Opini

Penguatan Nilai Ketauhidan

NU Online  ·  Senin, 1 Oktober 2007 | 07:34 WIB

Sismanto, M.Pd

Umat Islam dunia sepakat bahwa ramadhan merupakan bulan yang suci dan bulan penuh maghfirah. Bulan yang memberi peluang bagi insan Allah untuk berhubungan dengan khaliq (Hablumminallah),menjalin kontrak meminta ampun dan di beri ampun. Implikasinya, semua bentuk ibadah terlipat gandakan menjadi berkali-kali. Intinya, bulan puasa ini umat Islam dimanjakan oleh kebijakan “populis” Tuhan. Konteks inilah yang kemudian, menjadikan umat Islam di dunia untuk berlomba-lomba mengabdikan dirinya, tertunduk dan meningkatkan ketaqwaan pada Allah.

Dalam perspektif sederhana, bulan suci ramadhan mengajak umat Islam untuk berikhtiar merenungi dosa dan kesalahan yang diperbuat satu tahun sebelumnya (jika disadari). Mereka yang awalnya tidak peduli pada tetangga yang kelaparan, bulan ini justru diajak untuk peduli dan sebagainya. Sehingga, kiranya cukup relevan jika bulan suci ini juga sebagai momentum untuk berikhtiar memperkuat nilai-nilai keatuhidan.<>

Kerangka yang sangat penting dalam tindakan seorang muslim adalah keyakinannya pada ke-Esaan Allah. Tauhidlah yang mengajarkan kepada kita kepasrahan tawakkal secara total setelah mengadakan usaha yang maksimal dan telah bertekad secara sungguh-sungguh. Pemaknaan secara kaffah akan tauhid setidaknya mengajak seorang muslim pada penghargaan atas makhluk ciptaan-Nya. Dengan nilai tauhid yang kuat seorang muslim tidak akan melakukan eksploitasi atas alamnya, hewan dan tumbuhan, serta tidak akan mendzolimi sesame manusia demi keuntungan dan keserakahan pribadi.

Disadari atau tidak, saat ini umat Islam di Indonesia adalah mayoritas. Sekian persen dari jumlah penduduk bersertifikat label Islam. Namun, nilai-nilai etika dalam bermasyarakat, bernegara dan berpolitik masih belum mampu menunjukkan etika dan nilai-nilai yang Islam ajarkan. Terlepas dari kejumudan kultural, fenomena ini menjustifikasi pandangan kalau nilai ketauhidan yang membentuk kerajaan syariat belum muslim manifestasikan.

Relasi manusia atas alamnya belakangan terus menunjukkan raport yang buruk. Degradasi kualitas dan kuantitas lingkungan hidup merosot tajam. Banyak penggundulan hutan di mana-mana, seperti di Tulungagung dan Trenggalek, Jawa Timur, yang mengakibatkan banjir dan longsor bila musim hujan tiba. Seperti putusnya jembatan di Sawahan, Watulimo Juli lalu, disadari atau tidak, juga akibat gundulnya hutan yang berakumulasi bagi penambahan debit air ke sungai, yang mengakibatkan banjir.

Kita tidak pernah menyadari kalau menjaga lingkungan dan kelestarian alam adalah investasi dunia dan manifestasi tauhid Islam. Sebab, kit ternyata bergantung sepenuhnya pada alam. 940 spesies liar adalah bahan yang kita gunakan untuk obat tradisional maupun modern. 100 tumbuhan sebagai sumber karbohidrat makanan kita sehari-hari, tidak kurag 100 spesies kacang-kacangan juga kita butuhkan. Kita juga bergantung pada 700 jenis dan spesies buah-buahan, 250 spesies sayuran, serta 56 dan 150 spesies rotan juga mmberi manfaat ekonomi bagi kita.

Allah telah memberi jaminan kenikmatan pada manusia seperti dalam firman-Nya;”sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari lagit berupa air lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi segala jenis hewan dan pengisaran angin dan awan tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”(Q.S.2;164). Artinya, secara implisit Allah telah megajak manusia untuk memanfaatkan apa yanhg telah diberikannya untuk kemaslahatan umat bukan untuk kepentingan pribadi. Terlebih kemudian untuk menjaga agar tetap lestari.

Dengan demikian, hikmah puasa yang akan segera berlalu seharusnya memberikan nilai penguatan ketauhidan bagi umat muslim. Semakin kuat nilai tauhid yang umat Islam miliki akan semakin kuat pula hubungannya dengan Allah dan manusia. Semakin tinggi sikap menghargai antar umat manusia dan makhluk lain, akan perlahan membentuk peradaban yang mencerahkan bagi umat manusia. Islam sebagai rahmatan lil 'alamin akan terasa sejuk keberadaanya bagi umat beragama lain dan kelestarian alam Indonesia. Bertindak lokal dengan pandangan global adalah ageda mulia umat Islam untuk menunjukkan rahmatan lil'alaminnya Islam. Mulai dari diri sendiri, sampai mulai dari sekarang adalah ukuran keberhasilan masa datang. Amin.
  

Penulis adalah mantan Ketua Pondok Pesantren Miftahul Ulum Jetis Dau Malang dan pemerhati lingkungan pada LSM Tim Expedisi Biokonservasi (TEB)