia membuat kanal Youtube Jago Robotika yang diperuntukkan sebagai media edukasi tentang robot bagi anak bangsa. Pengunjung video-video yang dibuatnya sudah puluhan ribu orang. Hal tersebut tentu saja berdampak positif pada perkembangan masyarakat, terutama para pelajar saat ini yang gemar menekuni bidang robotika. Inovasi dan kreasi di bidang tersebut akan terus berkembang.


Dengan begitu, kita tak lagi perlu khawatir akan masa depan negeri mengingat anak-anak muda masa kini, terutama para santri yang juga kuat akan literatur keagamaannya, sudah memiliki potensi yang luar biasa untuk menghadapi berbagai tantangan yang akan datang. Tentu hal ini harus juga diimbangi dengan kebijakan dari para pemangku jabatan dan pemangku kepentingan demi terwujudnya kemajuan bersama.


Patriotisme tentu sangat dianjurkan oleh agama Islam. Sebab, hal tersebut sangat bermanfaat guna menjaga keutuhan bangsa dan negara sebagai bagian dari lima prinsip dasar diterapkannya syariat (al-daruriyat al-khams), yakni menjaga agama, diri, akal, martabat, dan harta.


Para santri dahulu berjuang dengan mengangkat senjata demi memetik cita-cita merdeka dari penindasan penjajah. Sebab, penjajahan membuat diri masyarakat terancam, sukar melaksanakan keagamaan, harta pun dijarah, hingga martabat pun dioyak-oyak. Tak ayal, memerangi mereka yang telah berbuat demikian adalah suatu kewajiban bagi setiap individu. Hal itu juga merupakan sikap patriotik santri. Mereka rela meninggalkan pengajiannya jika perang sudah diperintahkan oleh sang kiai.


Namun, hari ini di tengah bangsa yang sudah merdeka, tentu bentuk patriotisme bukan (saja) dengan mengangkat senjata. Kontribusi kita melalui pengetahuan dan tenaga demi kemajuan dan kemakmuran bangsa dapat menjadi bagian dari sikap patriotik. Dengan begitu, Indonesia Emas 2045 yang diharapkan ini, insyaallah akan terwujud.

 


Muhammad Syakir Ni’amillah Fiza, Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) dan Pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama